Oleh : Fr. Ebaseddy Baru, OSA
Pendahuluan
Konsep Rae ati dalam pemahaman orang Maybrat masa kini mengalami pergeseran dari perspektif filsafati, antropologis-filosofis, yang esesnsial menyentuh hakikat kenyataan, fundamental (menyentuh dasar kenyataan) bergeser pada aspek sosiologis, material, temporal. Orang Maybrat sakarang ini berpandangan bahwa menjadi rae ati berarti harus mempunyai posisi dan kedudukan status sosial, budaya pendidikan dan jabatan yang tinggi di pemerintahan. Menjadi rae ati berarti mempunyai pendidikan yang tinggi bertitel magister, doktor. Rae ati berarti mampu menggunakan rasio (pkit) untuk memperoleh hal-hal yang lahiriah dan material temporal. Sama halnya dengan kehendak (sraow) dan hasrat (phaf). Karena itu, tujuan penulisan ini di satu sisi penulis ingin menelusuri dan menggali makna rae ati secara asali dan filosofis. Di sisi lain mengkritisi kesalah-pahaman akan makna “rae ati”. Artinya menelusuri secara komprehensif makna rae ati yang sebenarnya, dan membuktikan dan memperlihatkan kepada orang Maybrat di era modern ini bahwa ternyata pandangan “rae ati’ yang telah mengalami pergeseran dari makna asalinya. Lalu mencoba menempatkan Bofitwos sebagai salah satu sosok rae ati dalam arti asali. Dengan kata lain Bofitwos adalah “rae ati” yang sejati yang menghidupi makna “rae ati” dalam kehidupannya.
Pemahaman orang Maybrat mengenai rae ati, yang diartikan secara harafiah berarti manusia bijaksana. Dalam pemahaman orang Maybrat disebut sebagai “rae ati” berarti hidup seimbang dan berkeutamaan. Keseimbangan adalah keteraturan atau suatu disiplin jiwa yang seimbang antara intelek (pkit), kehendak (sraow) dan hasrat (phaf). Berkeutamaan berarti kualitas jiwa bagian intelek yang penuh kebijaksanaan mendorong setiap orang berpikir universal dan luas, kehendak, yaitu keberanian seseorang yang berpegang teguh pada hal-hal yang fundamental dan prinsipil serta substansial; Dan hasrat semangat kesederhanaan mendorong orang untuk berlaku sederhana dalam hidup. Menjadi “rae ati” berarti hidup dengan penuh keseimbangan menata dan mengendalikan ketiga bagian jiwa saling terkait. Orang Maybrat membagi jiwa menjadi tiga bagian yaitu jiwa (nae). Pertama, “nakit” (rasio-intelek), kalau dalam struktur raga kepala menjadi simbolnya. Kedua, “Sraow” (kehendak), dalam struktur raga bagian dada naik batas sampai di leher. Ketiga, “Phaf” (hasrat, keinginan), bagian ini dari batas pusat ke bawah kaki. “Rae ati” adalah orang yang mampu mengendalikan jiwanya dan hidup sesuai kodratnya. Bofitwos adalah sosok rae ati karena berpegang teguh atas prinsip hidupnya sebagai seorang biarawan Agustinian. Bukan hanya berpegang teguh tetapi berkomitmen dan bertanggung-jawab atas pilihanya dan ia hidup sesuai kodrat seorang biarawan. Kodrat seorang biarawan adalah bertanggung jawab atas ikral kaul ketaatan, kemurnian, dan kemiskinan. Dan menghayati dan menghidupi dalam tugas dan karya pelayanannya.
Tulisan sederhana ini merupakan sebuah upaya untuk menelusuri jejak hidup, karya dan pemikiran Dr. Bernardus Bofitwos Baru, OSA. Melalui tulisan ini, penulis ingin menelusuri pemikirannya yang memposisikan dan membuktikan bahwa Bernardus Bofitwos baru adalah sosok “rae ati”. Penulis menguraikan bertolak dari perspektif filosofis orang Maybrat dan mencoba menganalisa secara kritis “rae ati” dari perspektif filsafati. Karena itu, dalam penulisan ini ada beberapa sub point yang akan diuraikan sebagai berikut: Pertama, biografi singkat. Kedua,. Ketiga, konsep “rae ati”; Keempat, menganalisa konsep “rae ati’ secara filsafati. Kelima, Bernadus Bofitwos sosok “rae ati” ditelusiri melalui cara hidup membiaranya yakni hidup doa, studi dan karya yang memposisikan diri sebagai sosok rae ati. Keenam, catatan reflektif dan penutup.
Biografi Singkat
Bofitwos atau nama lengkapnya adalah Bernardus Bofitwos Baru, dilahirkan di Desa Suswa, Distrik Mare, Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat Daya, pada 22 Agustus 1969. Bofitwos merupakan anak kelima dari delapan bersaudara dari pasangan bapak Awitaya Amos Baru dan ibu Bohoato Salomina Bame. Nama Bofitwos mempunyai makna adat tersendiri. Bofitwos terdiri dari dua suku kata yang tergabungkan yakni, bofit yang artinya (orang yang telah mengikuti pendidikan inisiasi). Kata (Bofit) ini tidak sembarang digunakan oleh orang “awam,” hanya diperuntukkan bagi mereka yang telah mengikuti pendidikan inisiasi. Sedangkan kata (Wos) yang artinya harapan. Jadi, secara harafiah bofitwos adalah orang yang telah berhasil menyelesaikan pendidikan inisiasi (wuon) yang kemudian hadir sebagai pembawa harapan bagi masyarakat. Dalam konteks pendidikan inisiasi wuon, Bofitwos telah berhasil mengikuti pendidikan inisiasi dengan baik melalui tahap pra liminal, liminal dan reintegrasi. Tahap pra liminal merupakan masa pembinaan mental, di mana para pendidik menguji mental dan fisik anak didiknya dengan segala macam hal yang mereka lakukan. Jika pada tahap ini berhasil maka naik pada tahap berikutnya yakni tahap liminal. Tahap liminal ia didik secara moral, dan spiritual sampai terlihat benar-benar matang. Maka ia siap untuk memasuki tahap terakhir yakni masa reintegrasi atau penyatuan kembali bersama masyarakat. Setelah reintegrasi peserta didik diharapkan untuk mengaplikasikan sejumlah ilmu yang ia peroleh itu dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun lingkungan luas atau umum. Bofitwos bergabung dalam persekutuan Ordo Santo Augustinus (OSA) pada tahun 2001 pada saat pengikraran kaul pertama hidup membiara.
Riwayat pendidikan: Tamat SD YPPK Suswa 1985, SMP YPPK St. Don Bosco Fakfak 1987, dan SMA YPPK St. Augustinus Sorong 1990. Melanjutkan studi D3 di Institut Pastoral Indonesia (IPI) Filial Malam di Semarang, Jawa Tengah, lulus 1995. Pater Bofiwos melanjutkan studi Strata satu (S1) di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) “Fajar Timur” Abepura, Jayapura, selesai pada 1999. Kemudian melanjutkan Sarjana Strata Dua (S2), di Fakultas Teologi (Misiologi) di Universitas Kepausan Urbaniana, Roma 2005. Dan melanjutkan Sarjana Strata Tiga (S3) atau Doktoral di Fakultas Misiologi di Universitas yang sama pada 2018 dengan disertasi yang berjudul “Traditional Ritual Symbols in Youth Initiation and Religious Beliefs Among the Maybrat of West Papua: A Missiological Study”.
Pengalaman kerja: Bofitwos mengabdikan dirinya sebagai pengajar bagi para calon anggota OSA di postulat dan Novisiat di Sorong dari 2005-2015. Dan di Sekolah Tinggi Pastoral Kateketik (STPK) St. Benediktus Sorong dari tahun 2007-2012. Selain itu ia dipilih sebagai pimpinan Ordo Santo Augustinus (OSA) regio Papua-Indonesia dari 2007-2014. Dan menjadi Magister Novisiat bagi para Novis OSA. Setelah itu menjabat sebagai Direktur Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan (SKPKC) Ordo Santo Augutinus, Vikariat “Christus Totus” Papua-Indonesia 2018-2021. Kemudian sebagai staf pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) “ Fajar Timur, dan menjabat sebagai Ketua Sekolah menggantikan Mgr. Matopai You. Kemudian dipilih oleh Paus Fransiskus menjadi uskup keuskupan Timika.
Konsep Manusia menurut Orang Maybrat
Orang Maybrat menyebut manusia itu raetu, yang artinya manusia. Dalam pemahaman orang Maybrat disebut sebagai manusia berarti memiliki tubuh tkah dan jiwa nae. Tubuh dan jiwa dalam pemahaman orang Maybrat tidak terpisah melainkan satu kesatuan yang utuh. Artinya tubuh tanpa jiwa berarti tidak disebut sebagai manusia dan sebaliknya. Namun, orang Maybrat mempunyai suatu pemahaman tersendiri mengenai tubuh dan jiwa. Manusia disebut sebagai manusia ketika ia memiliki tubuh dan jiwa. Badan bukan manusia jikalau jiwa tidak ada untuk menjiwainya, dan sebaliknya jiwa pun bukan manusia jikalau tanpa badan. Badan dan jiwa adalah satu kesatuan. Kesatuan keduanya menentukan keutuhan pribadi manusia (Sihotang,2018: 57). Bahwa manusia terbentuk dari badan jiwa, itu tidak berarti bahwa manusia itu seakan-akan terdiri dari dua realitas yang ada dan kemudian dihubungkan satu sama lain, dua macam bahan yang ada dan kemudian dihubungkan satu sama lain, dua macam bahan yang dicampuradukkan dan yang masing-masing dapat ditempatkan dan digambarkan secara terpisah, melainkan itu merupakan makhluk yang disebut manusia itu ada sesuatu “yang oleh karenanya” ia bersifat material dan busuk, dan sesuatu yang oleh karenanya ia hidup dan berpikir. Ia hidup dan berpikir itulah yang merupakan struktur metafisik fundamental dari manusia.
Orang Maybrat membagi antara tubuh tkah materi dan jiwa nae immaterial. Jiwa dalam pemahaman orang Maybrat merupakan suatu yang esensial, substansial, dan immaterial. Jiwa adalah mnah ai (artinya yang menggerakan dari dirinya sendiri). Ternyata pemahaman jiwa dalam perspektif orang Maybrat terdapat kesamaan dengan perspektif Platon. Definisi ini sangat cair karena tidak mengatakan tentang apa itu jiwa secara fixed. Ia hanya menunjukan bahwa jiwa adalah gerakan yang menggerakan dirinya sendiri, dan sejauh bergerak dari dirinya maka ia disebut immortal/kekal (Wibowo, 2017: 53). Jiwa diumpamakan seperti ruang terbuka dalam diri manusia, yang berkatnya manusia mengidentifikasikan dirinya dengan sesuatu di luar dirinya, sehingga nantinya menjadi mirip dunia inderawi atau mirip idea. Jiwa sebagai gerak, ruang terbuka, merujuk pada kemungkinan menjadi sesuatu sesuai dengan orientasi yang ia berikan pada dirinya sendiri. Dalam pemahaman orang Maybrat jiwa itu immaterial, tidak bisa diraba, dipegang dan dilihat melainkan disadari dan dirasakan. Mengapa demikian? Karena berkaitan dengan konsep peralihan jiwa roh (nae) dari tubuh beralih bersatu dalam hidup dengan yang ilahi di dunia akhirat atau surga saweron. Artinya bahwa jiwa roh (nae) itu kekal, tidak terbatas pada hidup empiris di dunia ini tetapi ia tetap hidup melampaui ruang (space) dan waktu (time). Hal demikian ditegaskan oleh Aristoteles bahwa pada dasarnya orang tidak dapat memahami langsung inti jiwa, tetapi bahwa orang dapat mengerti apakah jiwa itu dengan mempelajari objek-objek serta kegiatan dari pelbagai kemampuannya. Jadi, itu berarti bahwa untuk dapat menangkap apa yang paling asasi pada manusia orang lebih harus mengamati bagaimana ia hadir di dunia dengan cirikhasnya, sikapnya terhadap sesamanya dan terhadap dirinya sendiri (Leahy, 2001: 25).
Manusia dicirikan oleh spesiesnya. Karakter kekhasan manusia terletak pada jiwa rasionalnya, tetapi segera kita menemui kesulitan karena jiwa manusia, yaitu jiwa rasional bukanlah suatu fakultas tunggal. Selain elemen intelek sebagai fakultas tertinggi, ada juga fakultas keinginan dan di dalamnya ada keinginan sensitive, namun ada juga keinginan rasional. Intelek sendiri kalau ditelusuri di dalamnya ada juga elemen memori dan imajinasi. Dua fakultas utama yaitu intelek dan keinginan. Keinginan yang kita sebut sebagai kehendak disebut juga keinginan rasional, karena dia diperintahkan atau diukur oleh intelek. Kehendak tidak lain adalah bagian rasional keinginan untuk membedakannya dari keinginan sensitive. Manusia dibedakan dari makhluk lain adalah manusia memiliki jiwa rasional (nakit), kehendak (srao), dan hasrat (nhaf). Manusia memiliki akal budi atau sebagai makhluk rasional (rae tu) yang membuat manusia berbeda dari binatang, dia juga memiliki tubuh yang membuat dia berbeda dari para malaikat (Sandur, 2020: 286). Karena intelek, rasio, kehendak dan hasrat yang menentukan ciri khas manusia berbeda dari hewan. Karena dengan rasio-intelek manusia dapat merefleksikan secara filosofis intuitif dan reflektif dan matematis, mempertanyakan tentang eksistensi dan esensinya. Apakah manusia itu? Seperti itu sudah kita lihat, pada awal mula ia adalah roh murni yang hidup dari kontemplasi akan yang ideal dan yang ilahi. Jadi, kemungkinan dan makna ultim keberadaan manusia mula-mula terletak dalam kehidupan yang berkaitan erat dengan yang baik pada dirinya, benar pada dirinya, dan indah pada dirinya (Van Der Weij, 2000: 31 Manusia adalah makhluk yang berjiwa rasional dan kehendak, kekhasan inilah yang membedakan manusia dari makhluk (infrahuman).
Jiwa dan badan adalah dua unsur yang esensial yang saling melengkapi dalam satu substansi yang sama. Menurut perspketif orang Maybrat badan (tkah) itu suatu saat yang mengalami perubahan tidak statis tetapi dinamis. Badan biasanya dianalogikan dengan air “ayia” dan bambu “pron”. Orang Maybrat mengamati air (ayia) dan bambu (pron) yang terus mengalir dan tidak kembali ke hulunya dan bambu bertumbuh berkembang menuju proses menua dan mati. Sama halnya dengan badan yang selalu bergerak menuju menua dan lenyap. Akan tetapi tidak terbatas pada itu mereka melihat badan yang material terbatas tetapi mempunyai makna lain yakni, bersifat perseptif, afektif, yang berkesadaran dan yang mempunyai interioritas. Badan itu tidak berada di luar intimitas kita dan juga tidak sama secara total dengan keakuan kita yang paling dalam; bahwa ia tidak merupakan suatu objek saja maupun suatu subjektivitas semata-mata. Badan itu didefinisikan sekaligus melalui hubungan eratnya dengan dunia dan partisipasinya dengan jiwa atau keakuan. Badan manusia menduduki sebuah jiwa tempat du dunia, mempunyai bentuk material yang tertentu, dapat diukur dan dihitung, dan terikat pada perubahan dan waktu. Badan manusia terdapat berbagai organ yang amat mengagumkan, ialah tangan yang mampu menyesuaikan diri dengan bentuk dari apa saja, mengukur, menggunakan, dan mengubah semua benda, mengatakan dan mengisyaratkan semua hal. Aristoteles menyebutnya sebagai simbol dan instrument dari inteligensi. Aristoteles mengumpamakan daya pikir manusia dengan tangan: seperti tangan merupakan alat organon yang paling sempurna, demikian pun jiwa merupakan wujud paling sempurna. Lihatlah manusia, berdiri tegak, mata tertatap ke muka, tangan terentang, badan yang melambangakan roh manusia yang mulai terbuka (Leahy, 2001: 84).
Konsep Orang Maybrat tentang rae ati
“Rae ati” terdiri dari kata rae yang artinya manusia, dan ati artinya; baik, bijaksana, dan berkeutamaan dan sejati. Secara harafiah rae ati berarti manusia (orang) yang baik, bijaksana, berkeutamaan dan sejati. Dalam pandangan orang Maybrat disebut sebagai “rae ati” berarti menjadi manusia yang bertindak, berpikir selalu benar baik bagi semua orang. Ia menjadi panutan, teladan sikap karakternya yang menginspirasi banyak orang. Dalam perspektif orang Maybrat memahami “rae ati” itu baik itu bukan dari luar tetapi internal jiwa (nae) berkualitas berkeutamaan Menjadi rae ati berarti keseimbangan antara kata, idea, konsep teoritis wacana dan perbuatan, tindakan nyata. Jika perbuatan tidak sesuai tindakan atau sebaliknya, maka disebut “rae sae, paut, srian, mhaeyamo, yeskamayia.” Dalam kehidupan sehari-hari mendengar sejumlah ungkapan ciri khas yang merupakan kata kunci yang menunjukkan seorang itu rae ati yakni: “yakit ynot po mnan, ynot po maon, yakit ynot po moof, srao moof, yifakoh, yhaf moof, yhaf mayia, Yhafri.yatem yuan.” Karena itu, kita juga bertanya apa makna di balik ungkapan di atas dan implikasi bagi seorang rae ati? Maka penulis mendeskripsikan berdasarkan pemahaman dan pengalaman penulis yang dibesarkan dalam alam dan lingkungan Maybrat sebagai berikut.
Pertama, rae ati adalah seorang yang “ynot po mnan” ( berpikir luas, universal, objektif). Di sisi lain berpikir pada tataran spekulatif, meta-rasional dan berpikir secara transedental. Seorang rae ati juga “ynot po maon” berarti seorang berpikir analitis, kritis filosofis dan matematis. Dan “rae ati” adalah orang yang berpikir baik. Berpikir baik yang dimaksud adalah orang yang selalu melakukan pertimbangan dan memutuskan apa yang dipertimbangkan berkenan dan diterima oleh orang lain. Dengan arti lain “yakit ynot po moof” berkaitan dengan daya timbang menimbang dalam mengambil sebuah keputusan.
Kedua, seorang rae ati adalah orang yang srao moof (kehendak baik), selalu berkehendak baik. Ia memutuskan sesuatu selalu mementingkan nilai objektif baik bagi dirinya maupun orang lain. Rae ati juga adalah orang yang yifakof (sikap ragu). Ketika mengambil keputusan ia tidak langsung memutuskan secara buta tetapi meragukan, menanyakan apakah hal itu atau ini baik, benar, salah atau tidak. Ia menunda sampai benar-benar tidak merasa ragu, maka disitulah ia memutuskan.
Ketiga, rae ati adalah orang yang yhaf moof (rendah hati, sederhana), selalu menempatkan dirinya sejajar dengan yang lain, tidak merasa lebih hebat dari orang lain, tidak sombong. Ia selalu menyesuaikan dan menyamakan diri sama dengan yang lain. Dalam dirinya terdapat diri yang lain dan dalam diri yang lain terdapat dirinya, (tuo fo ana yie, ana fo tuoyie. Amu fo ana yie ana fo amu yie)
Keempat, seorang rae ati adalah orang yang yatem yuan (ringan tangan, suka membantu), selalu memperhatikan orang-orang sekitarnya, berempati, memahami perasaan orang yang berkekurangan dan membutuhkan bantuan, dan terbuka untuk mengulurkan tangannya. Selalu hadir dalam kehidupan sosial ekonomi. Misalnya mempersilahkan orang lain untuk masuk mengambil hasil kebunnya atau menebang sagu di dusunnya.
Kelima, seorang rae ati adalah pribadi yang yhaf moof berintegritas, teguh pada komitmen dan konsisten dalam perkataan dan tindakannya. Rae ati adalah orang yang hidup mengikuti prinsip dan pilihan yang telah ia buat. Ia tidak mengikuti arus begitu saja. Artinya tidak mudah terpengaruh oleh ajakan dan pengaruh dari luar yakni orang lain. Misalnya dalam perkawinannya ia setia dan berkomitmen sehidup semati dengan pasangannya, maka ia disebut rae ati, karena bertanggung jawab atas pilihan hidupnya. Jika tidak setia dan poligame maka bukan rae ati.
Keenam, seorang rae ati adalah pribadi yang yhafri selalu ada bersama yang lain, senantiasa hadir bersama yang berduka, cemas, karena ditimpa masalah. Ia hadir sebagai orang pembawa harapan, peneguhan, pencerahan dan berkontribusi postif.
Ketujuh, rae ati adalah orang yang krema (berani dan sangat percaya diri, tangguh). Ia adalah orang yang tidak mudah menyerah. Ia mempunyai komitmen yang besar untuk berani melawan ketidakadilan. Ia berani berjuang menegakan keadilan, perdamaian dan tidak peduli jika ia dibenci dan dibulih.
Jadi, rae ati dipersepsikan sebagai pribadi yang berpikir luas, objektif, universal, teoritis dan prkasis. Selain itu, ia juga memiliki pribdadi berintegritas, peduli pada orang lain, baik hati, rendah hati, berani mengambil resiko, selalu hadir di tengah komunitasnya, bijaksana, dan mau berkontribusi positif bagi sesamanya. Bersambung (*)
)* Penulis adalah seorang Agustinian yang sedang mencari Tuhan dalam doa dan studi di STFT Fajar Timur, Abepura-Jayapura.