JAYAPURA, TOMEI.ID | Ratusan mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) menggelar aksi protes di depan Gapura Kampus Abepura, Kamis (22/5/2025), menolak kebijakan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dinilai tidak transparan dan memberatkan, terutama bagi mahasiswa asal keluarga ekonomi lemah.
Aksi ini buntut kekecewaan mendalam atas minimnya ruang dialog antara mahasiswa dan pihak rektorat.
Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) Uncen, Yunus Kobepa, menjelaskan bahwa berdasarkan data dari jalur masuk SNMPTN, SLSB, dan JMSB, terdapat lonjakan UKT yang signifikan sejak tahun akademik 2023/2024 hingga 2025. Ia menyebut kebijakan ini tidak hanya membebani mahasiswa, tetapi juga mengancam keberlangsungan studi anak-anak Papua.
“Kami memiliki data konkret dari berbagai fakultas. Kenaikan UKT ini bukan hanya tidak adil, tapi juga tidak manusiawi,” ujar Kobepa saat ditemui di Jayapura, Jumat (23/5) pagi.
MPM sebelumnya telah mengirim surat permohonan audiensi kepada pihak rektorat, namun surat tersebut justru dialihkan antarpejabat tanpa tanggapan serius. Kobepa menyebut tindakan itu sebagai bentuk pelecehan terhadap proses komunikasi mahasiswa.
“Surat ditujukan ke Rektor, malah dilempar ke WR I lalu ke WR III. Padahal sebelumnya sudah diserahkan langsung ke WR III. Ini melecehkan itikad baik kami,” tambahnya.
Pada hari pelaksanaan aksi, Rektor Uncen tidak hadir menemui massa. Mahasiswa menyayangkan kehadiran aparat gabungan yang justru memperketat pengamanan. Mereka menilai langkah ini sebagai pembatasan kebebasan berekspresi dan mencerminkan sikap antikritik dari pimpinan kampus.
“Pendekatan represif ini memperkeruh suasana. WR III dan Kepala Biro Akademik hanya hadir sebentar tanpa mediasi serius. Bahkan sempat ada ancaman penangkapan terhadap peserta aksi,” ujar salah satu mahasiswa.
Ketegangan meningkat saat terjadi benturan antara mahasiswa dan aparat. Beberapa fasilitas rusak, termasuk sepeda motor dan komputer milik mahasiswa, serta satu unit mobil Dalmas kepolisian yang terbakar. Sejumlah mahasiswa dan aparat dilaporkan mengalami luka-luka.
Kobepa menyesalkan pecahnya kericuhan tersebut dan menegaskan bahwa insiden itu berada di luar kendali panitia aksi.
“Kami menolak segala bentuk kekerasan. Tapi pimpinan kampus juga harusnya mampu mengelola dinamika ini dengan kepala dingin,” katanya.
Terkait tudingan bahwa aksi didasari hoaks, Kobepa membantah keras. Ia menyatakan bahwa seluruh tuntutan mahasiswa berbasis data yang dikumpulkan selama lebih dari satu tahun.
“Kami tidak membuat isu. Yang kami lawan adalah praktik komersialisasi pendidikan yang mencederai hak mahasiswa atas pendidikan tinggi,” tegasnya.
Dalam pernyataan sikapnya, MPM Uncen menyampaikan empat tuntutan utama: 1. Penurunan UKT sebesar 50 persen dari tarif saat ini; 2. Pembukaan ruang dialog resmi antara pimpinan kampus dan mahasiswa lintas fakultas; 3. Evaluasi menyeluruh dan keterbukaan informasi terkait penetapan UKT dan anggaran kampus; dan 4. Penghentian pendekatan represif terhadap gerakan mahasiswa serta jaminan atas kebebasan berpendapat di lingkungan kampus.
Kobepa juga menyoroti dugaan keterlibatan pihak eksternal, termasuk investor lokal, dalam memengaruhi arah kebijakan kampus. Ia menilai hal ini menandai privatisasi pendidikan tinggi yang mengancam independensi dan integritas kampus sebagai ruang intelektual.
“Kampus tidak boleh menjadi ruang eksklusif bagi mereka yang mampu secara finansial. Pendidikan adalah hak, bukan komoditas,” tutup Kobepa.
Aksi ini menegaskan konsistensi mahasiswa sebagai penjaga nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial di lingkungan akademik. Mereka menyerukan agar kampus tetap menjadi arena terbuka untuk kritik, dialog, dan pembelaan terhadap kepentingan publik. [*]