NABIRE, TOMEI.ID | Rapat Kerja Majelis Rakyat Papua (MRP) Se-Tanah Papua yang digelar selama dua hari, 26–27 Mei 2025, di Ballroom Kantor Gubernur Papua Tengah (Bandara Lama), resmi ditutup oleh Wakil Gubernur Papua Tengah, Deinas Geley, pada Selasa (27/5/2025).
Penutupan kegiatan ditandai dengan penandatanganan dokumen hasil rapat berupa 13 poin rekomendasi oleh para pimpinan MRP dari seluruh wilayah Tanah Papua.
Ketua Asosiasi MRP Se-Tanah Papua, Agus Anggaibak, dalam sambutannya menyampaikan apresiasi kepada seluruh peserta yang telah berjuang merumuskan pokok-pokok pikiran strategis demi kemajuan Tanah Papua.
“Nantinya rekomendasi ini akan kami bawa ke Pemerintah Pusat untuk diaudiensikan langsung kepada Presiden Republik Indonesia, dengan harapan pemerintah pusat dapat bersikap responsif serta berpihak pada keadilan dan martabat Orang Asli Papua,” tegas Agus.
Sementara itu, Wakil Gubernur Papua Tengah, Deinas Geley, menekankan pentingnya peran MRP bukan hanya sebagai simbol adat, tetapi juga sebagai penjaga nilai-nilai luhur generasi Papua.
“MRP harus menjadi garda terdepan dalam menciptakan lingkungan yang damai. Dengan begitu, perlindungan, keberpihakan, dan pemberdayaan Orang Asli Papua dalam bingkai NKRI dapat terwujud,” ujarnya.
Dalam hasil akhir Rapat Kerja Asosiasi MRP Se-Tanah Papua, para pimpinan menyepakati 13 rekomendasi utama yang akan dibawa ke Pemerintah Pusat sebagai wujud kepedulian terhadap situasi sosial, politik, dan kesejahteraan Orang Asli Papua.
Rekomendasi pertama menyerukan kepada seluruh pihak yang terlibat dalam konflik di Tanah Papua baik TNI/Polri maupun TPNPB/OPM untuk segera menghentikan kekerasan dan mencari jalan damai demi keselamatan masyarakat sipil.
Selanjutnya, pemerintah diminta segera mengambil langkah konkret dalam penanganan para pengungsi internal yang tersebar di wilayah-wilayah terdampak konflik bersenjata.
Sebagai upaya mencegah pertumpahan darah yang terus berulang, MRP juga mengusulkan pembukaan dialog permanen antara semua elemen yang berkepentingan di Tanah Papua. Hal ini dipandang penting untuk membangun kepercayaan dan menciptakan mekanisme penyelesaian damai jangka panjang.
Selain itu, pemerintah pusat diminta untuk segera merevisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua agar lebih mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat adat Papua.
Rekomendasi berikutnya menyoroti pentingnya penguatan kelembagaan MRP, dengan mendorong optimalisasi fungsi, tugas, dan wewenang MRP sebagai representasi kultur Orang Asli Papua. Hal ini diusulkan dilakukan melalui revisi atau penguatan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2024 dan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2008 tentang Majelis Rakyat Papua.
Terkait pengelolaan Dana Otonomi Khusus, MRP Se-Tanah Papua menyatakan penolakan terhadap kebijakan efisiensi dana yang dinilai dapat mengurangi dampak positif bagi kehidupan Orang Asli Papua. Untuk itu, mereka menuntut alokasi Dana Otsus sebesar 2,25% diberikan secara merata untuk masing-masing provinsi di Tanah Papua.
Dalam hal kebijakan sosial, MRP juga menyarankan agar program Makan Bergizi Gratis yang digulirkan pemerintah dipercayakan pengelolaannya kepada lembaga-lembaga keagamaan yang memiliki akar kuat di masyarakat. Selain itu, pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB), baik provinsi, kabupaten, maupun kota, diminta agar diserahkan sepenuhnya kepada otoritas pemerintah provinsi masing-masing.
Dalam upaya memperkuat keberpihakan negara terhadap Papua, MRP mengusulkan agar Presiden Republik Indonesia membentuk Kementerian khusus yang menangani Otonomi Khusus dan daerah-daerah istimewa. MRP juga mendesak agar pemerintah menghentikan segala bentuk investasi yang terbukti merugikan hak-hak hukum masyarakat adat.
Dalam sektor rekrutmen aparatur negara, MRP menekankan bahwa penerimaan CPNS, anggota TNI/Polri, BUMN, dan sekolah-sekolah kedinasan di Tanah Papua harus dilakukan secara offline, disertai rekomendasi langsung dari Majelis Rakyat Papua sebagai bentuk pengawasan partisipatif.
Sebagai penutup, MRP Se-Tanah Papua meminta Presiden Republik Indonesia untuk memberikan penjelasan resmi terkait representasi politik Orang Asli Papua yang telah disampaikan kepada pemerintah sejak tahun 2024, sebagaimana tertuang dalam dokumen yang dilampirkan.
Rekomendasi-rekomendasi ini dirumuskan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan politik MRP terhadap masa depan Orang Asli Papua di tengah dinamika sosial, politik, dan pembangunan di wilayah timur Indonesia tersebut. [*]