Mahasiswa Papua di Bogor Gelar Diskusi Terbuka Peringati 11 Tahun Tragedi Paniai

oleh -1104 Dilihat

BOGOR, TOMEI.ID | Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Nabire, Paniai, Dogiyai, Deiyai (IPMANAPANDODE) Kota Studi Bogor bersama Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menggelar diskusi terbuka sekaligus memperingati 11 tahun peristiwa Paniai Berdarah.

Kegiatan ini berlangsung di Emawa, Ciawi, Bogor, Jawa Barat, pada Senin (8/12/2025).

banner 728x90

Peristiwa Paniai Berdarah dikategorikan oleh Komnas HAM sebagai dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 8 Desember 2014 di Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua Tengah. Insiden tersebut menyebabkan empat remaja tewas dan sepuluh warga lainnya luka-luka, termasuk tujuh korban luka tembak, dua luka robek, dan satu luka iris. Hingga kini, penyelesaian kasus dinilai belum memberikan keadilan bagi keluarga korban.

Dalam diskusi tersebut, para peserta membahas kondisi hak asasi manusia di Papua dan menyoroti berbagai bentuk pelanggaran yang masih terjadi, seperti kekerasan, diskriminasi, perundungan, penyiksaan, hingga penganiayaan yang dapat berujung pada hilangnya nyawa. Mereka menegaskan bahwa negara harus hadir untuk menghentikan dan mencegah kekerasan terhadap warga sipil.

Acara ini mengusung tema: “Melawan Lupa, Menjaga Ingatan, Menuntut Keadilan Demi Kemanusiaan.”

Rangkaian peringatan tersebut berlangsung khidmat dan tertib, meliputi penayangan video dokumentasi, pembacaan kronologis singkat, pemasangan 1.000 lilin sebagai penghormatan kepada korban, orasi, serta pembacaan pernyataan sikap resmi.

Melalui pernyataan sikap bersama, IPMANAPANDODE dan AMP menyampaikan delapan tuntutan kepada pemerintah pusat:

Pertama, Meminta Presiden Prabowo Subianto untuk mengadili dan menuntaskan pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab atas peristiwa Paniai Berdarah yang telah genap 11 tahun belum diselesaikan.

Kedua, Menuntut agar pemerintah menghentikan pengerahan militer secara horizontal di Tanah Papua karena dinilai menambah kepanikan dan rasa tidak aman bagi warga sipil.

Ketiga, Meminta negara menarik kembali serta menghentikan berbagai operasi keamanan yang masih berlangsung di Tanah Papua.

Keempat, Menuntut negara membuka ruang seluas-luasnya bagi media asing untuk meliput kondisi Papua tanpa pembatasan.

Kelima, Mendesak agar para pihak yang diduga terlibat dalam peristiwa Biak Berdarah segera diadili, mengingat peristiwa tersebut menewaskan warga sipil secara masif.

Keenam, Menuntut negara menuntaskan penyelidikan dan proses hukum atas peristiwa Oneibo Berdarah yang menyebabkan satu warga sipil meninggal dunia.

Ketujuh, Menyerukan agar pemerintah menghentikan perampasan tanah oleh perusahaan ilegal di Tanah Papua dan mengembalikan hak-hak masyarakat adat.

Kedelapan, Menuntut negara membuka ruang demokrasi yang lebih luas dan memberikan hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua.

Penanggung jawab kegiatan, Andeki Yeimo, menyatakan bahwa diskusi terbuka ini digelar untuk memperluas pengetahuan publik mengenai kondisi HAM di Papua sekaligus menegaskan bahwa penyelesaian kasus Paniai Berdarah tidak boleh diabaikan.

Menurutnya, generasi muda Papua akan terus menyuarakan kebenaran dan keadilan selama negara belum menuntaskan kasus-kasus kekerasan terhadap warga sipil.

“Selama ruang demokrasi dibatasi dan akses media asing ditutup, Papua tidak akan pernah benar-benar dipahami dunia luar,” ujar Andeki.

Dengan demikian, kami minta pihaknya menyerukan agar pemerintah membuka ruang dialog yang setara untuk mencapai penyelesaian damai dan berkelanjutan. [*].

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.