Peserta diskusi publik berfoto bersama usai kegiatan yang diselenggarakan oleh Solidaritas Penolakan Pemekaran CDOB Kabupaten Yahukimo Timur, bertempat di Asrama Putra Yahukimo, Perumnas III Waena, Kota Jayapura, Jumat (30/5/2025). (Foto: Yermias Edowai/TOMEI.ID).
NABIRE, TOMEI.ID | Masyarakat dan mahasiswa Kabupaten Yahukimo yang tergabung dalam Solidaritas Penolakan Pemekaran Calon Daerah Otonomi Baru di kota Jayapura menggelar konsolidasi perdana dalam bentuk diskusi bertajuk “Dampak Pemekaran DOB Kabupaten Yahukimo Timur di Yahukimo”.
Diskusi berlangsung di Asrama Putra Yahukimo, Perumnas III Waena, Kota Jayapura, Papua, pada Jumat (30/5/2025), dihadiri 78 peserta dari berbagai elemen mahasiswa, pemuda, tokoh adat, serta perwakilan distrik dari wilayah Yahukimo.
Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber utama yang masing-masing telah memaparkan berbagai aspek sosial, politik, ekonomi, dan kultural yang berkaitan dengan rencana pemekaran Kabupaten Yahukimo Timur.
Salah satu narasumber dalam forum diskusi tersebut mengatakan bahwa pemahaman akan dampak DOB harus diperkuat dikalangan masyarakat dan mahasiswa karena kekhawatiran terhadap ancaman demografis akibat potensi masuknya pendatang dalam jumlah besar melalui program transmigrasi makin dirasakan masyarakat.
Menurutnya, pemekaran wilayah kerap kali dijadikan pintu masuk bagi kebijakan populasi yang tidak memperhatikan hak-hak dasar masyarakat adat. Hal ini berpotensi mempercepat proses marginalisasi terhadap penduduk asli dan memicu konflik horizontal di masa depan.
“Pemekaran bukan hanya soal membentuk daerah baru, tapi juga membuka jalan bagi perubahan struktur demografi yang sangat drastis. Tanpa perlindungan khusus, masyarakat adat akan terpinggirkan di atas tanahnya sendiri,” ujar salah satu narasumber dalam forum tersebut.
Lanjut dikatakan, kondisi geografis wilayah yang akan dimekarkan juga menjadi pertimbangan kritis. Topografi yang sulit dijangkau, keterbatasan infrastruktur, dan tantangan layanan dasar dinilai akan memperberat beban pemerintahan daerah baru dan menyulitkan akses masyarakat terhadap pelayanan publik yang layak.
Diskusi juga membahas kemungkinan meningkatnya kehadiran aparat militer dan keamanan di wilayah yang dimekarkan. Dalam konteks Papua, keberadaan militer kerap dikaitkan dengan praktik represi, intimidasi terhadap warga sipil, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Para peserta menekankan bahwa pembentukan daerah baru tanpa pendekatan damai dan adil hanya akan memperluas wilayah operasi militer dan menambah luka struktural yang telah lama dirasakan masyarakat Papua.
Selain itu, ekspansi korporasi kapitalis menjadi sorotan utama. Para pembicara menyampaikan kekhawatiran bahwa pemekaran akan membuka ruang yang lebih luas bagi korporasi untuk mengeksploitasi hutan, tanah, dan sumber daya alam lainnya secara masif, tanpa perlindungan terhadap hak ulayat masyarakat adat.
Pola ini dinilai sudah terjadi di berbagai wilayah Papua yang mengalami pemekaran, dan dikhawatirkan akan berulang dengan skala yang lebih besar di Yahukimo Timur.
Forum ini juga menyoroti potensi meningkatnya konflik atas tanah dan hutan adat. Ketidakjelasan batas wilayah, klaim kepemilikan oleh pihak luar, dan lemahnya pengakuan hukum terhadap hak adat dinilai akan menjadi sumber konflik yang semakin kompleks.
Para peserta menilai bahwa pemekaran tidak menjawab akar persoalan struktural yang selama ini membelenggu masyarakat Papua, tetapi justru memperparahnya. Di ranah politik, kekhawatiran terhadap penguasaan politik yang eksklusif dan represif juga mengemuka.
Para peserta mempertanyakan siapa yang akan mengisi posisi kekuasaan di daerah otonomi baru, dan sejauh mana representasi masyarakat adat benar-benar dijamin dalam sistem politik yang dibangun di atas wilayah mereka.
“Ketimpangan historis dan ketidakadilan struktural terhadap masyarakat adat Papua tak akan selesai dengan pemekaran. Yang terjadi justru pelapisan baru dari ketidakadilan itu, jika tidak ada partisipasi penuh masyarakat adat dalam seluruh prosesnya,” kata salah satu penanggung jawab diskusi.
Penanggungjawab diskusi menyatakan bahwa diskusi publik ini merupakan bagian dari proses konsolidasi awal yang akan berlanjut dalam bentuk gerakan kolektif mahasiswa dan masyarakat.
Mereka menegaskan bahwa kegiatan ini bukanlah yang terakhir, melainkan awal dari serangkaian aksi bersama untuk menolak pemekaran yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat kecil.
“Diskusi ini menjadi ruang terbuka untuk mengakomodasi pandangan dari dua suku besar dan sejumlah wilayah yang akan masuk dalam wilayah CDOB. Solidaritas dari 51 distrik hadir dan menyatakan sikap bersama dalam forum ini,” ujarnya.
Menutup kegiatan, para penanggung jawab menyerukan pentingnya membangun kesadaran kolektif di kalangan mahasiswa dan masyarakat untuk secara kritis menilai agenda pemekaran wilayah.
Mereka mengajak seluruh mahasiswa dan masyarakat Yahukimo untuk terlibat aktif dalam setiap agenda lanjutan solidaritas.
“Kami juga menyerukan perhatian bersama terhadap rencana enam CDOB lainnya yang tengah digagas di wilayah Kabupaten Yahukimo. Ini bukan semata urusan administrasi pemerintahan, melainkan menyangkut keberlangsungan hidup masyarakat adat, tanah leluhur, dan masa depan generasi kami,” tegas pernyataan mereka. [*]
DOGIYAI, TOMEI.ID| Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Dogiyai, Papua Tengah mendesak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)…
DOGIYAI, TOMEI.ID| Rencana pemekaran Kabupaten Mapia Raya yang akhir-akhir ini menjadi trending topik, ini mendapat…
NABIRE, TOMEI.ID| Pemerintah Provinsi Papua Tengah bersama Persekutuan Gereja-Gereja dan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB)…
WAMENA, TOMEI.ID | TPNPB OPM melalui Kodap III Ndugama-Darakma kembali mengeluarkan pernyataan resmi kepada publik…
PANIAI, TOMEI.ID | SMA Negeri 3 Paniai Kebo secara resmi membuka penerimaan peserta didik baru…
NABIRE, TOMEI.ID | Warga Muslim di Kelurahan Bumi Wonorejo, Nabire, Papua Tengah mendapat berkat kurban…