JAYAPURA, TOMEI.ID | Memperingati 64 tahun deklarasi kemerdekaan bangsa West Papua, Solidaritas Mahasiswa Papua (SOMAP) bersama kelompok Cipayung, berbagai organisasi gerakan, serta para tokoh masyarakat menggelar Diskusi Terbuka dengan mengusung tema “Selamatkan Bangsa Papua: Butuh Kekuatan, Kemerdekaan Butuh Persatuan”, Senin (1/12/2025), di Asrama Putra Yahukimo, Perumnas 3 Waena, Kota Jayapura.
Kegiatan ini menjadi ruang refleksi atas perjalanan politik West Papua sejak 1 Desember 1961 hingga kondisi kontemporer yang masih diwarnai konflik, kekerasan, dan berbagai dugaan pelanggaran HAM yang belum terselesaikan.
Diskusi menghadirkan empat figur yang dikenal vokal dalam isu HAM, hukum, dan perjuangan politik Papua, seperti, Ketua West Papua Council, Buctar Tabuni, Presiden ULMWP, Manas Tabuni, Juru Bicara Internasional KNPB, Viktor Yeimo, dan Pengurus Harian YLBHI dan Pembela HAM, Emanuel Gobai.
Penanggung jawab kegiatan, Kamus Bayage, mengatakan diskusi ini digelar tepat pada hari peringatan 1 Desember untuk membangkitkan memori kolektif 64 tahun sejarah politik bangsa Papua.
“Ini ruang akademik untuk merefleksikan sejarah panjang Papua dari ’61 sampai 2025, sekaligus membaca masa depan politik bangsa Papua Barat,” ujar Bayage.
SOMAP menyampaikan keprihatinan mendalam atas meningkatnya kekerasan di Papua sepanjang Oktober–November 2025.
Catatan Kekerasan Oktober 2025
Di Intan Jaya: 17 warga meninggal, kemudian disusul 4 korban, serta 3 warga lainnya. Maybrat–Bintuni: 1 warga meninggal. Yahukimo: 1 warga tewas dalam insiden terpisah.
Kekerasan November 2025
Di Yahukimo, mahasiswa mencatat:
serangkaian pengeboman, teror dan kriminalisasi, penangkapan sewenang-wenang, penggunaan senjata oleh aparat yang dinilai tidak sesuai hukum humaniter.
SOMAP juga menyoroti dugaan pengeboman terhadap seorang pelajar serta penangkapan Hiron Heluka, mahasiswa Universitas Cenderawasih yang disebut aparat sebagai anggota TPNPB.
“Hiron itu mahasiswa UNCEN, rakyat sipil. Tuduhan itu tidak benar. Bahkan korban bom adalah pelajar,” tegas Bayage.
Mahasiswa mengecam penggunaan bom oleh aparat TNI dalam operasi di kawasan pemukiman Yahukimo, serta menyebut 17 kematian warga sipil di Intan Jaya dan pengungsian massal sejak 2018 sebagai bukti eskalasi kekerasan yang tidak proporsional.
“Melawan kombatan harus sesuai hukum humaniter. Tidak bisa gunakan bom yang mengenai warga sipil. Itu pelanggaran HAM berat,” kata Bayage.
Ia menilai pendekatan keamanan negara gagal membedakan kombatan dan warga sipil, sehingga masyarakat justru menjadi korban utama.
Mahasiswa mendesak pemerintah segera mengambil langkah untuk mencegah semakin banyaknya korban sipil:
1. Menarik pasukan militer dari wilayah sipil di Papua.
2. Menghentikan operasi penertiban dan razia bersenjata di daerah pemukiman warga.
3. Menghentikan pengeboman dan penggunaan senjata berat di wilayah berpenduduk.
4. Mengakhiri penangkapan sewenang-wenang dan kriminalisasi warga sipil.
“Kalau aparat mencari TPNPB-OPM, cari di lokasi mereka. Jangan ganggu rakyat yang tidak tahu masalah,” ujar Bayage.
Mahasiswa juga mempertanyakan arah kebijakan hukum negara yang dinilai gagal memberikan jaminan perlindungan HAM bagi masyarakat Papua.
Refleksi 64 Tahun: Luka Historis yang Belum Sembuh
Diskusi menegaskan bahwa persoalan Papua bukan hanya soal peristiwa politik masa lalu, melainkan rangkaian masalah kontemporer yang terus berulang: operasi militer, pengungsian, penangkapan sewenang-wenang, pembatasan ruang sipil, hingga lambannya penyelesaian dugaan pelanggaran HAM berat.
Menurut Bayage, peringatan 1 Desember bukan sekadar seremoni, melainkan momen bagi generasi muda Papua untuk memahami sejarah politik dan menentukan arah masa depan bangsa.
“Ini ruang akademik untuk melihat masa depan bangsa Papua Barat. Tidak ada unsur lain. Mahasiswa wajib mengingat sejarah dan membaca masa depan,” pungkasnya. [*].










