Berita

Aliansi Mahasiswa dan Rakyat Papua Selatan Soroti Krisis Sosial-Budaya: Negara Dinilai Gagal Lindungi Hak-Hak Adat

MERAUKE, TOMEI.ID | Aliansi Mahasiswa, Pemuda, dan Rakyat Papua Selatan melayangkan pernyataan sikap keras terhadap pemerintah daerah dan pusat atas memburuknya situasi sosial-budaya di wilayah Papua Selatan.

Aliansi menilai, arah kebijakan pemerintah tidak hanya gagal menjawab persoalan sosial-ekonomi, tetapi juga memperlemah eksistensi nilai-nilai budaya yang menjadi fondasi kehidupan masyarakat adat.

Salah satu sorotan utama aliansi adalah tindakan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua yang membakar mahkota burung Cenderawasih, simbol adat yang memiliki nilai filosofis tinggi bagi masyarakat Papua. Mereka menilai langkah tersebut mencerminkan pelanggaran terhadap prinsip perlindungan budaya dan hukum konservasi.

“Pembakaran mahkota Cenderawasih oleh BBKSDA Papua adalah bukti nyata kegagalan negara dalam menghormati simbol budaya kami,” tegas Basilius M. Bovi, Koordinator Lapangan Aliansi, dalam pernyataannya, Senin (3/11/2025).

Menurut Basilius, tindakan itu tidak hanya mencederai martabat budaya, tetapi juga bertentangan dengan ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 26 Tahun 2017, yang menegaskan bahwa barang bukti satwa dilindungi harus dititipkan di museum atau lembaga konservasi, bukan dimusnahkan secara sewenang-wenang.

Aliansi juga menilai meningkatnya kriminalitas, pengangguran, serta ketimpangan sosial-ekonomi di Papua Selatan sebagai indikator kegagalan pemerintah daerah dalam menjamin kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

“Kami melihat ada pembiaran sistemik. Pemerintah daerah gagal menjamin kesejahteraan rakyat dan mengabaikan amanat konstitusi,” tambah Basilius.

Selain itu, aliansi menyoroti lemahnya peran Majelis Rakyat Papua Selatan (MRP Selatan) dan Gubernur Papua Selatan dalam melindungi hak-hak masyarakat adat sebagaimana diatur dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua jo. UU No. 2 Tahun 2021.

Dalam dokumen pernyataan sikap yang diterima Tomei.id, aliansi tersebut mengajukan empat tuntutan pokok sebagai langkah korektif terhadap kebijakan pemerintah, yaitu:

Pertama, MRP Selatan diminta segera menggelar sidang luar biasa untuk mengevaluasi tindakan yang melukai martabat budaya masyarakat adat.

Kedua, Pemerintah Provinsi Papua Selatan diminta menyusun Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) tentang perlindungan simbol-simbol budaya, termasuk mahkota Cenderawasih.

Ketiga, Gubernur Papua Selatan didesak menerbitkan Peraturan Gubernur tentang pemulihan nilai adat dan pemberdayaan ekonomi rakyat berbasis budaya lokal.

Keempat, Kementerian LHK diminta menindak pejabat BBKSDA Papua yang melakukan pemusnahan simbol budaya tanpa melalui konsultasi adat.

“Kami menuntut transparansi data sosial, penegakan hukum yang berkeadilan, dan kebijakan yang berpihak pada kearifan lokal,” ujar Basilius menegaskan.

Aliansi menyatakan, langkah mereka berlandaskan sejumlah payung hukum nasional dan internasional, antara lain UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3), UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua jo. UU No. 2 Tahun 2021, UU No. 32 Tahun 2014 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Dan, UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta Permen LHK No. 26 Tahun 2017 tentang Penanganan Barang Bukti Satwa Liar Dilindungi, dan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP, 2007).

Basilius menegaskan, pernyataan ini bukan sekadar bentuk protes, melainkan tanggung jawab moral dan politik untuk mengingatkan pemerintah agar tidak terus mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan adat di Tanah Papua Selatan.

“Setiap pengabaian terhadap nilai adat dan pelanggaran HAM adalah bentuk pelanggaran terhadap hukum nasional dan kemanusiaan. Kami tidak akan diam,” pungkasnya.

Aliansi juga menyerukan agar pemerintah daerah dan pusat segera mengambil langkah korektif yang nyata, bukan sekadar retorika kebijakan. Sebab, bagi mereka, penghormatan terhadap adat dan budaya bukan hanya persoalan seremonial, melainkan bagian dari penegakan hukum, keadilan sosial, dan martabat kemanusiaan orang asli Papua. [*].

Redaksi Tomei

Recent Posts

Mahkota Cenderawasih Dibakar: Siapa yang Salah?

Oleh: Johan F. Tebai Baru-baru ini, beredar sebuah video pendek yang memperlihatkan beberapa anggota gabungan…

39 menit ago

Lepania Dronggi Tegaskan KNPI Nduga Satu Komando, Ajak Pemuda Bersatu Bangun Daerah

WAMENA, TOMEI.ID | Lepania Dronggi, resmi menerima Surat Keputusan (SK) sebagai Ketua Karteker Dewan Pengurus…

43 menit ago

PDI Perjuangan Wilayah Papua Tegaskan Komitmen Kebangsaan untuk Keadilan dan Kesejahteraan Papua

NABIRE, TOMEI.ID | Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) Provinsi Papua…

54 menit ago

Asrama Swadaya RPM Simapitowa: Rumah Harapan Baru Generasi Emas yang Dinantikan

Oleh: Theresia Iyai "Tulisan ini saya persembahkan sebagai salah satu anggota RPM Simapitowa, dengan penuh…

1 jam ago

Pagokotu: Kampung Halaman yang Menjadi Obat Jiwa dan Akar Peradaban Meepago

Oleh: Fransiskus Kedeikoto, ST Di jantung Kampung Modio, Kabupaten Dogiyai, Papua Tengah, terdapat sebuah dusun…

5 jam ago

Rakor PMPE dan IPD Bapperida Papua Tengah Resmi Dibuka, Fokus Perkuat Sinergi dan Tata Kelola Pembangunan

NABIRE, TOMEI.ID | Rapat Koordinasi Bidang Pengendalian, Monitoring, Evaluasi, dan Informasi Pembangunan Daerah (PMPE dan…

8 jam ago