Oleh: Jher Wimagati
CINTA tidak selalu hancur oleh pertengkaran. Kadang ia mati perlahan dalam diam. Dalam pesan yang tidak pernah dibaca. Dalam centang satu yang bertahan terlalu lama. Dalam ketidakhadiran yang tidak pernah dijelaskan. Dalam kehilangan yang tak diberi kesempatan untuk bertanya: “kenapa?”
Seperti halnya fajar yang datang tanpa suara, begitulah cinta hadir dalam hidup Edo. Ia tidak tahu pasti kapan perasaan itu tumbuh. Mungkin saat tawa Merry menyelinap dalam percakapan sederhana. Mungkin saat tatapan mata mereka bersua terlalu lama dalam rapat pelajar-mahasiswa Mapia Selatan di Karang Mulia, Nabire, awal tahun 2025.
Merry, saat itu duduk tenang, berseragam putih abu-abu. Ia siswi SMA Kristen Anak Panah Nabire. Sosoknya bersahaja, penuh cahaya. Tertawanya ringan, cara bicaranya santun, dan keberadaannya seperti musim semi yang hadir terlalu cepat di tengah hujan Januari.
Sementara Edo adalah mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Cenderawasih Jayapura. Ia sibuk dengan tugas akhir, proposal skripsi, dan laporan kegiatan. Ia seorang jurnalis muda di organisasi kampus yang tekun menulis soal keadilan, namun di balik itu, hatinya lembut dan tulus ketika bicara tentang cinta.
Pertemuan itu bukan pertemuan pertama mereka. Tapi saat itu terasa berbeda. Mungkin karena usia Merry yang mulai dewasa. Mungkin karena Edo yang kini lebih tenang dan tahu ke mana hidupnya hendak diarahkan. Dari sana, benih perasaan tumbuh perlahan. Tak pernah disebut, tak pernah diresmikan, tapi terasa.
Hubungan mereka tidak punya label. Tidak ada status. Namun tiap pesan adalah jembatan. Tiap panggilan video adalah rumah. Mereka bicara tentang masa depan, tentang kuliah, tentang rumah kecil di ujung Nabire, tentang harapan yang didekap bersama. Hingga suatu malam, Merry menangis dalam panggilan video dan berkata:
“Kalau sa tamat SMA dan liburan, Edo pulang ke Nabire. Sa mau ko datang lamar sa. Datang menghadap mama. Serius.” Edo menjawab cepat, tanpa jeda. “Sa su anggap ko tuh rumah. Sa akan pulang ke ko, Merry.”
Itu bukan janji manis remaja. Itu adalah tekad. Kalimat yang lahir dari kesungguhan. Dari keyakinan bahwa cinta yang mereka bangun tidak sedang bermain-main.
Namun hidup tidak berjalan seperti novel yang mereka baca bersama. Takdir, seolah ingin menguji janji, mulai menarik jarak dan waktu. Merry mulai sibuk dengan ujian akhir. Edo berangkat KKN ke pelosok Biak Numfor. Lalu pesan-pesan mulai terlambat dibalas. Kemudian hanya centang satu.
Awalnya sehari. Lalu dua. Lalu seminggu.
Edo masih menunggu. Ia naik bukit di Biak untuk mencari sinyal, hanya demi mengirim pesan pendek: “Merry, sa harap ko baik-baik.” Tapi tak ada balasan. Ia menghibur diri: mungkin HP Merry rusak, mungkin sinyal, mungkin sibuk. Tapi jauh di dalam hati, ia tahu: yang rusak bukan ponsel. Yang hilang bukan pulsa. Tapi perasaan itu sendiri.
Lalu, datang notifikasi yang paling menyesakkan: “Nomor ini telah diblokir.”
Hanya satu tombol. Tapi cukup untuk meruntuhkan semua jembatan. Untuk memutus semua yang dibangun dengan kesabaran.
Teman-teman Edo mulai berbisik. “Merry di Nabire sering jalan dengan lelaki lain. Satu angkatan. Satu usia. Mereka unggah foto bersama di Instagram. Ke pantai. Ke taman.” Tapi itu bukan bagian paling menyakitkan. Yang menyakitkan bagi Edo adalah cara Merry pergi: diam-diam, tanpa kata perpisahan, tanpa klarifikasi, tanpa penjelasan. Seolah semua tidak pernah ada.
Edo tidak mengutuk. Tidak membenci. Ia hanya duduk lama menatap layar kosong. Mengulang-ulang voice note lama dari Merry. Ia belum bisa menghapusnya. Ia masih menyimpannya, bukan untuk mengenang, tapi untuk belajar melepaskan.
“Merry, kalau ko tidak cinta lagi, bilang sa. Sa akan terima. Tapi ko diam… sa tidak tahu, apa yang salah?”
Tidak semua luka berdarah. Tidak semua kehilangan datang dengan tangis. Ada luka yang tumbuh diam-diam. Seperti kabut pagi yang menggantung, tak pernah jadi hujan. Edo mulai belajar hidup dengan luka itu. Ia tetap mengajar anak-anak di kampung. Tetap menulis laporan KKN. Tetap senyum saat teman-teman bertanya, “Ko kenapa?”
Ia hanya menjawab, “Tidak apa-apa.” Tapi hatinya tahu: ada yang belum selesai.
Setiap malam, Edo membuka galeri. Melihat foto Merry dalam seragam sekolah. Foto yang dulu membuatnya bahagia. Kini, hanya menjadi tanda tanya besar. Ia tidak melihatnya untuk bernostalgia, tapi untuk perlahan berkata kepada diri sendiri: “Sudah cukup.”
Karena cinta, bahkan yang dalam sekalipun, harus tahu kapan ia harus pergi.
Yang paling pedih bukan kehilangan seseorang yang kita cintai. Tapi kehilangan tanpa tahu kenapa. Ditinggalkan tanpa diberi kesempatan bertanya. Dihapus tanpa peringatan. Seperti novel yang ditutup di tengah babak paling penting.
Dan yang paling membuatnya tersungkur adalah kalimat yang dulu pernah Merry ucapkan: “Kalau ko hilang, Merry akan cari ko di doa-doa sampai pelaminan.”
Tapi ketika Edo hilang, tak ada yang mencarinya. Tak ada yang bertanya. Tak ada yang berkata, “Ko di mana?”
Kini Edo sudah kembali dari KKN. Tidak ada unggahan. Tidak ada caption manis. Hanya senyum tipis di bibirnya. Tapi matanya masih menyimpan hujan. Ia lebih tenang. Lebih kuat. Tapi luka itu belum benar-benar pergi.
Setiap kali memberi motivasi kepada murid-murid kecilnya, Edo selalu menutup dengan kalimat yang sama:
“Kalau nanti kamu cinta seseorang, jangan tinggalkan dia diam-diam. Ucapkan. Jelaskan. Tutup dengan hati. Karena yang ditinggalkan juga butuh alasan untuk bisa melepaskan.”
Merry mungkin sudah memblokir nomor Edo. Tapi Edo tidak bisa memblokir nama Merry dari kenangannya. Ia hanya bisa perlahan menghapus jejaknya dari layar. Dari galeri. Dari voice note. Dari cuplikan-cuplikan pendek yang dulu disimpan untuk perayaan hari jadi mereka yang tak pernah sempat ada.
Bukan dari hati. Bukan dari langit malam yang ia tatap sendiri di balik tirai kampung Biak. Dan, saat malam turun perlahan, ketika bintang meredup, dan angin menyelinap lewat jendela posko yang terbuka, Edo masih menyebut satu nama. Bukan untuk memanggil kembali.
Tapi untuk benar-benar…selesai.
Merry, jika benar kita ditakdirkan hanya saling diam, biarlah sa simpan kisah ini sebagai doa yang tak selesai. Sa tidak akan lagi menunggu balasan dari layar. Tapi nama ko… tetap hidup tenang di sudut hati sa yang paling sunyi. Terima kasih. [*]
)* Penulis adalah penggemar nomor empat belas, kisah ini diangkat dari catatan nyata yang ditulis kembali dalam bentuk naratif sastra untuk rubrik Kisah Hati di TOMEI.ID