Berita

Bukan Lewat Kemendagri, Intelektual Kapiraya Tuntut Sengketa Batas Adat Mimika Diselesaikan Secara Adat

NABIRE, TOMEI.ID | Intelektual asal wilayah Kapiraya, Agusten Yupy, menyampaikan kritik keras terhadap rencana Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mimika yang akan membawa persoalan tapal batas di Distrik Kapiraya ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Menurutnya, langkah tersebut keliru karena sengketa yang terjadi berakar pada batas tanah adat, bukan batas administrasi pemerintahan.

Konflik horizontal antara masyarakat Suku Mee dan Suku Kamoro yang pecah beberapa pekan lalu telah menimbulkan korban jiwa dan kerusakan masif, termasuk pembunuhan brutal terhadap Pdt. Neles Peuki, pembakaran rumah penduduk, serta perusakan fasilitas publik seperti Puskesmas dan Balai Kampung Mogodagi.

Agusten menegaskan bahwa akar persoalan harus dipahami secara tepat agar langkah penyelesaian tidak salah arah.

“Ini konflik batas tanah adat, bukan batas administrasi. Membawa masalah ini ke Kemendagri justru berpotensi menimbulkan kesalahan prosedur dan memperburuk situasi,” ujar Yupy dalam sambutannya, Selasa (9/12/2025).

Pihak intelektual tersebut menjelaskan bahwa setiap konflik adat memiliki mekanisme penyelesaian tersendiri yang tidak boleh diabaikan oleh pemerintah. Pembahasan mengenai batas administrasi pemerintahan, menurutnya, sebaiknya dilakukan secara terpisah melalui prosedur formal yang berlaku.

Agusten mendesak Pemkab Mimika, Pemkab Deiyai, Pemkab Dogiyai, Pemerintah Provinsi Papua Tengah, serta seluruh lembaga terkait untuk segera mengambil langkah strategis dan komprehensif.

Pemerintah, kata dia, harus memfasilitasi pertemuan resmi antara masyarakat adat Suku Mee dan Kamoro guna menetapkan batas tanah adat berdasarkan sejarah, tradisi, dan catatan leluhur masing-masing.

“Penetapan batas tanah adat adalah hak fundamental masyarakat adat. Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator, menjaga keamanan, dan memastikan proses berjalan adil serta transparan,” tegasnya.

Agusten memperingatkan bahwa pengambilan kebijakan tanpa memahami akar persoalan adat berpotensi menimbulkan ketidakadilan baru, memicu konflik lanjutan, dan memperdalam krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Sebagai bagian dari masyarakat Kapiraya, Agusten menyerukan agar seluruh pihak bergerak cepat, tepat, dan terukur. Keselamatan masyarakat serta penghormatan terhadap hak-hak adat harus menjadi prioritas utama dalam upaya penyelesaian konflik.

“Penyelesaian sengketa ini harus dilakukan secara komprehensif, damai, dan berkelanjutan, agar konflik tidak kembali terulang,” pungkasnya. [*].

Redaksi Tomei

Recent Posts

Ratusan Warga Distrik Jila Mimika Mengungsi Akibat Operasi Militer

TIMIKA, TOMEI.ID | Ratusan warga sipil dari Kampung Amuagom, Distrik Jila, Kabupaten Mimika, Papua, terpaksa…

7 jam ago

Kejari Nabire Rilis Kinerja 2025: Fokus Pemulihan Aset Negara Capai Rp 515 Miliar

NABIRE, TOMEI.ID | Kejaksaan Negeri (Kejari) Nabire merilis capaian kinerja penanganan perkara sepanjang tahun 2025…

8 jam ago

Direktur LBH Kaki Abu: Hak Asasi Adalah Anugerah Tuhan, Bukan Pemberian Negara

SORONG, TOMEI.ID | Direktur Lembaga Advokat dan Bantuan Hukum (LBH) Kaki Abu, Leonardo Ijie, menegaskan…

9 jam ago

Pansus Kemanusiaan DPR Papua Tengah Serahkan Aspirasi Tiga Kabupaten ke DPD RI

JAKARTA, TOMEI.ID | Panitia Khusus (Pansus) Kemanusiaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Papua Tengah secara…

11 jam ago

Pemerintah Papua Tengah Susun Strategi Pembangunan Berkelanjutan Melalui RPPLH 2025

NABIRE, TOMEI.ID | Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua Tengah, melalui Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Pertanahan…

11 jam ago

KONI Papua Tengah Gelar Rakorprov I: Wagub Deinas Geley Tekankan Soliditas dan Target Prestasi Ambisius

NABIRE, TOMEI.ID | Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Provinsi Papua Tengah menggelar Rapat Kerja Provinsi…

12 jam ago