Oleh: Martinus Tekege, S.Pd., M.T.
Dua dekade berlalu, namun Tanah Papua masih berkutat dengan masalah klasik yang tak kunjung terpecahkan yaitu kekurangan guru dan tenaga kesehatan. Ini bukan sekadar isu berulang, melainkan jeritan pilu dari masyarakat, akademisi, dan pemerintah daerah yang menanti langkah konkret negara. Pertanyaan mendesak kini adalah sejauh mana kesungguhan pemerintah baik pusat maupun daerah dalam menyiapkan tenaga profesional yang mampu menjawab kebutuhan paling mendasar masyarakat Papua?
Secara normatif, semua perangkat hukum telah tersedia. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Guru dan Dosen, hingga berbagai Permendikbud telah memberikan landasan yang kuat. Di sektor kesehatan, aturan tentang distribusi tenaga medis dan paramedis juga telah diatur dengan rinci. Dari segi pendanaan, Papua memperoleh Dana Otonomi Khusus (Otsus) dalam jumlah besar, ditambah dukungan APBN dan APBD. Namun, regulasi dan dana belum otomatis berbuah implementasi. Faktanya, banyak ruang kelas di pedalaman tetap tanpa guru, dan puskesmas di kampung terpencil masih tanpa tenaga medis tetap.
Dalam 10–20 tahun terakhir, penyiapan tenaga guru dan kesehatan di Papua masih bersifat tambal sulam, sektoral, dan jangka pendek. Belum terlihat adanya roadmap yang komprehensif dan berkelanjutan. Rekrutmen sering kali bersifat reaktif, menyesuaikan siklus politik atau tekanan publik, alih-alih berbasis data kebutuhan riil. Akibatnya, distribusi tenaga menjadi timpang: wilayah perkotaan relatif tercukupi, sedangkan pedalaman terus terjebak dalam kekosongan layanan dasar.
Padahal, pendidikan dan kesehatan adalah dua pilar utama peradaban. Tidak mungkin membangun generasi emas Papua jika sekolah-sekolah kekurangan guru berkompeten, sementara masyarakat di kampung-kampung sulit mendapatkan layanan kesehatan dasar. Ketersediaan tenaga profesional yang berdedikasi di dua sektor ini adalah syarat mutlak pembangunan manusia Papua yang holistik dan berkeadilan.
Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah menyusun roadmap nasional yang serius, terukur, dan berpihak, dengan orientasi jangka panjang (10–20 tahun ke depan) yang mencakup:
Pemetaan kebutuhan berbasis data: Menyusun peta kebutuhan guru dan tenaga kesehatan di setiap kabupaten/kota secara detail dan transparan, berbasis data yang terverifikasi.
Program afirmasi berkeadilan: Merekrut, mendidik, dan menempatkan putra-putri asli Papua melalui skema afirmatif yang berkelanjutan, disertai peluang karier dan pengembangan profesional yang setara.
Kemitraan akademik strategis: Menguatkan kolaborasi antara FKIP, fakultas kesehatan, dan lembaga pendidikan di Papua dengan universitas nasional dan mitra internasional untuk meningkatkan kapasitas dan transfer pengetahuan.
Skema insentif dan perlindungan: Memberikan insentif finansial, perlindungan hukum, jaminan keamanan, serta fasilitas yang layak bagi guru dan tenaga kesehatan yang bertugas di daerah pedalaman dan rawan konflik.
Monitoring dan evaluasi akuntabel: Membangun sistem evaluasi partisipatif yang melibatkan masyarakat, akademisi, dan lembaga independen guna memastikan keberlanjutan dan transparansi kebijakan.
Selain itu, pemerintah harus memperkuat peran perguruan tinggi di Papua khususnya yang memiliki Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) serta sekolah tinggi kesehatan agar mampu menjadi pusat pencetak tenaga profesional Papua. Dukungan ini perlu disertai skema rekrutmen dan ikatan dinas bagi lulusan SMA/SMK yang melanjutkan studi ke jenjang D2, D3, atau D4 di bidang kependidikan dan kesehatan. Dengan kontrak kerja yang jelas dan jaminan pengabdian di daerah asal, generasi muda Papua dapat menjadi subjek pembangunan, bukan sekadar objek kebijakan.
Langkah ini lebih strategis dan berkelanjutan dibanding solusi instan yang hanya bersifat simbolik. Memperkuat lembaga pendidikan lokal sekaligus memastikan penempatan tenaga yang dihasilkan kembali ke masyarakat adalah kunci untuk mengakhiri siklus kekurangan tenaga dasar di Papua.
Negara tidak boleh lagi berlindung di balik retorika dan janji politik. Masyarakat Papua sudah terlalu lama menunggu bukti. Jika dua dekade terakhir gagal memenuhi hak dasar atas pendidikan dan kesehatan, maka dua dekade mendatang harus dimulai dengan tindakan nyata, keberpihakan yang konsisten, dan komitmen yang tidak bisa ditawar.
Krisis guru dan tenaga kesehatan di Papua bukan sekadar angka statistik. Ia adalah cermin ketimpangan dan wujud nyata ketidakadilan struktural. Kini saatnya negara hadir dengan empati dan keberanian, memastikan setiap anak Papua berhak diajar oleh guru yang layak, dan setiap keluarga berhak dilayani oleh tenaga kesehatan yang manusiawi. Bukan nanti, tetapi sekarang. [*].
Penulis adalah Dekan FKIP USWIM Nabire, Papua Tengah