Berita

10 Tuntutan Strategis KNPB Sorong Raya Peringati Hari HAM Internasional

SORONG, TOMEI.ID | Ratusan massa aksi yang tergabung dalam Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Wilayah Sorong Raya bersama KNPB Wilayah Maybrat menggelar aksi long march di Kota Sorong, Papua Barat Daya, Rabu (10/12/2025).

Aksi ini dilakukan dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, menyerukan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM bagi seluruh orang Papua.

Mengusung tema “Indonesia bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat selama 64 tahun di Papua”, aksi damai ini menegaskan status darurat HAM di Papua yang mengancam kelangsungan hidup bangsa Papua.

Ketua KNPB Wilayah Sorong Raya, Klarce Vince Fees, mengatakan kondisi HAM di Papua telah memasuki fase darurat. Menurut laporan lembaga gereja dan HAM, lebih dari 103.218 pengungsi internal (IDPs) akibat operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Maybrat, Yahukimo, Teluk Bintuni, Puncak, dan Pegunungan Bintang, masih hidup tanpa perlindungan selama dua tahun terakhir.

Klarce Fees menyoroti pola baru kekerasan, termasuk serangan udara dan pengeboman kampung yang memaksa ribuan warga mengungsi ke hutan tanpa makanan dan obat-obatan. Pembunuhan di luar hukum terhadap warga sipil terus terjadi, menyasar petani, pelajar, dan masyarakat adat.

“Anak-anak dan pelajar Papua berusia 12-17 tahun ditangkap, diinterogasi tanpa pendampingan, dipaksa mengakui keterlibatan dalam kelompok kriminal, dan sering mengalami penyiksaan,” ungkap Fees dalam orasinya.

Lembaga gereja juga melaporkan kekerasan seksual oleh aparat terhadap perempuan Papua di daerah operasi militer yang dibiarkan tanpa proses hukum.

Pembungkaman ruang sipil semakin ekstrem dengan pemutusan internet berkala, pemantauan aktivis digital, dan ancaman terhadap jurnalis lokal. Aparat bahkan disebut menyerang kegiatan budaya, membubarkan ritual adat, dan melarang simbol identitas Papua sebagai pola “pembunuhan budaya” (cultural erasure).

Menurut KNPB, kekerasan ini berkaitan erat dengan kepentingan industri ekstraktif yang menjadi jantung kolonialisme Indonesia di Papua. Proyek Freeport, Blok Wabu (potensi 8,1 juta ons emas), ekspansi sawit di Boven Digoel, Sorong, Tambrauw, serta Food Estate Merauke, disebut Fees sebagai instrumen penjaga ekonomi kolonial yang merampas tanah adat.

“Negara secara sadar menggunakan kekerasan sebagai instrumen penjaga ekonomi kolonial, termasuk pengambilalihan lahan adat untuk pos-pos militer yang semakin mempersempit ruang hidup masyarakat adat,” tegas Klarce Vince.

Di tingkat internasional, Indonesia terus menutup akses dan menolak pengawasan independen dari organisasi seperti Melanesian Spearhead Group (MSG), Pacific Islands Forum (PIF), dan Kantor Komisi HAM PBB. Penolakan sistematis ini dinilai KNPB memperkuat keyakinan adanya kejahatan kemanusiaan yang disembunyikan.

KNPB menyerukan agar Komisi HAM PBB mempertajam tekanan, meningkatkan status pemantauan, dan membuka jalan bagi resolusi resmi di Dewan HAM PBB.

Aksi yang didampingi oleh Sekretaris Korlap Ferianus Wilil ini menghasilkan 10 tuntutan strategis:

Pertama, Menghentikan operasi militer ofensif, serangan udara, dan pengeboman kampung, serta menarik pasukan non-organik dari Papua.

Kedua, Membuka akses tanpa syarat bagi PBB, jurnalis internasional, lembaga kemanusiaan, dan pemantau independen.

Ketiga, Menerima Misi Pencari Fakta PBB (Commission of Inquiry) untuk menyelidiki pelanggaran HAM berat.

Keempat, Membebaskan seluruh tahanan politik Papua, termasuk pelajar dan anak-anak yang dikriminalisasi.

Kelima, Menghentikan ekspansi industri ekstraktif Freeport, Blok Wabu, sawit, dan Food Estate.

Keenam, Menghentikan pengambilalihan lahan tanpa izin untuk pos-pos militer dan mengembalikan tanah adat.

Ketujuh, Melaksanakan reparasi dan restitusi tanah adat, termasuk pemulihan wilayah yang hancur akibat operasi militer dan tambang.

Kedelapan, Menghentikan pembungkaman budaya dan digital.

Kesembilan, Membangun mekanisme pemantauan internasional jangka panjang, termasuk mandat Pelapor Khusus PBB untuk Masyarakat Adat.

Kesepuluh, Melaksanakan proses dekolonisasi melalui referendum penentuan nasib sendiri sebagai langkah final untuk menyelesaikan akar konflik.

Massa aksi menegaskan bahwa tidak akan ada keadilan, keamanan, atau martabat selama struktur kolonial dipertahankan.

“Dunia tidak boleh lagi diam ketika sebuah bangsa dihancurkan melalui kekerasan, perampasan tanah, dan pembunuhan budaya,” tutup pernyataan sikap tersebut. [*].

Redaksi Tomei

Recent Posts

Hadirkan Orangtua Siswa, Kepsek SMK Negeri 2 Nabire Paparkan Program Pendidikan Gratis Papua Tengah

NABIRE, TOMEI.ID | SMK Negeri 2 Teknologi dan Rekayasa Nabire menggelar sosialisasi Program Bantuan Pendidikan…

4 jam ago

P2MMDK Gelar Ibadah Natal di Jayapura, Desak Penarikan Militer dari Yahukimo

YAHUKIMO, TOMEI.ID | Persekutuan Pemuda, Pelajar, Mahasiswa, dan Masyarakat Distrik Korupun (P2MMDK) menggelar Ibadah Perayaan…

6 jam ago

Anggota DPRD Dogiyai Yanuarius Tibakoto Jalin Dialog dan Serap Aspirasi Masyarakat Kamuu Selatan di Puweta

DOGIYAI, TOMEI.ID | Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Dogiyai, Yanuarius Tibakoto, menggelar rapat…

6 jam ago

Amandus Gabou Desak Kepolisian Usut Tuntas Pelaku Pembunuh Pendeta Neles Peuki

NABIRE, TOMEI.ID | Ketua Fraksi Gabungan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Dogiyai, Amandus Gabou, meminta…

6 jam ago

Baku Tembak di Yahukimo, TPNPB Klaim Tiga Prajurit TNI Tewas

YAHUKIMO, TOMEI.ID | Manajemen Markas Pusat Komite Nasional Papua Barat–Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (KOMNAS…

7 jam ago

Operasi Udara Militer di Nduga Diduga Picu Krisis Pengungsian Massal, TPNPB Beri Laporan Terkini

NDUGA, TOMEI.ID | Manajemen Markas Pusat Komite Nasional Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (KOMNAS TPNPB)…

7 jam ago