PANIAI, TOMEI.ID | Bagi sebagian orang muda hari ini, konser musik hanyalah pesta hiburan yang selesai begitu lampu panggung dipadamkan. Namun bagi mereka yang tumbuh di era 1990-an hingga awal 2000-an, kehadiran Gedix Atege di Paniai adalah kepulangan sebuah suara lama, suara yang tak pernah padam, meski hanya bergema lewat kaset tua yang retak, radio kampung yang berderak di malam hari, atau tape sederhana yang diputar berulang-ulang. Kini, suara itu kembali hadir nyata, melintasi waktu dan ruang, membelah jarak sejarah, sekaligus menghidupkan kembali ingatan kolektif rakyat Melanesia.
Dari Madang, Menyusuri Batas ke Tanah Papua
Gedix Atege lahir di Madang, Papua Nugini (PNG). Ia memulai langkah musiknya bersama band Wali Hits, sebelum memilih jalur solo. Sejumlah albumnya mengukir jejak yang tak bisa dihapus dari ingatan pendengarnya: Pepa Nating, School Fee Problem, Pain Blong Love, hingga Salim Giraun.
Lagu-lagunya bukan sekadar nyanyian, melainkan potret realitas. Taim Mi Skul Mangi bercerita tentang biaya sekolah yang menghantam keluarga miskin, Corruption menelanjangi wajah busuk ketidakadilan, Mama adalah ratapan rindu pada orang tua yang jauh atau telah tiada, sementara lagu-lagu cintanya menyimpan kesederhanaan luka pertama yang jujur.
Setiap nada adalah bagian dari kehidupan rakyat kecil, seolah ia menulis dengan tinta air mata yang mengalir dari jalan-jalan kampung dan ruang-ruang sederhana rakyat Melanesia.
“Mr. Adviser”, Penyair Rakyat Melanesia
Masyarakat PNG menjulukinya “Mr. Adviser”. Sebutan itu lahir bukan karena panggung megah atau sorot lampu glamor, melainkan karena lirik-liriknya adalah nasihat, teguran, sekaligus suara hati rakyat. Ia adalah penyair rakyat, suara yang lahir dari tanah, menyatu dengan penderitaan, kasih, dan harapan orang Melanesia.
Meski banyak karyanya menggunakan bahasa Tok Pisin, yang tidak semua orang Papua memahami sepenuhnya, musik Gedix menembus batas bahasa. Ia berbicara dalam bahasa universal: luka, kerinduan, kasih, dan perlawanan bahasa jiwa yang bisa dimengerti siapa pun yang pernah hidup dalam keterhimpitan, kehilangan, dan harapan.
Jejak Musik Melanesia di Papua
Nama Gedix Atege berdiri dalam arus besar musik Melanesia yang menyeberangi laut dan batas negara hingga tiba di Papua. Bersama nama-nama seperti Lister Serum, Helgas Band, Saugas, Paramana, hingga Basil Greg, mereka bukan sekadar musisi, melainkan suara rakyat. Mereka menyanyi tentang perlawanan, menegur ketidakadilan, menghibur duka, sekaligus menyalakan api kebebasan.
Musik Melanesia adalah saksi perjalanan jiwa: menghadapi represi, menahan kerinduan akan kebebasan, sekaligus bertahan di tengah penderitaan. Suara-suara itu menjadi semacam kitab tanpa huruf, di mana nada menggantikan kalimat, dan melodi menjadi doa yang mengalun di setiap hati.
Memori Kolektif, Bahasa Jiwa
Bagi banyak orang Papua, mendengar kaset Gedix berputar di era 90-an atau 2000-an adalah pengalaman emosional. Ia mengingatkan pada wajah orang tua yang kini telah pergi, perjalanan bersama sahabat yang hilang, cinta pertama yang pudar bersama waktu, hingga perjuangan sekolah dan kuliah yang penuh air mata.
Di tanah yang akrab dengan operasi militer, represi, dan kesunyian panjang, musik Gedix menjadi ruang penghiburan, bahkan ruang perlawanan kultural. Ia mengingatkan bahwa pendidikan itu penting, keadilan harus ditegakkan, dan suara rakyat tak boleh dibungkam. Setiap baitnya adalah semacam doa: doa untuk bertahan, untuk melawan, dan untuk tetap mengingat siapa diri kita.
Lebih dari Sekadar Konser
Karena itu, konser Gedix Atege di Paniai bukan sekadar sebuah pertunjukan musik. Ia lebih mirip altar rakyat, tempat di mana duka, kerinduan, dan harapan bertemu dalam nyanyian. Suara lama itu kembali, tidak untuk memanjakan telinga, tetapi untuk menyalakan kembali api yang sempat redup di dada rakyat Melanesia.
Musik Gedix adalah bahasa jiwa: bahasa yang bergetar di sunyi malam, bahasa yang mengalir dalam air mata kerinduan, bahasa yang menyatukan sakit dan cinta menjadi satu, dari dulu hingga kini. Kepulangannya di Paniai adalah kepulangan suara lama, suara yang tak pernah mati, karena ia adalah bagian dari sejarah, darah, dan jiwa rakyat Papua.
Konser ini juga mengajarkan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar hiburan. Ia adalah ruang temu lintas generasi: orang tua yang dulu memutar kaset Gedix kini hadir bersama anak-anak mereka, menyaksikan sosok penyanyi yang selama ini hanya mereka dengar lewat suara. Momen itu seperti menyatukan dua zaman, zaman kaset pita yang nyaris punah dan zaman digital yang dingin dalam satu ruang panggung.
Bagi pemuda Papua, Gedix adalah teladan bahwa musik bisa menjadi jalan perlawanan damai. Di tengah situasi sosial politik yang penuh luka, musik semacam ini adalah senjata yang tidak menumpahkan darah, tetapi mengguncang kesadaran. Ia menyalakan api di dalam jiwa, mengajarkan bahwa ada banyak cara untuk melawan: dengan pena, dengan buku, dan dengan lagu.
Di sisi lain, konser ini juga memperlihatkan betapa eratnya ikatan Melanesia. Gedix yang lahir di PNG, tetapi diterima di Papua, membuktikan bahwa garis batas negara hanyalah goresan di peta, bukan di hati rakyat. Musik adalah jembatan, dan Gedix adalah salah satu arsiteknya: ia meruntuhkan sekat, mengikat rakyat Melanesia dalam satu kesadaran kultural.
Maka, kepulangannya di Paniai tak hanya menghidupkan nostalgia, tetapi juga meneguhkan identitas kolektif rakyat Papua. Bahwa dalam setiap lagu yang dinyanyikan, tersimpan sejarah penderitaan sekaligus harapan. Dan selama suara itu masih ada, rakyat Papua akan terus menemukan alasan untuk berdiri, bertahan, dan bermimpi tentang tanah yang bebas dari luka. [*].
JAYAPURA, TOMEI.ID | Pantai Bes G di Kampung Kayu Batu, Kota Jayapura, kembali menjadi pusat…
KIWIROK, TOMEI.ID | Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) menuding Tentara Nasional Indonesia (TNI) menggunakan…
NABIRE, TOMEI.ID | Tokoh masyarakat Kampung Karadiri, Distrik Wanggar, Kabupaten Nabire, Papua Tengah, Bernadus Pokuai,…
NABIRE, TOMEI.ID | Pemerintah Kabupaten Nabire bertindak cepat menyalurkan bantuan logistik berupa beras, mi instan,…
NABIRE, TOMEI.ID | Hujan deras yang mengguyur Kabupaten Nabire, Papua Tengah, pada Kamis (9/10/2025), menyebabkan…
KIWIROK, TOMEI.ID | Situasi keamanan di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan, kembali memanas.…