Mengenal ‘Singa Suci’, Sang Penjaga Kehidupan Semesta. (Foto. Istimewa)
Oleh: Siorus Ewainaibi Degei
Bagian pertama mengulas tentang riwayat hidup dan perjuangan Paus Leo Agung dalam membasmi rentetan bidaah yang merongrong khasana iman Gereja universal. Bagian kedua sekaligus sebagai penutup ini akan menyajikan perjuangan diplomasi damai yang Paus Leo Agung buat dengan semangat dialog-rekonsiliasi damai dengan bangsa-bangsa barbar yang haus menghanguskan bumi Eropa, Roma. Akan ada juga ulasan tentang bagaimana Paus Leo XIV yang terpilih menjadi harapan baru bagi keadilan dan perdamaian dunia dewasa ini, terlebih bagi Papua lewat jalan damai.
Kiprah Paus Leo Agung Dalam Menghadapi Bangsa Barbar
Selain mengamankan dan menyelamtkan Gereja dari ‘binatang buas liar’ bernama pandemik bidaah yang bertebaran seliweran, Paus Leo juga mempunyai concern dan perhatian yang besar atas fenomena sosial dan politik selama masa pontifikatnya sebagai Uskup Agung di Roma. Beliau tidak saja cemerlang dalam membersihkan bidaah dari dalam pangkuan bunda Gereja Katolik, tapi lebih keluar lagi dari gedung dan iman, beliau senantiasa tampil sebagai pembawa damai, pemegang pelita kehidupan yang agung di kota Roma yang tempo itu nyaris saja diterpa oleh guyuran serangan bangsa barbar, yakni bangsa Hun di bawah pimpinan Raja Attila pada 452 dan Genserik raja Vandal. Saat itu, kota Roma, bahkan seluruh wilayah Eropa berada di bawah tengangan militer yang serius. Suhu konflik senjata antaran bangsa-bangsa mulai mencuat naik tensi, intensitas dan kompleksitasnya. Beredar cerita dan berita hangat tapi juga mencekam ke telinga penduduk Roma bahwa bangsa Barbar, yakni bangsa Hun di bawah pimpinan Raja Attila dan Raja Gesenrik dari bangsa Vandal telah membumihanguskan beberapa wilayah, mengahabisi penduduknya, dan kini mereka dalam perjalanan menuju Roma demi misi penaklukan, pendudukan dan penghisapan yang satu dan sama. Kegetiran, kengerian, dan kegentingan realitas seperti itu cepat dan secara cermat ditangkap oleh Paus Leo. Ia bukan tentara atau prajurit militer yang terlatih, yang piwai menggunakan pedang dan perisai, yang mempunyai energi yang kuat. Ia hanya seorang hamba Allah, gembala umat-umat yang lemah. Senjata yang ia miliki hanyalah tekad yang kuat, serta doa yang mendalam kepada Yesus Kristus, Rasul Petrus, pendahulunya dan Rasul Paulus. Paus Leo memberanikan dirinya untuk lebih dahulu mendapati pasukan Attila dan Vandal dengan menempuh jarak sejauh 320 kilo di luar Kota Roma.
Setibanya di sana, ia langsung bertemu dengan raja Attila yang terkenal haus darah, ganas, jahat, dan piwai berperang itu. Namun dikesempatan ini terjadi hal yang menakjubkan, di mana raja Attila dari bangsa Hun yang terkenal kuat dan tangguh itu seketika itu juga menjadi biasa-biasa saja ketika melihat perangai Paus Leo yang lemah lembut dan penuh belas kasih itu. Paus Leo duduk bersama Raja Attila mereka berdialog. Paus Leo menyarankan kepada sang raja untuk tidak masuk ke kota Roma dan berperang, mereka lebih baik memilih opsi yang lain, yang lebih damai. Rupanya dalam pembicaraan itu hadir dua sosok ajaib di balik Paus Leo. Dua sosok itu tidak lain dan tidak bukan adalah Rasul Petrus dan Rasul Paulus. Rupanya keduanya diperintahkan oleh Allah sekaligus untuk mengawal agenda dan pesan perdamaian yang hendak dibawahkan oleh Paus Leo Agung kepada Raja Attila, tapi juga kepada Raja Gesenrik dari bangsa Vandal, (Schneiders, 2011; 561-561).
Paus Leo XIV dan Harapan Perdamaian Dunia
Gereja Katolik universal masih dalam nuansa kabung. Bapa Gereja dengan 1,4 miliar jiwa pengikut baru saja pergi menghadap Sang Khalik. Paus Fransiskis pergi ke alam firdaus, meninggalkan berjuta kenangan membekas dalam di hampir seluruh kalbu umat sejagat. Banyak soal-soal gemuk piluh juga yang beliau tinggalkan sebagai ‘estafet salib’ bagi para penggantinya, para pewaris tahta suci Santo Petrus. Di bidang dogma, tidak begitu nampak cara pandang ugal-ugalan dalam konteks teologi. Situasi dan kondisi abad ini, barangkali yang cukup kuat mengantar teleskop refleksi kita ke abad 5 masehi, saat Paus Leo Agung hidup. Eropa menyiarkan berita tentang aliran-aliran bidaah, katakanlah setanik, yang sudah menyeret hampir semua aktor-aktris kristen papan atad, P Dedy dengan fenomena kontroversinya. Konspirasi iluminasi yang membayang-bayangi otoritas Gereja.
Sekularisme merajalela di Eropa, LGBT tak terbendung, kasus pedofil dan pelecehan seksual di kalangan hirarki yang menggurita, ancaman perang nuklir, dan krisis ekologi yang buat bumi jadi sakit sempoyongan. Yang paling berbahaya adalah perang dunia ketiga yang menanti di depan mata. Konflik bersenjata bahkan konflik nuklir antara negara-negara besar, seperti Israel-Palestina, kita baru saja dengar ada hampir ratusan rudal yang militer Israel jatuhkan di jalur Gaza sebabkan ledakan yang berkalipat ambruknya daripada peristiwa Hirosima-Nagasaki. Konflik Ukrania-Rusia, konflik Cina-Taiwan, konflik lautan Cina Selatan, perang-perang di benua Afrika, Timur Tengah.
Konflik Jakarta-Papua, dan masih banyak lagi perang-perang yang potensial akan melesatkan terbukanya perang nuklir di alam semesta. Kita sedang menuji kiamat yang manusia-manusia bejat ini desain. Di tengah situasi jaman yang tidak sedang baik-baik saja ini, terpilihnya Kardinal Robert Francis Prevost sebagai Paus Leo XIV membawa harapan tersendiri, harapan akan keadilan dan perdamaian dunia yang abadi.
Paus Leo XIV, terkenal di Amerika Latin, khususnya Peru dengan nama ‘orang suci dari Utara’, bukan saja oleh umat Peru yang ia layano selama 20 tahun sebagai misionaris, keluarganya di USA juga menyematkan gelar ‘orang kudus’ kepadanya. Di Peru, selama 20 tahun sebagai misionaris, Prevost tampil mengkotbahkan teologi pembebasan dalam tindakan-tindakan pastoralnya yang berpihak pada orang miskin, memperjuangkan keadilan dan perdamaian. Dia orang Amerika Serikat yang sangat Amerika Latin, jadi mirip pendahulunya Paus Fransiskus.
Paus Leo XIV dan Mediasi Konflik Jakarta-Papua lewat Dialog Damai
Sebagai umat, kita bisa melihat Paus Leo XIV yang benama asli Kardinal Robert Francis Prevots adalah sosok yang tepat untuk menggantikan posisi pendahulunya, almarhum Paus Fransiskus. Untuk ini ada beberapa hal mendasar yang bisa kita angkat ke permukaan:
Pertama, secara kepribadian Paus Leo XIV bukan tipe orang yang konservatif tapi juga progresif, ia adalah sosok yang moderat, artinya orang yang mampu merangkul, sebagai Gembala utama bagi 1,4 miliar jiwa umat Katolik sedunia, maka jiwa-jiwa moderat semacam ini sangat Gereja butuhkan.
Kedua, Paus Leo XIV adalah sosok yang dekat dengan Paus Fransiskus, bahkan kepada dua Paus sebelumnya juga, yaitu Paus Benediktus XVI dan Paus Yohanes Paulus II. Kedekatan ini sesuatu yang wajar, artinya sebagai imam, uskup, dan kardinal ketaatan kepada pemimpin adalah bagian dari komitmen atas kaul ketaatan-kesetiaan. Akibatnya banyak hal baik yang sudah para pedahulunya buat, akam ia warisi dan tingkatkan. Saya kutip sepenggal kalimatnya saat menyampaikan sambutan pertamanya, “Kepada kalian semua, saudara dan saudari, dari Roma, seluruh dunia, kita perlu menjadi gereja yang berjalan di jalan damai, yang selalu mencari kasih, yang selalu berusaha mendekat terutama kepada mereka yang menderita.”,(https://www.tempo.co/internasional/sambutan-global-atas-terpilihnya-paus-leo-xiv).
Ketiga, Paus Leo XIV menurut kesan banyak orang yang dekat dengan beliau mengatakan bahwa beliau adalah sosok yang sederhana, rendah hati, berjiwa sosial, dan berpihak pada kebenaran. Ini model kepemimpinan yang ideal di jagat dewasa ini yang sarat krisis keteladanan hidup.
Dari rekam jejak selama ini, baik dari pengalamannya yang lama sebagai salah satu misionaris di Peru, Amerika Latin dan intensitas visitasinya ke Papua, saya yakin bahwa beliau pasti ‘Sebut Papua’. Ada beberapa pertimbangan di sini:
Pertama, Kardinal Robert Francis Prevost memakai nama Leo XIV sebagai identitas barunya sebagai gembala utama Gereja Katolik sejagat. Ini berarti ada terselib semangat untuk meruskan karya pelayanan Paus Fransiskus, terutama Paus Leo XIII. Paus Leo XIII dikenal sebagai ‘Paus Kaum Pekerja’, juga sebagai ‘Bapa Ajaran Sosial Gereja’ karena ia menjadi Paus pertama yang mulai ‘terlibat’ dengan realitas sosial, politik dan ekonomi. Melalui Ensiklik Rerum Novarum (1891). Ini Ensiklik tentang keberpihakan Gereja pada kehidupan kaum pekerja yang mengalami eksploitasi akibat sistem ekonomi kapitalisme yang menjamur dalam industri-industri modern kala itu. Dari sinilah para Paus selalu concren pada isu-isu kemanusiaan, keadilan, kebenaran, keutuhan ciptaan dan perdamaian.
Kedua, Uskup Terpilih Keuskupan Timika, Pastor Dr. Bernardus Bofitwos Baru, OSA kepada media TEMPO menegaskan bahwa Paus Leo XIV dengan posisinya saat ini dapat menjadi mediator bagi proses dialog damai antara Jakarta-Papua. Saya kutip kata-kata Uskup Bernard, “Masalah Papua ini kan masalah kemanusiaan, masalah ekologi yang juga dampaknya kepada dunia. Kenapa tidak duduk untuk bicara dari hati ke hati dan diselesaikan dengan hati yang penuh cinta dan penuh kedamaian, penuh keadilan,” (https://www.tempo.co/politik/paus-leo-xiv-pernah-kunjungi-papua-pada-2003-ini-yang-dilakukannya).
Ketiga, jadi menurut saya Paus baru, Paus Leo XIV adalah harapan baru bagi umat Allah di seluruh dunia, terutama mereka yang berada di pinggiran, salah satunya Papua. Mari kita berdoa, berharap, dan selalu berjuang agar di masa-masa kepemimpinan Paus Leo XIV ini kerinduan Papua Tanah Damai itu terwujud sesuai kehendak Tuhan.
Dengan demikian, terpilihnya Kardinal Robert Francis Prevost, OSA sebagai Paus Leo XIV adalah sebuah anugerah Allah bagi dunia dewasa ini melalui Konklaf Suci. Bersama Paus Leo XIV dialog akan menjadi cara Gereja universal meruang dan mewaktu dalam konteks dunia yang penuh luka ini. Spiritulitas dialog dan rekonsiliasi damai dari Santo Leo Agung hingga Leo XIII, Paus John Paul II, dan Paus Fransiskus akan senantiasa Paus Leo XIV bumikan. Gereja akan lebih tampil ‘jemput bola’, mencari, menemukan, dan membawa kembali ‘mereka yang hilang’. Gereja akan lebih banyak mendengarkan suara-suara umat yang tak mampu bersuara dan akan berusaha menyuarakan suara-suara itu secara tanggap dan pasti. Gereja akan selalu berwajah kaum pinggiran.
Bersaama Paus Leo XIV yang baru selalu akan ada harapan baru. Ia ‘anak kandung rohani Santo Agustinus’, kontribusi Santo Agustinus dalam upaya perjuangan keadilan dan perdamaian dunia dalam salah satu pustaka magnum opus-nya ‘Civitate Dei’ (abad 5) atau ‘kota Allah’ akan senantiasa Paus Leo XIV wujudkan di tengah fenomena ancamana runtuhnya bumi ini. Dunia tidak akan runtuh dalam kepemimpinan dan kegembalaan Paus Leo XIV, sebelum dunia terpanggang api nuklir, Paus Leo XIV akan lebih dulu menenangkan dan mendamaikan jenderal-jenderal perang besar di dunia yang lagi berseteru saat ini, yakni Trump, ada Putin, Zelensky, Benjamin Netanyahu, Xi Jimping, Kim Jong Un, Prabowo Subianto, dan lain-lain. Sama seperti Paus Leo Agung menenangkan amarah Raja Attila, para jenderal yang sedang memegang pelatuk perang terbuka nuklir ini pun akan Paus Leo XIV damaikan. Dunia dan Papua tidak akan terbakar sama seperti kota Roma. [*]
)* Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur, Abepura-Papua.
JAYAPURA, TOMEI.ID | Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua menyampaikan kritik tajam terhadap pernyataan Wali Kota…
NABIRE, TOMEI.ID | Fase penyisihan grup turnamen Badai Cartenz Cup V 2025 resmi berakhir. Delapan…
JAYAPURA, TOMEI.ID | Polres Puncak Jaya menggelar Kapolres Puncak Jaya Cup 2025 dalam rangka memperingati…
JAYAPURA, TOMEI.ID | Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Cenderawasih atau BEM Uncen, Jayapura, Papua kembali menunjukkan…
BALI, TOMEI.ID | Wakil Gubernur Papua Tengah, Deinas Geley, menghadiri pertemuan regional Asia Pasifik yang…
NABIRE, TOMEI.ID | Gubernur Papua Tengah, Meki Fritz Nawipa, secara resmi melantik Bupati Puncak Jaya…