Oleh: Johan F. Tebai
Baru-baru ini, beredar sebuah video pendek yang memperlihatkan beberapa anggota gabungan TNI-Polri dan pejabat dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua, yang membakar mahkota cenderawasih. Peristiwa ini terjadi di Jayapura, pada 20 Oktober 2025. Video yang direkam tersebut sontak viral dan menuai banyak kritikan, bahkan kecaman dari banyak pihak seperti DPR RI dapil Papua, aktivis lingkungan, tokoh adat serta lembaga kultural seperti Majelis Rakyat Papua (MRP). Namun, tidak sedikit pula yang mendukung serta mengapresiasi tindakan tersebut.
Umum diketahui bahwasannya mahkota adat cenderawasih merupakan sebuah atribut asal Papua yang ikonik. Mahkota tersebut bukan hanya menjadi hiasan semata, namun dimaknai sebagai simbol kehormatan dan mengandung nilai-nilai budaya yang telah terpelihara sejak lama. Tindakan pembakaran atribut yang dianggap sakral tersebut kemudian dinilai rakyat Papua sebagai sebuah bentuk pelecehan terhadap budaya orang Papua. Hal tersebut terlihat dari pernyataan Max Ohee, Wakil Ketua II MRP Papua yang mengecam dan menyesalkan tindakan tersebut yang dinilainya sebagai sebuah penghinaan dan pengkhianatan. Kecaman yang serupa pula datang dari pihak MRP Papua Selatan dan Papua Barat Daya yang mendorong Gubernur se-Papua untuk menyikapi tindakan pembakaran tersebut secara serius.
Di sisi lain, pdt. Benny Giyai, seorang antropolog senior Papua memiliki pandangan yang berbeda. Ia beranggapan bahwa budaya perburuan liar serta pempopuleran jual-dagang mahkota cenderawasih ini dilatar belakangi oleh budaya asing (bangsa colonial) demi mengejar utung. Dalam videonya yang diunggah melalui akun facebook milik Viktor Yeimo pada 22 Oktober 2025, ia bahkan secara radikal mempertanyakan asal usul budaya memakai mahkota burung cenderawasih tersebut. “Apakah mahkota cenderawasih itu orang Papua pernah pakai dalam budaya Papua sejak 100, 200 tahun yang lalu. Tidak ada. Ini barang yang Indonesia bikin untuk mendapat keuntungan”. Sedangkan Viktor Yeimo, aktivis HAM Papua juga menunjukan keprihatinan akan cara berpikir masyarakat Papua yang menurutnya terjebak dalam ilusi palsu yang mencintai symbol yang diciptakan penindas. Lebih lanjut, ia menegaskan pula bahwa manusia Papua harus mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi. “Membela budaya berarti membela kehidupan, bukan hanya simbol. Membela mahkota berarti menjaga cenderawasih serta ekosistemnya. Membela bangsa berarti memulihkan kembali hubungan suci antara manusia dan tanah leluhur”.
Terlepas dari berbagai persepsi yang muncul, pihak Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pusat, menyampaikan permohonan maaf atas kekecewaan serta rasa terluka yang dirasakan masyarakat Papua. Mereka menanggapi bahwa tindakan itu murni dilakukan sebagai bagian dari upaya perlindungan satwa liar yang dilindungi dan juga dalam upaya memutus mata rantai perburuan serta perdagangan illegal. Kini, mereka juga mendesak BBKSDA Papua untuk segera berkomunikasi dengan lembaga adat, MRP, dan tokoh masyarakat setempat.
Jika ditinjau kembali secara rill akan populasi burung cenderawasih, banyak riset ilmiah yang menunjukkan bahwa angka populasinya mengalami degradasi. Hasil penelitian terakhir pada Mei 2012 oleh tim BKSDA Papua yang dilakukan di Enarotali, Kabupaten Paniai, menegaskan bahwa setiap satu kilo meter persegi hanya ditemukan 2-3 ekor cenderawasih. Padahal, tahun 2000-2005 masih ditemukan 10-15 ekor. Penelitian ini terjadi 13 tahun lalu dan hingga kini belum ada penelitian terbaru. Namun dengan adanya perburuan liar, deforestasi, dan tindakan serupa lainnya, tentu membuat populasi cenderawasi kian diseret ke ambang kepunahan. Kepunahan cenderawasih sudah tersirat dari berkurangnya jumlah mereka secara drastis di alam Papua.
Populasi burung cenderawasih yang terancam punah ini mesti mendapat perhatian serius. Ada berbagai jalan yang telah diterapkan untuk perlindungan terhadap satwa langka seperti burung cenderawasih ini, mulai dari kebijakan pemerintah pusat maupun secara lokal. Langkah-langkah konstitutif yang telah ditetapkan ialah melalui UU No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi satwa liar, PP No. 7 Tahun 1999, tentang daftar satwa yang dilindungi, serta melalui berbagai kebijakan daerah dan komunitas adat Papua. Selain itu, dibuat pula cagar alam dan hutan lindung, taman nasional, penangkaran dan rehabilitas, serta ekowisata adat. Namun sejauh ini, tindakan perburuan serta perdagangan illegal terhadap “burung surga” ini masih marak terjadi.
Hemat penulis, tindakan pembakaran mahkota burung cenderawasih yang dilakukan oleh pihak TNI-Polri serta tim BBKSDA Papua merupakan tindakan yang tidak tepat. Mereka mengakui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk memutus mata rantai jaringan perburuan serta perdagangan illegal burung cenderawasih di Papua. Namun, tindakan yang diambil–membakar mahkota cenderawasih–merupakan sebuah tindakan yang bersifat tidak etis karena membakar warisan budaya yang bernilai luhur. Masyarakat Papua merasa bahwa tindakan tersebut berkonotasi buruk yaitu menginjak serta melecehkan budayanya yang telah diturunkan leluhur kepada mereka. Sepatutnya, pihak BBKSDA menempuh jalan yang lebih elegan dengan mempertimbangkan aspek sosial dan budaya masyarakat Papua. Penyitaan mahkota serta burung cendrawasi illegal seharusnya diserahkan kepada pihak adat tertentu atau disimpan di gallery budaya/museum sebagai sebuah bentuk penghargaan nilai-nilai budaya dan leluhur orang Papua.
Di sisi lain, penulis juga berpikir bahwa penejelasan Viktor Yeimo memang penting dan perlu diberi perhatian serius. Masyarakat Papua perlu memiliki pengetahuan dan kesadaran yang konfrehensif akan seluruh persoalan yang terjadi di tanah Papua. Mahkota cenderawasih adalah sebuah hasil kebudayaan yang tercipta dari relasi manusia, alam Papua dan Sang Pencipta, sehingga antar keseluruhan komponennya memiliki hubungan yang tidak terpisahkan. Jika keempat aspek tersebut (manusia, budaya, alam, dan Sang Pencipta) dilihat secara terpisah, maka masing-masing bagiaannya akan kehilangan maknanya yang mendasar. Pertahankan budaya berarti pertahankan manusianya, alam/hutan-nya serta relasinya yang baik dengan Tuhan. Masyarakat Papua perlu menyadari bahwasannya sedang terjadi krisis kebudayaan, kemanusiaan, alam/hutan, bahkan dalam hubungannya dengan Sang Pencipta. Semuanya perlu diberi perhatian yang sama.
Akhirnya, persoalan pembakaran mahkota cenderawasih tidak hanya menjadi sebuah persoalan kebudayaan tetapi menjadi sepaket persoalan yang terikat dengan kemanusia, alam, dan aspek religi. Menyelamatkan semuanya itu menjadi tanggung jawab moral bagi seluruh manusia dari semua kalangan. Baik pemerintah dan rakyat perlu bekerjasama untuk menjaga dan melindungi ancaman yang sedang secara halus namun nyata sedang ‘membunuh’ eksistensi masyarakat Papua di atas tanah leluhurnya sendiri. [*].
)* Penulis adalah mahasiswa sekolah tinggi filsafat teologi (STFT) “Fajar Timur” Abepura-Jarapura.
Daftar sumber:
- Penelusuran via internet di kanal RRI Digital: https://rri.co.id/daerah/1919207/mrp-papua-tanggapi-pemusnahan-atribut-mahkota-cenderawasih. Kamis, 23 Oktober 2025.
- Penelitian populasi burung cenderawasih oleh tim BBKSDA pada tahun 2012 di Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua. https://dri.ipb.ac.id/burung-cendrawasih-nasibmu-kini/. Kamis, 23 Oktober 2025.
- BBKSDA Papua ungkap alasan mengapa musnahkan mahkota cenderawasih picu demo rusuh. https://www.detik.com/sulsel/hukum-dan-kriminal/d-8174826/bbksda-papua-ungkap-alasan-musnahkan-mahkota-cenderawasih-picu-demo-rusuh. Kamis, 23 Oktober 2025.
- Kanal Instagram @cenderawasihposreal, pada 23 Oktober 2025, tentang “Kemenhut Minta Maaf, akan Mengkaji Penanganan Barang Bukti Bernilai Budaya.”
- Video Pdt. Benny Giyai melalui akun facebook milik Viktor Yeimo pada 22 Oktober 2025.
- Postingan suara Viktor Yeimo di akun facebooknya pada 24 Oktober 2025.
)* Penulis adalah mahasiswa sekolah tinggi filsafat teologi (STFT) “Fajar Timur” Abepura-Jarapura.










