Hari HAM di Jayapura: Mahasiswa Papua Tuntut Referendum, Soroti 103 Ribu Pengungsi Internal

oleh -1134 Dilihat
Peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia pada Rabu (10/12/2025) di Jayapura. (Foto: Yeremias/tomei.id).

JAYAPURA, TOMEI.ID | Peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia pada Rabu (10/12/2025) di Jayapura diwarnai aksi unjuk rasa oleh gabungan organisasi yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Papua (SOMAP) dan gerakan perjuangan Papua Merdeka.

Aksi ini menyoroti memburuknya situasi HAM di Tanah Papua dan status lebih dari 103.318 pengungsi internal (IDPs) yang hidup tanpa layanan dasar memadai.

banner 728x90

Massa aksi, yang menggelar demonstrasi di beberapa titik termasuk Lingkaran Abepura dan Terminal Expo Waena, mengajukan 15 tuntutan keras kepada negara, mendesak penyelesaian konflik melalui referendum dan penghentian operasi militer.

baca juga: Dihadang Polisi, KNPB dan SOMAP Tetap Gelar Mimbar Bebas Suarakan Pelanggaran HAM di Papua

Dalam pernyataan sikapnya, massa aksi menyoroti dampak langsung operasi militer di berbagai wilayah seperti Nduga, Intan Jaya, Paniai, Maybrat, Yahukimo, dan Pegunungan Bintang. Mereka melaporkan banyak pengungsi meninggal akibat kelaparan dan minimnya akses kesehatan.

Selain itu, aksi ini mengecam kriminalisasi yang terus terjadi terhadap aktivis HAM, mahasiswa, jurnalis, dan pelajar Papua. Mereka menegaskan bahwa pelanggaran HAM tidak akan berhenti selama akar konflik, yang mereka anggap sebagai persoalan kolonialisme, tidak diakui oleh negara.

Di sela-sela aksi, beberapa orator juga melontarkan kritik internal terhadap gerakan perlawanan Papua. Kamus Bayage, seorang mahasiswa, menyampaikan kritik keras terhadap pemimpin politik dan banyak organisasi perlawanan yang dinilai gagal membawa persatuan.

“Jika pemimpin politik tidak mampu mempersatukan rakyat, mahasiswa akan bangun,” tegas Kamus Bayage.

Aksi ini juga menyoroti ekspansi industri ekstraktif seperti Freeport, Blok Wabu, Food Estate, dan perkebunan sawit yang dianggap menghancurkan tanah adat. Mereka mengecam pemerintah Indonesia yang menutup akses bagi jurnalis asing, Pelapor Khusus PBB, dan lembaga kemanusiaan.

LBH Papua turut memberikan pendampingan hukum selama aksi berlangsung. Dalam pernyataan sikap yang dibacakan di hadapan massa aksi, Solidaritas Mahasiswa Papua (SOMAP) merumuskan tujuh tuntutan utama yang ditujukan kepada negara Indonesia dan komunitas internasional.

Tuntutan tersebut mendesak agar operasi militer dihentikan dan segera diikuti dengan penarikan seluruh pasukan non-organik dari wilayah konflik di Papua. Selain itu, mereka menuntut pembebasan tanpa syarat seluruh tahanan politik Papua yang saat ini ditahan.

Fokus tuntutan juga menyasar aspek ekonomi dan lingkungan, di mana massa aksi meminta pemerintah untuk menghentikan ekspansi industri ekstraktif, termasuk tambang, perkebunan sawit, dan Proyek Strategis Nasional (PSN) lainnya, serta menuntut pengembalian tanah adat kepada pemilik asli dan pelaksanaan pemulihan ekologis di area terdampak.

Untuk memastikan transparansi dan pengawasan internasional, massa mendesak adanya pembukaan akses bagi jurnalis asing, lembaga kemanusiaan, dan lembaga internasional, serta mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk segera mengirim Special Rapporteur dan membuka Koridor Kemanusiaan Papua.

Poin pamungkas dari tuntutan tersebut adalah dilaksanakannya referendum sebagai solusi demokratis dan jalan penyelesaian konflik yang adil di Tanah Papua.

Aksi ditutup dengan penegasan bahwa perjuangan mereka akan terus berlanjut.

“Tidak akan ada keadilan, keamanan, atau martabat selama struktur kolonial dipertahankan,” tutup pernyataan sikap tersebut. [*].

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.