Aksi damai yang digelar mahasiswa dan pemuda Papua di Jayapura pada Rabu (15/10/2025) menjadi ironi. Niat menyampaikan aspirasi terkait penolakan militerisasi dan investasi besar-besaran di tanah adat berujung bentrokan berdarah. Aparat keamanan, alih-alih membuka ruang dialog, justru memilih represi sebagai solusi.
Peristiwa ini bukan sekadar catatan kriminalitas atau pelanggaran ketertiban umum. Lebih dari itu, ini adalah cermin buram potret demokrasi di Papua. Ketika suara anak negeri dibungkam dengan gas air mata dan pentungan, pertanyaan mendasar muncul: masihkah ada ruang bagi aspirasi masyarakat adat di tanah mereka sendiri?
Tuntutan mahasiswa sebenarnya sederhana: hentikan perampasan tanah adat, tarik militer dari wilayah adat, batalkan proyek strategis nasional (PSN) yang merusak lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat adat, serta lindungi hak-hak masyarakat Papua. Tuntutan ini bukan lahir dari ruang hampa, melainkan akumulasi kekecewaan dan penderitaan akibat kebijakan yang selama ini abai terhadap kepentingan masyarakat adat.
Investasi besar-besaran yang digadang-gadang sebagai motor pembangunan, nyatanya justru menjadi malapetaka bagi masyarakat adat. Tanah dirampas, hutan dibabat, dan sumber daya alam dieksploitasi tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat. Militerisasi, yang seharusnya menjadi perisai pelindung, justru menjadi momok menakutkan yang mengancam rasa aman dan nyaman masyarakat.
Aksi damai adalah bentuk ekspresi yang dijamin konstitusi. Namun, di Papua, aksi damai seolah menjadi barang haram yang harus diberangus. Aparat keamanan, dengan dalih menjaga ketertiban, justru bertindak represif dan brutal. Tindakan ini bukan hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga kontraproduktif. Represi hanya akan memicu kemarahan dan dendam, yang pada akhirnya dapat memperburuk situasi.
Pemerintah pusat dan daerah harus segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pendekatan pembangunan di Papua. Pendekatan keamanan harus diubah menjadi pendekatan dialog dan partisipasi. Masyarakat adat harus dilibatkan secara aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan tanah dan kehidupan mereka.
Investasi harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan dan menghormati hak-hak masyarakat adat. Militerisasi harus dievaluasi secara kritis dan proporsional. Kehadiran aparat keamanan harus benar-benar dirasakan sebagai pelindung, bukan sebagai ancaman.
Papua adalah bagian integral dari Indonesia. Kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat Papua adalah kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh bangsa Indonesia. Jangan biarkan Papua terus menjadi lahan konflik dan kekerasan. Mari kita bangun Papua dengan hati, dengan dialog, dan dengan menghormati hak-hak masyarakat adat.
Jika dialog terus diabaikan dan represi terus menjadi pilihan, maka jangan salahkan jika api perlawanan terus berkobar di tanah Papua. Karena, keadilan yang tertunda adalah keadilan yang dinafikan. [*].
NABIRE, TOMEI.ID | Anggota DPR RI Dapil Papua, Yan Permenas Mandenas, mengecam keras tindakan Balai…
DOGIYAI, TOMEI.ID | Situasi keamanan di Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua Tengah, kembali memanas setelah insiden…
BINTUNI, TOMEI.ID | Bentrokan bersenjata antara aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan kelompok Tentara Pembebasan…
TOLIKARA, TOMEI.ID | Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Tolikara resmi diluncurkan dan langsung menggelar pembekalan…
DEIYAI, TOMEI.ID | Bupati Deiyai, Melkianus Mote, secara resmi melantik tujuh penjabat (Pj) kepala kampung…
NABIRE, TOMEI.ID | Gubernur Papua Tengah, Meki Nawipa, secara resmi membuka Kejuaraan Daerah (Kejurda) Bola…