Paus Leo XIV dan Harapan Perdamaian Dunia (I)

oleh -209 Dilihat
Mengenal ‘Singa Suci’, Sang Penjaga Kehidupan Semesta. (Foto. Istimewa)

Oleh: Siorus Ewainaibi Degei

Gereja Katolik selalu melahirkan pemimpin yang sesuai dengan situasi dan kondisinya. Pemimpin-pemimpin tersebut hadir sebagai ‘Oase’ atau embun sejuk ketika Gereja benar-benar berada di bawah suatu kegentingan atau persoalan-persoalan pelik, rumit dan sukar lainnya. Hal semacam ini yang barangakli membuat Gereja mampu senantiasa survive di tengah gempuran tantangan, hambatan, dan ancaman yang datang silih pasang surut baik itu dari dalam Gereja sendiri maupun dari luar Gereja. Rupanya dengan ini, maka bimbingan dan lindungan daripada Roh Kudus yang menjadi ‘nafas’ eksistensi Gereja itu sungguh benar-benar ada menghidupkan Gereja.

banner 728x90

Dalam tulisan ini kita akan sedikit melihat bagaimana ketika Gereja berada di persimpangan pergolakkan hadir sosok pemimpin Gereja yang hebat, yang mampu membendung semua badai yang hampir saja melenyapkan sakralitas dan spiritualitas Gereja. Ia, adalah Santo Leo Agung, paus dan punjangga Gereja yang hebat pada masanya dalam menjaga dan melindungi Gereja dari terkaman bidaah dan bangsa-bangsa barbar. Paus Leo Agung tampil bak ‘Singa’ yang mampu menerkam habis semua binatang buas yang mau merongrong sakralitas iman dan keutuhan Gereja.

Riwayat Singkat Paus Leo Agung : Singa Suci, Penjaga Iman dan Gereja

Paus Leo Agung lahir di Tuscany, Italia pada tahun 391 dari keluarga bangsawan. Sejak kecil ia sering dipanggil dengan nama, Leo. Ia dikenal lantaran sikap tegasnya atas fenomena-fenomena krusial seputar rongrongan terhadap iman, Gereja dan kota Roma. Ia adalah Diakon Diosesan di Gereja Roma yang diangkat menjadi pemimpin tertinggi Gereja Katolik pada tanggal 29 September 440. Ia menjadi Paus tengah dalam melaksanakan sebuah misi diplomatik dari Paus Valentintianus III untuk memdamaikan dua jenderal perang berkebangsaan prancis, Aetius dan Albinus. Upaya ini dirasa perlu oleh Kaisar Valentinus sebab apabila kedua jenderal tersebut berperang, maka dengan begitu daya  keduanya di Prancis akan melemah, dan dengan demikian musuh, dalam hal ini bangsa barbar akan menggunakan momen tersebut untuk masuk dan merebut Prancis, itu berarti Kaisar Valen akan kehilangan beberapa wilayah kekuasaannya di Prancis, sehingga karena memang pada waktu itu sebagai sosok yang berdarah ningrat atau aristokrat, Diakon Leo yang terpilih menjadi Paus menggantikan Paus sebelumnya, yakni Paus Sixtus III (432-440) itu dinilai oleh otoritas kekaisaran mampu medialogkan kedua kubuh tersebut mencari jalan damai, bersatu, sambil membentengi diri, istana dan rakyat dari ancaman terkaman bangsa-bangsa barbar yang pada waktu itu masuk menyerang kemapanan wilayah-wilayah kekaisaran, semisal bangsa Barbar dan Gensenrik yang kemudian akan dihadapi juga oleh Paus Leo. Paus Leo adalah Paus I yang digelari “Agung” dari 4 orang Paus yang dianugerahi gelar “Agung” (The Great). Nama Leo bersal dari Bahasa Yunani (Leon) yang berarti Singa atau “Berani Seperti Singa”.

Sepak Terjang Paus Leo Agung Menghadapi Bidaah-Bidaah

Ada beberapa bidaah yang pada masa pontifikat Paus Leo Agung mulai secara terang-terangan mengepul sayapnya masuk menggerogoti dimensi-dimensi fundamental teologi Gereja Katolik, yang menjadi nilai warisan iman yang mulia itu. Bidaah-bidaah ini tidak berdiri sendiri, diwartakan oleh beberapa kaum, dan didukung oleh segelintir orang dan pihak, tetapi sebaliknya bahwa rupanya bidaah-bidaah ini difasilitasi oleh “orang-orang besar” pada waktu itu, semisal raja, kaisar, pengusaha, dan banyak jemaat, bahkan tidak sedikit kaum religius baik yang tertahbis seperti pastor dan uskup, juga kaum religius tak tertahbis juga turut serta mengilhaminya secara mentah-mentah dan radikal. Beberapa bidaah yang muncul pada jaman kepemimpinan Paus Leo Agung I, antara lain adalah, pelagianisme, manicheisme, priscillianisme dan monofisitisme.

Pertama, pelagianisme. Adalah paham yang tidak mengakui atau menolak pentingnya rahmat keselamatan dari Allah, sebab manusia sendiri dengan kehendaknya mampu memilih sendiri hekekat dan orientasi hidupnya tanpa bergantung pada rahmat Allah. Ajaran sesat ini berasal dari seorang rahib berkebangsaan Inggris bernama Palagius. Paus Leo tidak serta merta menolak Pelagius, masih ada dispensasi atau garansi yang diberikan oleh Paus Leo agar Palagius mau bertobat dan menarik kembali semua ajaran-ajarannya yang notabene bertentangan atau bertolak belakang dengan ajaran-ajaran resmi iman yang ada dalam Rahim Kitab Suci, Magisterium, Tradisi Suci, dan Kesaksian Para Suci Gereja Katolik. Paus Leo menuntut agar Pelagius dan rombongannya mau membuat pengakuan iman Katolik yang baik dan benar dihadapan sinode para Uskup di wilayahnya dan secara tegas meninggalkan ajaran-ajaran pelagianisme. Namun lagi-lagi, Pelagius tidak menggubris sama sekali iktikad baik dari Paus yang bermulut malaikat itu, Pelagius sendiri dengan demikian telah mengeksomunikasikan diri dan komunitasnya sendiri dari kesatuan komunitas Gereja Katolik.

Kedua, manicheisme. Adalah sebuah paham dualistis yang mempertentangkan dua unsur dasar yang membentuk realitas dunia ini. Yakni antara kebaikan dan kejahatan. Bagi kaum Manicheisme ini tubuh atau daging manusia adalah sumber dosa dan salah, sarang iblis, tempat iblis membangun kerajaan maut dan dosanya, sehiangga memang sesuatu yang bersifat duniawi itu serba jahat, sedangkan sesuatu yang bersifat roh surgawi itu baik. Konsekuensi mereka menolak hidup mewah, makan enak, dan segala hal glamor yang bersifat pragmatis, hedonis, daginiah atau badaniah, sebab pada hakikatnya itu adalah sebuah kejahatan, sumber dosa, sehingga mereka menempuh jalan bermatiraga, jalan asketis untuk membunuh daging dan menghidupkan roh, hidup dalam roh dengan jalan menyangkal daging yang fana dan rentan dosa itu. Ajaran ini dicetuskan oleh Manichaeus, yang berasal dari Mardini, di Gurun Nahr Kuta, Babilonia Selatan pada 14 April 216. Salah satu teolog besar Gereja Katolik, Santo Agustinnus dari Hippo sempat menjadi penganut paham ini yang tulen di masa awal-awal restorasi dan refleksi dirinya yang mau menyangkal daging dan segala aktivitas gelapnya, karenanya memilih bermatiraga dalam hening dan diam. Bahkan jika boleh jujur ajaran ini masih eksis sampai sekarang, banyak orang yang masih merasa bahwa mereka akan hidup suci dan mendekati surga jika mereka benar-benar menolak dunia raga ini, menolak semua keinginan daging atau nafsu, menyalibkan semua kenikmatan dunia di dalam jalan bermatiraga, jalan asketis yang puritan, doa-puasa, tidak makan dan minum demi memperoleh pencerahan.

Pada masanya, Paus Leo juga turut serta menetralisir gelombang ajaran ini di wilayahnya, Roma, Italia. Pasalnya, bangsa Vandal menaruh perhatian besar terhadap gelombang gerakan manicheisme ini melalui bangsa Kartago yang bermigrasi ke Roma, Italia. Bangsa Vandal, rupanya menggunakan ajaran manicheisme ini untuk menyusup masuk ke wilayah Roma dalam rangka menyerang dan menaklukkan kekaisaran Roma. Ajaran manicheisme pun mulai berkembang pesat di imperium Romawi kala itu, sehingga  cepat dan tepat gelombag perkembangan ajaran gelap ini diatasi oleh Paus Leo pada tahun 443 dengn menggalakkan kampanye untuk menekan penyebaran ajaran sesat yang satu ini. Dengan dukungan Kaisar Valentinus III Paus Leo mampu meredam pertumbuhan ajaran manicheisme di Roma. Indahnya adalah bahwa Paus Leo tidak merespons ajaran-ajaran sesat ini secara represif dengan tangan besi, ia lebih memilih jalan damai, jalan dialogis dan rekonsiliasi sebagaimana sikap sejati Allah yang tidak selalu main “hakim sendiri”. Berkat Paus Leo, banyak penganut aliran manicheisme yang bertobat dan kembali kepda terang injil Yesus Kristus.

Ketiga, priscilliasme. Rupanya ajaran sesat itu bukan saja bertumbuh dan berkembang menjalar liar di imperium Romawi. Di luar kota Roma pun tidak dapat ditampik bahwa ajaran sesat itu selalu saja berdenyut, ada dan berkibar menyodorkan panji-panji ajarannya ke segala penjuru umat dengan variasi pikiran, perasaan, wacana pergumulannya. Di Spanyol terbesit fenomena kebangkitan aliran dan priscillianisme. Sebuah paham bidaah yang nyaris sama dengan manicheisme. Jika aliran Manicheisme memperoalkan tentang dualisme antara kebaikan dan kejahatan yang termanifetasi dalam tubuh manusia dan rohnya. Dalam aliran priscillianisme juga merupakan merupakan paham dualistis yang mempertentangkan antara unsur duniawi dan ilahi. Bagi kaum ini kejahatan itu sudah sangat konkrit dalam seluruh realitas dunia ini. Mereka meyakini bahwa dunia ini jahat, sumber masalah dosa, dan penuh kaos. Manusia yang ada di dalam dunia ini juga adalah jahat, salah dan penuh dosa, sehingga penting dan mendesak untuk hidup hanya dalam tuntunan ilahi, hidup dalam Allah seraya menolak dunia sebagai sumber kejahatan yang menampilkan wajah iblis.

Dalam rangka menghadapi derap pergerakan aliran priscillianisme di Spanyol tersebut Paus Leo tidak tinggal diam, ia menggeluarkan surat yang menghimbau kepada otoritas Gereja Katolik di Spanyol untuk membatasi pergerakan para penganut priscillianisme tersebut dengan melakukan sinode untuk menghukum penyebar-penyebar ajaran sesat tersebut di wilayah Spanyol.

Keempat, monofisitisme. Ajaran ini menolak kodrat kemanusiaan Yesus Kristus, dan melulu hanya mengakui kodrat ke-Ilahian Yesus Kristus. Mengapa demikian? Sebab mereka percaya tidak mengakui dua kodrat Yesus Kristus, bahwa Ia adalah 100% Allah dan 100% manusia. Bidaah ini menjadi satu-satunya bidaah yang cukup besar pengaruhnya dan kuat akarnya dalam tubuh Gereja di masa kepemimpinan Paus Leo kala itu. Aliran ini dengan cepat berkembang di Gereja-Gereja Timur. Banyak umat dan pimpinan Agama yang sudah terjangkit dokrin-dokrin miring ala monofisitisme. Salah satu tokoh Gereja di Alexandria, Patrik Konstaninopel, Santo Flavianus menyerukan dukungan dari Paus Leo sebagai pimpinan tertinggi Gereja untuk sesegera mungkin merespons siklus pergerakan aliansi dan kongsi-kongsi monofisitisme tersebut di wilayah Timur, tepatnya di tempat tugasnya, Konstantinopel. Paus Leo segara dengan cepat menanggapi permintaan Santo Flavianus dengan menggeluarkan sebuah surat atau seruan semacam itu yang bertajuk The Tome of Leo. Di mana di dalamnya secara tegas Paus Leo Agung menegaskan bahwa Yesus Kristus Itu Sungguh Allah dan Sungguh Manusia, tetapi satu pribadi, yaitu Pribadi Yesus Kristus. Bahwa Yesus Kristus itu 100% Manusia, 100% Allah. Penegasan Paus Leo Agung atas hakekat atau esensi dari pribadi Yesus Kristus ini menjadi kesimpulan penting dalam Konsili Kalsedon, sebuah konsili ekumenis yang berlangsung dari tanggal 8 Oktober sampai dengan 1 November 451 di Kalsedon, diselenggarakan salah satunya lantaran demi meluruskan kemiringan pemahaman para penganut monofitisme yang menolak kodrat kemanusiaan Kristus.

Merasa tidak terima dengan penegasan Paus Leo yang dibacakan oleh Flavianus dan sidang konsili, rupanya pihak penganut aliran monofisitisme tidak tinggal tenang. Melalui kaisar Teodosius II, seorang penganut monofisitisme tulen, gerakan monofisitisme ini kembali menggeluarkan tanduk, cakar dan taringnya. Kaisar Teodosius mulai bertemu dan menyerukan  kepada Dioscurus, Patriark Aleksandria untuk segera menggelar Konsili di Efesus di bawah pengawasan militer kekaisaran yang super ketat.

Mayoritas sidang pembaca sepertinya sudah dibajak oleh Kaisar dan Patriark untuk menyalahkan Patriark Flavianus. Alhasil dalam Konsili Efesus itu Santo Flavianus disalahkan dan dibunuh karena teguh membela imannya, bahwa Yesus itu benar-benar Allah dan benar-benar manusia dalam satu Pribadi. Konsili Efesus ini berlangsung dengan penuh manipulasi, distorsi dan kriminal. Para utusan Paus pun tidak diberihkan waktu yang normal untuk berbicara dengan baik dan benar. Bahkan surat kepausan yang disampaikan oleh Paus Leo Agung saja tidak secara saksama didengar oleh para peserta sidang konsili, mereka justru membuat hura-hara tidak penting di dalam ruangan Konsili, mereka ribut. Terkesan ada banyak kepincangan dan kejurangan yang dilakukan oleh Kaisar  Teodosius dan Patriark Dioscurus dan kronik-kronik penganut aliran monofiistisme.

Berita ini sampai di hadapan Paus Leo, ia pun mengutuk Konsili itu dengan menandaskan bahwa Konsili itu sebagai Konsili Para Penyamun. Sebagai protes atas konsili Efesus yang cacat itu, Paus Leo kembali menyelenggarakan lagi Konsili di Kalsedon pada 451. Konsili ini dilakukan dalam rangka menegaskan kodrat keallahan dan kemanusiaan dalam Pribadi Yesus Kristus serta mengutuk monofistisme dan membendung pengaruhnya. 600 Uskup yang hadir dalam Konsili tersebut setuju dengan dokrin Leo yang termaktub dalam suratnya kepada Flavianus. (Schneiders, 2011; Hlm. 559-561). [*]

)* Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur, Abepura-Papua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.