JAYAPURA, TOMEI.ID | Tim kuasa hukum Andre Ronsumbre dan Helmi mendesak Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia untuk meninjau ulang serta merevisi hasil seleksi anggota DPRP Papua Pegunungan dan DPRK Nduga jalur pengangkatan periode 2024–2029.
Mereka menilai proses seleksi tersebut cacat prosedur, tidak transparan, dan mengabaikan prinsip keadilan bagi masyarakat adat Papua.
Dalam konferensi pers di Abepura, Jayapura, Jumat (24/10/2025), Andre Ronsumbre menegaskan bahwa seleksi jalur pengangkatan merupakan simbol kepercayaan negara kepada rakyat adat Papua, bukan ruang kompromi bagi kepentingan politik.
“Kami menemukan fakta bahwa beberapa calon yang diloloskan justru berasal dari partai politik, bahkan mantan caleg Pemilu 2024. Ini pelanggaran terang-terangan terhadap Pasal 52 ayat (2) huruf p PP 106 Tahun 2021. Kalau ini dibiarkan, negara sedang mengkhianati semangat Otsus,” tegas Andre.
Kuasa hukum Helmi, menambahkan bahwa pihaknya telah mengirimkan surat pengaduan resmi kepada Menteri Dalam Negeri pada 20 Oktober 2025. Surat tersebut menyoroti ketidakjelasan proses verifikasi, penilaian, dan penetapan nama-nama calon tanpa mekanisme yang sah.
“Dalam Pasal 52 ayat (2) huruf p dan r PP 106 Tahun 2021 sudah jelas disebutkan bahwa calon anggota DPRP atau DPRK jalur pengangkatan tidak boleh merupakan pengurus partai, caleg aktif, ASN, atau kepala kampung. Namun di lapangan, justru mereka yang diloloskan,” ungkap Helmi.
Tim hukum mengidentifikasi sedikitnya enam nama calon anggota DPRP Papua Pegunungan yang sebelumnya terdaftar sebagai caleg Pemilu 2024 namun tetap dinyatakan lolos oleh Panitia Seleksi (Pansel). Di Kabupaten Nduga, beberapa calon bahkan diketahui masih menjabat sebagai kepala kampung, anggota DPRD periode sebelumnya, hingga pengurus partai politik.
Temuan tersebut tercantum dalam Pengumuman Nomor 24/PANSEL-DPRP-PP/III/2025 tertanggal 3 Maret 2025 dan Pengumuman Nomor 019/PANSEL-DPRPK/NDUGA/2025 tertanggal 18 Maret 2025. Keduanya kini diminta untuk ditinjau dan direvisi secara menyeluruh oleh Mendagri.
“Kalau proses awal saja sudah dimanipulasi, apa yang bisa kita harapkan dari lembaga yang lahir dari ketidakjujuran? Ini bukan sekadar perebutan kursi, tapi soal martabat orang asli Papua,” tegas Andre.
Andre menyebut, pihaknya mewakili Yance Pokneangge dkk. (calon DPRP Papua Pegunungan) dan Domi Kogoya dkk. (calon DPRK Nduga) berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 16 Oktober 2025. Ia menegaskan, langkah hukum ini bukan sekadar pembelaan terhadap klien, melainkan upaya menjaga moral dan integritas pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
“Kursi pengangkatan adalah amanah Otsus, ruang bagi rakyat adat yang tidak tersentuh politik praktis. Jika diisi oleh elite partai atau mantan caleg, maka Otsus kehilangan rohnya,” ujar Andre.
Tim hukum Kantor Hukum Andre Ronsumbre, & Rekan dalam pernyataan resminya menyampaikan dua tuntutan utama kepada Menteri Dalam Negeri. Pertama, meminta agar Pengumuman Nomor 24/PANSEL-DPRP-PP/III/2025 tertanggal 3 Maret 2025 ditinjau dan direvisi dengan membatalkan nama-nama calon anggota DPRP Papua Pegunungan yang tidak memenuhi syarat.
Kedua, mendesak Mendagri untuk meninjau serta merevisi Pengumuman Nomor 019/PANSEL-DPRPK/NDUGA/2025 tertanggal 18 Maret 2025, sekaligus mengganti calon anggota DPRK Nduga yang melanggar ketentuan administratif dan etika sebagaimana diatur dalam PP Nomor 106 Tahun 2021.
Perwakilan calon anggota, Yance Pokneangge, menilai proses seleksi yang carut-marut tersebut telah menodai sejarah pembentukan DPRP Papua Pegunungan.
“Kalau fondasi awal sudah salah, penuh intrik dan manipulasi, maka masa depan lembaga ini akan rusak. Kami bukan menolak hasil, tapi menolak kecurangan,” ujarnya.
Sementara itu, Prof. Dr. Hosea (Johanes), salah satu calon DPRP, menegaskan bahwa langkah hukum ini penting agar masyarakat adat tidak terus tersingkir dalam ruang politik Otsus yang seharusnya menjadi rumah bersama.
Kuasa hukum memastikan, jika tidak ada tanggapan dari Kementerian Dalam Negeri dalam waktu wajar, mereka akan menempuh jalur hukum lanjutan, termasuk gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), serta laporan resmi ke Komnas HAM dan Ombudsman RI.
“Kami akan tempuh semua jalur hukum. Ini bukan ancaman, tapi bentuk tanggung jawab moral agar negara menghormati hak-hak dasar masyarakat adat,” tutup Andre.
Bagi para pemohon, perjuangan ini bukan sekadar soal kursi, tetapi soal harga diri dan moral Otonomi Khusus Papua. Mereka berharap pemerintah tidak menutup mata terhadap aspirasi masyarakat adat yang menuntut keadilan di tanah sendiri. [*].










