JAYAPURA, TOMEI.ID | Forum Komunikasi Mahasiswa-Mahasiswi Kabupaten Paniai (FKM-KP) se-Kota Studi Jayapura, melalui Tim Peduli Kemanusiaan, Alam, dan Tanah Adat, menyampaikan pernyataan sikap resmi menolak berbagai bentuk pemekaran wilayah, pembangunan infrastruktur militer, dan eksploitasi sumber daya alam (SDA) di Kabupaten Paniai, Papua Tengah.
Pernyataan ini disampaikan dalam jumpa pers yang digelar di depan Asrama Mahasiswa Paniai, Perumnas III Waena, Jayapura. Aksi tersebut menjadi bentuk keprihatinan atas arah kebijakan pembangunan yang dinilai mengabaikan hak masyarakat adat dan merusak lingkungan hidup.
“Pembangunan yang tidak melibatkan rakyat adalah bentuk penjajahan baru atas tanah leluhur,” tegas FKM-KP dalam pernyataan resminya.
Forum mahasiswa dengan tegas menolak rencana pembentukan dua Daerah Otonomi Baru (DOB) di Paniai, dan Kabupaten Paniai Timur dengan ibu kota Bogobaida dan Kabupaten Delema Jaya dengan ibu kota Duma Dama. Mereka menilai pemekaran bukan solusi, melainkan bagian dari ekspansi kepentingan politik dan ekonomi yang akan membuka jalan bagi perampasan tanah adat dan menambah konflik sosial.
Menurut FKM-KP, DOB hanya akan memperburuk tata kelola pemerintahan karena lemahnya kesiapan fiskal, minimnya sumber daya manusia, dan rawannya korupsi serta tumpang tindih pelayanan publik.
FKM-KP juga menolak pembangunan jalan trans dan kehadiran pos-pos militer di wilayah adat. Proyek-proyek seperti Apuyai–Uwebutu, Paniai–Intan Jaya, dan Namutadi–Baiyabiru dinilai berpotensi merusak ekosistem hutan dan menciptakan gangguan sosial serta rasa takut di kalangan masyarakat sipil.
Penempatan aparat keamanan di distrik seperti Toyaimoti, Obanoe, dan daerah pelosok lainnya dianggap sebagai bentuk militerisasi yang tidak berdasar dan justru menambah trauma kolektif masyarakat Papua.
Mahasiswa juga menyoroti ekspansi jaringan 4G yang tidak disertai edukasi digital berbasis budaya lokal. Mereka khawatir kemajuan teknologi yang tak terkendali akan menimbulkan masalah baru seperti penipuan daring, pencurian data, dan degradasi nilai-nilai budaya.
Selain itu, FKM-KP mendesak pencabutan tujuh pos kamling di Enarotali yang menurut mereka justru menjadi sumber keresahan, bukan keamanan. Pos-pos di Terminal Madi, Belakang Terminal, Depan Lantas, dan titik lainnya dianggap tidak efektif dalam menciptakan rasa aman.
Pernyataan juga menolak eksploitasi SDA oleh perusahaan tambang dan proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kali Yawei. Mereka menuding aktivitas ini telah mencemari air, merusak tanah ulayat, dan mengusir masyarakat adat dari ruang hidup mereka.
Agenda pariwisata di Dimiya, Abaidimi Ekaugi, Yatougi Enarotali, Pemancingan Bobaigo Mogodagi, Wegamo, dan Dagouto juga mendapat sorotan. Proyek-proyek ini dinilai sebagai bentuk komersialisasi budaya yang mengabaikan partisipasi masyarakat adat.
Dalam penutupan pernyataan, mahasiswa menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat sipil, gereja, akademisi, dan komunitas adat untuk bersatu menjaga tanah Papua. Mereka mendesak pemerintah untuk menjunjung tinggi konstitusi, khususnya Pasal 28E, 28G, 28H, dan 18B UUD 1945 yang menjamin kebebasan berpendapat, rasa aman, lingkungan hidup yang sehat, dan pengakuan hak masyarakat adat.
“Jaga tanah kami, lindungi masa depan generasi Papua,” menjadi pesan utama dalam aksi tersebut.
Pernyataan ini menegaskan komitmen moral mahasiswa Paniai untuk menjaga tanah, hutan, dan martabat masyarakat Papua Tengah dari ancaman kolonialisme gaya baru yang mengatasnamakan pembangunan. [*]