Berita

IKBD-KLPUW2 Tolak PSN Jayawijaya: Pembangunan Tak Boleh Gantikan Hak Adat

JAYAPURA, TOMEI.ID | Ikatan Keluarga Besar Distrik Kurulu, Libarek, Pisugi, Witawaya, Usilimo, dan Wedangku (IKBD-KLPUW2) bersama mahasiswa asal Jayawijaya di Jayapura menyatakan sikap tegas menolak Proyek Strategis Nasional yang dinilai berpotensi mengancam keberlangsungan tanah adat dan identitas masyarakat Hubula di Kabupaten Jayawijaya.

Dalam pernyataan sikap yang disampaikan usai diskusi dan pembentukan Front Mahasiswa Peduli Tanah Adat di Asrama Nayak III, Den Sipur Ale-Ale, Kota Jayapura, Senin (6/10/2025), mereka menilai PSN di wilayah Jayawijaya menjadi bentuk kebijakan pembangunan yang mengabaikan prinsip keadilan sosial dan perlindungan hak ulayat masyarakat adat.

Koordinator Frant Mahasiswa Peduli Tanah Adat, Varra Iyaba, menegaskan pihaknya menolak setiap proyek yang dilakukan tanpa persetujuan bebas masyarakat adat atau Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

“Kami tidak menolak pembangunan, tetapi menolak cara-cara yang menghapus keberadaan kami. Tanah Hubula bukan milik negara atau perusahaan, melainkan warisan leluhur yang tak ternilai,” ujar Varra.

Proyek Dinilai Ancam Struktur Sosial dan Ekologis

Varra menjelaskan, tiga distrik yang menjadi fokus proyek Witawaya, Pisugi, dan Libarek menjadi pintu masuk bagi pengambilalihan tanah adat dengan dalih proyek cetak sawah dan program food estate.

Berdasarkan data yang dihimpun, sekitar 1.000 hektare dari total 8.000 hektare lahan adat disebut telah dialihkan tanpa keterlibatan penuh masyarakat pemilik hak ulayat.

Menurutnya, praktik semacam ini mengancam tatanan sosial, budaya, dan ekologis masyarakat Hubula yang selama ini hidup dalam sistem pengelolaan tanah adat turun-temurun.

“Tanah bagi masyarakat Hubula bukan sekadar lahan ekonomi, melainkan bagian dari kehidupan spiritual dan sosial. Jika tanah hilang, maka eksistensi kami pun ikut lenyap,” katanya.

Selain itu, Varra juga menyoroti keterlibatan sejumlah akademisi dari Universitas Cenderawasih (Uncen) yang diduga ikut mendukung proyek tersebut. Ia meminta perguruan tinggi untuk berpihak pada nilai-nilai keilmuan yang melindungi masyarakat, bukan memperkuat kepentingan proyek.

Sementara itu, Wakil Koordinator Frant Mahasiswa Peduli Tanah Adat, Kamus Bayage, menilai pertemuan antara pemerintah dan sejumlah tokoh yang mengatasnamakan masyarakat Hubula pada 12 September 2025 cacat prosedural dan tidak memiliki legitimasi adat.

“Empat orang yang hadir dalam pertemuan itu bukan pemilik hak ulayat. Mereka tidak berwenang menyetujui pelepasan tanah adat atas nama masyarakat Hubula,” ujarnya tegas.

Kamus menilai, langkah pemerintah menggelar pertemuan tertutup tanpa melibatkan masyarakat pemilik hak ulayat merupakan bentuk pengabaian terhadap asas partisipasi bermakna dalam perumusan kebijakan publik.

“Otonomi Khusus semestinya melindungi masyarakat adat, bukan dijadikan alat pembenaran untuk mempercepat perampasan tanah,” tambahnya.

IKBD-KLPUW2 menegaskan, jika aspirasi mereka tidak direspons secara serius, maka mahasiswa dan masyarakat siap memobilisasi aksi besar di Wamena.

“Kami siap turun ke jalan. Jika negara tidak menghormati hak rakyatnya, kami akan berdiri mempertahankan tanah kami sendiri,” tegas Varra.

Dalam penutup pernyataannya, IKBD-KLPUW2 menegaskan bahwa pembangunan di Papua seharusnya menempatkan masyarakat adat sebagai subjek utama, bukan sekadar objek proyek nasional.

“Pembangunan tak boleh menggantikan hak adat. Negara harus hadir melindungi rakyat, bukan meminggirkan mereka atas nama investasi,” tulis pernyataan mereka.

Mereka juga meminta pemerintah pusat meninjau ulang arah kebijakan pembangunan di Tanah Papua agar selaras dengan prinsip keadilan ekologis, hak asasi manusia, dan keberlanjutan sosial budaya.

IKBD-KLPUW2 bersama mahasiswa Papua menyampaikan enam tuntutan resmi yang ditujukan kepada pemerintah pusat, pemerintah Provinsi Papua Pegunungan, dan pemerintah Kabupaten Jayawijaya.

Pertama, mereka menolak pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) di tiga distrik di Kabupaten Jayawijaya, yang dinilai tidak melibatkan masyarakat adat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Menurut mereka, kebijakan pembangunan semacam itu berpotensi menyingkirkan masyarakat adat dari tanah leluhur mereka sendiri.

Kedua, mereka mendesak pemerintah segera menghentikan praktik perampasan tanah adat seluas 8.000 hektare yang tersebar di 12 distrik wilayah Hubula. IKBD-KLPUW2 menilai, langkah tersebut melanggar prinsip hak ulayat dan memperlemah posisi hukum masyarakat adat di hadapan negara dan korporasi.

Ketiga, mereka meminta empat tokoh lokal dan tokoh adat agar tidak lagi mengatasnamakan masyarakat Hubula dalam proyek-proyek pemerintah tanpa persetujuan lembaga adat yang sah. Mereka menegaskan, setiap keputusan terkait tanah adat harus melalui musyawarah kolektif demi menjaga legitimasi dan kesatuan masyarakat Hubula.

Keempat, mereka mendesak Universitas Cenderawasih (Uncen) untuk menghentikan segala bentuk intervensi akademik yang tidak berpihak pada masyarakat adat. Menurut mereka, perguruan tinggi seharusnya menjadi ruang moral dan ilmiah yang melindungi kepentingan rakyat, bukan menjadi instrumen pembenaran proyek yang menimbulkan penderitaan sosial.

Kelima, mereka menuntut pemerintah kabupaten dan provinsi mencabut izin usaha serta izin lokasi proyek PSN di wilayah Hubula, karena dinilai cacat prosedural dan tidak melibatkan persetujuan masyarakat pemilik tanah ulayat. Mereka menyebut, kebijakan tersebut bertentangan dengan semangat Otonomi Khusus yang menjamin perlindungan terhadap hak-hak dasar masyarakat adat Papua.

Keenam, IKBD-KLPUW2 menegaskan pentingnya pelaksanaan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang transparan, partisipatif, dan berpihak pada masyarakat terdampak. Mereka menilai, setiap proyek pembangunan harus mengutamakan aspek kemanusiaan, ekologi, dan keberlanjutan sosial budaya agar tidak mengorbankan hak hidup masyarakat adat Hubula di atas tanah leluhurnya. [*].

Redaksi Tomei

Recent Posts

IKAPPMME Perkuat Kapasitas Mahasiswa Ekadide Jayapura melalui Seminar dan Pelatihan

JAYAPURA, TOMEI.ID | Ikatan Pemuda, Pelajar, Mahasiswa/i dan Masyarakat Ekadide (IKAPPMME) se-Jayapura menggelar seminar dan…

12 jam ago

Mahasiswa Nabire Desak Pemda Bangun Asrama Putri, Soroti Kondisi Tak Layak di Waena

JAYAPURA, TOMEI.ID | Mahasiswa asal Kabupaten Nabire di Kota Studi Jayapura mendesak Pemerintah Kabupaten (Pemkab)…

12 jam ago

TPNPB Pastikan Aparat TNI yang Tertembak di Sorong Raya Belum Dievakuasi, Siap Hadapi Serangan Balasan

SORONG RAYA, TOMEI.ID | Manajemen Markas Pusat Komando Nasional Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (KOMNAS…

12 jam ago

Baku Tembak di Teluk Bintuni, Warga Sipil Mengungsi: Aparat Diminta Pastikan Perlindungan Warga

BINTUNI, TOMEI.ID | Kontak senjata dilaporkan terjadi antara kelompok bersenjata dan aparat keamanan di wilayah…

12 jam ago

Pemkab Dogiyai Perkuat Respons Bencana Daerah, Salurkan BLT dan Sembako untuk Piyaiye

DOGIYAI, TOMEI.ID | Pemerintah Kabupaten Dogiyai melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menyalurkan bantuan langsung…

12 jam ago

Festival Port Numbay Kayu Batu: Merajut Budaya dan Menggerakkan Ekonomi Kreatif Pesisir Jayapura

JAYAPURA, TOMEI.ID | Pantai Bes G di Kampung Kayu Batu, Kota Jayapura, kembali menjadi pusat…

2 hari ago