Opini/Artikel

Liga 4 Nasional: Sepak Bola Indonesia dan Luka Bernama Rasisme

Oleh: Yermias Edowai

Di tengah semangat membangun sepak bola akar rumput melalui Liga 4 Nasional, ironi pahit kembali mengemuka: rasisme masih mengakar dan nyaris tak tersentuh. Pada laga babak 32 besar yang digelar di Stadion Angkatan 45, Karanganyar, 29 April 2025, dua klub dari wilayah timur Indonesia Bintang Timur Atambua (NTT) dan Persipegaf Pegunungan Arfak (Papua Barat) secara terbuka menyatakan diri sebagai korban perlakuan rasis, sebuah noda yang mencoreng nilai-nilai sportivitas dan kebangsaan.

Ucapan bernada kebencian yang diarahkan oleh oknum suporter bukanlah luapan emosi semata. Julukan-julukan seperti “Cobra Hitam” atau “Celeng” bukan sekadar celaan stadion. Ia adalah kekerasan simbolik yang merendahkan martabat manusia, menegaskan peminggiran, dan merobek semangat persatuan yang seharusnya menjadi napas utama olahraga.

Yang lebih menyedihkan, tidak ada intervensi tegas dari perangkat pertandingan. Ketika wasit, panitia, dan federasi membiarkan hal ini berlalu, maka yang rusak bukan hanya satu pertandingan, tetapi kepercayaan terhadap sistem sepak bola itu sendiri. Dalam struktur yang demikian, keadilan menjadi ilusi. Dan sepak bola, kehilangan jiwanya.

Kondisi ini selaras dengan temuan Hidayat (2021) dalam Jurnal Olahraga dan Kesehatan, yang menekankan bahwa diskriminasi dalam pertandingan memiliki dampak psikologis jangka panjang bagi atlet. Atlet bukan sekadar entitas teknis, mereka adalah manusia dengan identitas dan harga diri yang harus dihormati. Dalam hal ini, pemain Bintang Timur dan Persipegaf tak hanya berjuang di lapangan, tapi juga melawan stigma yang membelenggu mereka sejak peluit pertama dibunyikan.

Lebih jauh, Yusuf dan Andriani (2019) dalam Jurnal Sosiologi Olahraga Indonesia menegaskan bahwa olahraga seharusnya menjadi ruang inklusif yang meruntuhkan batas sosial dan identitas primordial. Ketika atlet dari kawasan timur diperlakukan sebagai “yang lain”, maka yang dipertaruhkan bukan hanya skor pertandingan, melainkan nilai keindonesiaan itu sendiri.

Sikap tegas kedua klub layak diapresiasi. Mereka tidak hanya menuntut keadilan, tetapi menyampaikan pesan moral yang kuat: bahwa keikutsertaan mereka bukan sekadar mengejar gelar juara, melainkan memperjuangkan martabat. “Kami boleh kalah, tapi kami punya harga diri,” tulis manajemen Bintang Timur Atambua sebuah deklarasi yang jauh lebih bernilai daripada sekadar skor akhir.

Kini, PSSI berada pada titik kritis. Apakah federasi siap membuktikan komitmennya terhadap keadilan sosial, atau justru tunduk pada pola lama yang membiarkan diskriminasi tumbuh subur? Tindakan nyata sangat dibutuhkan: investigasi menyeluruh, sanksi tegas terhadap pelaku, edukasi antirasisme di semua level kompetisi, dan reformasi dalam manajemen pertandingan.

Karena jika sepak bola olahraga paling rakyat ini gagal menjadi ruang yang adil, maka kita telah kehilangan alat pemersatu yang paling ampuh dalam sejarah bangsa. Sepak bola tidak hanya tentang siapa yang menang, tapi tentang nilai-nilai yang kita jaga bersama. Jika rasisme dibiarkan, maka setiap peluit yang berbunyi adalah suara kegagalan kita merawat Indonesia sebagai rumah bersama. [*]

)* Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Cenderawasih, Jayapura-Papua.

Redaksi Tomei

Recent Posts

Wabup Deiyai Sindir DPRD yang Absen Apel: “Ganjil, Masa’ Wakil Rakyat Tak Pernah Muncul?”

DEIYAI, TOMEI.ID | Wakil Bupati Deiyai, Ayub Pigome, mengkritisi rendahnya disiplin anggota DPRD Kabupaten Deiyai,…

7 menit ago

Tragis! Pasar Lama Dekai Rata dengan Tanah Tanpa Pemadam Kebakaran

DEKAI, TOMEI.ID | Kebakaran hebat melanda Pasar Lama Dekai, Yahukimo, Papua Pegunungan, Senin (13/10/2025) pagi.…

1 jam ago

Back to the Future Garuda: Wajah Gelap di Balik Lapangan ‘Rasisme’ Netizen terhadap Pemain Papua (2019–2025)

Oleh: Yeremias Edowai Pada tahun 1938, tim Hindia Belanda cikal bakal Timnas Indonesia menorehkan sejarah…

2 jam ago

Wabup Mus Kogoya Geram! ASN Puncak Jaya Jangan Main-Main dengan Miras

MULIA, TOMEI.ID | Wakil Bupati Puncak Jaya, Mus Kogoya, memberikan peringatan keras kepada seluruh Aparatur…

3 jam ago

IKAPPMME Perkuat Kapasitas Mahasiswa Ekadide Jayapura melalui Seminar dan Pelatihan

JAYAPURA, TOMEI.ID | Ikatan Pemuda, Pelajar, Mahasiswa/i dan Masyarakat Ekadide (IKAPPMME) se-Jayapura menggelar seminar dan…

16 jam ago

Mahasiswa Nabire Desak Pemda Bangun Asrama Putri, Soroti Kondisi Tak Layak di Waena

JAYAPURA, TOMEI.ID | Mahasiswa asal Kabupaten Nabire di Kota Studi Jayapura mendesak Pemerintah Kabupaten (Pemkab)…

16 jam ago