NABIRE, TOMEI.ID | Dunia sastra dan jurnalisme Papua kehilangan salah satu sosok terbaiknya. Penulis dan jurnalis asal Papua, Aprila Wayar, berpulang untuk selamanya. Kabar duka ini meninggalkan luka mendalam bagi rekan-rekannya di Komunitas Sastra Papua (Ko’SaPa), tempat di mana Aprila turut menanamkan semangat literasi dan perjuangan melalui kata-kata.
“Kami kehilangan sosok perempuan Papua yang berani dan tegas. Aprila bukan sekadar penulis, ia adalah suara nurani bagi bangsanya,” ujar Koordinator Ko’SaPa, Hengky Yeimo, dalam pernyataan duka, Sabtu (18/10/2025).
Aprila dikenal sebagai penulis novel perempuan Papua pertama. Lewat karya-karyanya, ia berani menyingkap luka dan ketidakadilan yang menimpa orang asli Papua, sekaligus meneguhkan peran perempuan dalam ruang literasi dan perjuangan.
Dalam perjalanan kariernya, Aprila tidak hanya menulis, tetapi juga aktif menyuarakan isu-isu Papua, berorganisasi, dan membangun ruang bagi penulis muda melalui berbagai wadah yang ia dirikan. Salah satunya, Fawawi Club, yang telah melahirkan banyak penulis muda seperti Manfred Kudiai dan Julia Opki.
Ia juga sempat mendirikan media Tapa News sebelum melanjutkan kiprah jurnalistiknya melalui The Papua Journal, bersama jurnalis muda Papua lainnya.
“Aprila adalah teman seperjuangan. Kami pernah meliput aksi-aksi mahasiswa Papua di Abepura dan Waena, bahkan sempat dibubarkan dengan gas air mata. Ia tetap teguh, tidak pernah mundur dari kebenaran,” kenang Hengky.
Karya dan Jejak Literasi
Karya-karya Aprila Wayar merekam denyut sejarah, luka, dan perlawanan masyarakat Papua melalui bahasa yang jernih sekaligus menggugah. Setiap karyanya tidak hanya menyentuh sisi kemanusiaan, tetapi juga menjadi arsip kultural bagi perjalanan panjang rakyat Papua dalam mencari keadilan dan martabat.
Karya pertamanya, Mawar Hitam Tanpa Akar (2009), menjadi tonggak penting dalam dunia sastra Papua. Novel ini menyingkap pergulatan batin orang asli Papua di tengah pelanggaran HAM, serta menjadi simbol keberanian perempuan Papua dalam dunia literasi. Buku tersebut mengantarkannya tampil di Ubud Writers and Readers Festival pada tahun 2012 dan 2015, serta di ASEAN Literary Festival 2014, menandai pengakuan atas suara sastra dari Timur Indonesia di panggung nasional dan regional.
Karya berikutnya, Dua Perempuan, merupakan refleksi personal yang memotret luka, keteguhan, dan daya hidup perempuan Papua. Melalui narasi yang intim, Aprila menulis tentang cinta, kehilangan, dan perlawanan sebagai bagian dari perjalanan spiritual seorang perempuan dalam menghadapi realitas keras Tanah Papua.
Pada tahun 2018, ia menerbitkan Sentuh Papua, sebuah kumpulan tulisan yang diluncurkan di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta. Buku ini menjadi pernyataan politik literer tentang kemanusiaan, solidaritas, dan perjuangan masyarakat adat melawan ketimpangan struktural.
Dua tahun kemudian, Aprila merilis Tambo Bunga Pala (2020), hasil kolaborasi dengan Fawawi Club dan AJI Yogyakarta, yang mempertemukan sejarah perdagangan rempah dan kisah perlawanan kultural masyarakat Papua dalam satu narasi puitis dan reflektif.
Karya terakhirnya, Hutan Rahasia (2020), menyingkap kehidupan perempuan Suku Enggros di Jayapura, suku yang dikenal menjaga hutan bakau sebagai ruang sakral perempuan. Melalui kisah ini, Aprila menegaskan kembali pesan universalnya: bahwa perempuan Papua adalah penjaga kehidupan, dan hutan adalah sumber pengetahuan yang hidup.
Aprila Wayar bukan sekadar penulis, tetapi juga penggerak yang menyalakan obor literasi di tengah keterbatasan. Ia menjadikan menulis sebagai cara untuk menyembuhkan luka sejarah dan membangun kesadaran generasi muda Papua.
“Terima kasih, Kaka Aprila. Kau bukan hanya penulis, tapi guru, sahabat, dan inspirasi bagi kami semua,” tutup Hengky Yeimo penuh haru.
Selamat jalan, Aprila Wayar. Kata-katamu akan terus hidup dalam setiap halaman perjuangan Papua. [*].