Berita

Starlink Hentikan Pendaftaran Baru di Indonesia: Sinyal Tekanan Bisnis dan Politik?

Oleh : Wendy Eko Suswinarko

Indonesia Layanan internet satelit milik Elon Musk, Starlink, menghentikan sementara pendaftaran baru bagi pelanggan di Indonesia. Keputusan ini mengejutkan banyak pihak, terutama masyarakat di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) yang sangat bergantung pada layanan internet berbasis satelit untuk mengakses informasi, pendidikan, dan layanan publik.

Starlink sendiri baru beberapa belas bulan beroperasi secara resmi di Indonesia setelah mendapatkan izin sebagai penyelenggara telekomunikasi. Namun sejak pertengahan Juli 2025, pengguna baru tidak lagi bisa mendaftar, baik melalui website resmi maupun distributor lokal. Pesan yang muncul hanya menyatakan bahwa area tersebut “sudah penuh”.

Mengapa Dihentikan? Kapasitas atau Tekanan?

Klaim tentang “kapasitas penuh” menimbulkan pertanyaan. Teknologi satelit orbit rendah (LEO) seperti yang digunakan Starlink pada dasarnya bersifat dinamis dan dapat mengatur distribusi kapasitas melalui konstelasi satelit yang terus berkembang. Banyak pihak meragukan bahwa penghentian pendaftaran hanya karena kapasitas.

Beberapa pengamat menilai, tekanan dari pemain bisnis telekomunikasi nasional dan kemungkinan intervensi regulator menjadi faktor yang lebih masuk akal. Starlink dianggap telah mengganggu ekosistem penyedia layanan internet lokal yang selama ini sangat tergantung pada infrastruktur mahal, seperti tower BTS, kabel fiber optik, dan lisensi frekuensi.

“Starlink datang dengan model bisnis global, tanpa perlu membangun jaringan darat. Mereka bisa menjual internet langsung ke pelanggan dari langit. Ini membuat pemain lokal gelisah, apalagi di daerah-daerah di mana mereka belum atau tidak bisa menjangkau,” kata seorang analis telekomunikasi.

Starlink Residential Lite, Ancaman Bagi ISP Lokal?

Yang paling menyita perhatian adalah paket Residential Lite Starlink yang dijual dengan harga hanya Rp479.000 per bulan. Layanan ini menyediakan akses internet satelit tanpa batas (unlimited) — dan banyak pengguna mengklaim kecepatannya bisa mencapai 50–100 Mbps bahkan di daerah pegunungan.

Bandingkan dengan layanan fiber optik lokal atau jaringan VSAT yang bisa mematok harga dua hingga tiga kali lipat untuk layanan sejenis — dengan batasan kuota atau performa yang tidak stabil. Kehadiran Starlink di pasar ini memberi alternatif baru yang lebih murah, lebih cepat, dan lebih fleksibel.

Tak heran bila reseller internet lokal, operator seluler, dan penyedia jaringan komunitas (ISP rumahan) mulai merasa terjepit. Starlink menjadi “disrupsi besar” yang sulit ditandingi secara teknologi maupun harga, apalagi jika pelanggan sudah membeli perangkat dan hanya tinggal membayar langganan bulanan.

Munculnya Friksi: Pemerataan vs Perlindungan Industri Lokal

Starlink menembus pasar Indonesia dengan menjanjikan pemerataan akses internet nasional. Namun pada praktiknya, hadirnya teknologi ini memunculkan friksi antara kebutuhan masyarakat terhadap konektivitas dan keinginan pemerintah melindungi bisnis lokal.

Situasi ini menimbulkan dilema kebijakan:

Apakah pemerintah akan membatasi Starlink demi menjaga ekosistem bisnis lokal?

Ataukah pemerintah akan mendorong adopsi teknologi global demi mempercepat transformasi digital nasional?

Bila tidak ditangani dengan hati-hati, konflik ini dapat menghambat inovasi sekaligus menyulitkan masyarakat yang berharap pada layanan internet yang cepat dan terjangkau.

Dampak ke Daerah dan Konsumen.

Beberapa warga di Papua, Kalimantan, dan Maluku menyampaikan kekecewaan karena tidak bisa lagi mendaftar Starlink padahal sangat membutuhkannya. Bagi mereka, Starlink adalah satu-satunya solusi agar bisa mengikuti pelajaran daring, mengakses informasi pertanian dan pasar, serta membuka usaha berbasis digital.

“Di kampung saya, tidak ada jaringan seluler sama sekali. Hanya Starlink yang bisa dipakai. Tapi sekarang kami tidak bisa beli lagi, padahal banyak warga mau daftar,” ujar seorang warga dari pedalaman Papua Tengah.

Apa Selanjutnya?

Pihak Starlink Indonesia belum memberikan penjelasan resmi terkait penghentian pendaftaran. Distributor pun belum bisa memastikan kapan layanan dibuka kembali, atau apakah ini bentuk dari pembatasan kuota secara nasional. Sementara itu, isu “penertiban” reseller dan ketatnya regulasi tampak memperkeruh suasana.

Di sisi lain, banyak yang berharap agar pemerintah bertindak adil dan transparan, dengan menjadikan kepentingan publik sebagai prioritas utama. Teknologi seharusnya menjadi jembatan kesetaraan, bukan sumber ketimpangan baru akibat tarik menarik kepentingan. [*].

Penulis Adalah Pengamat dan Pekerja Informasi Teknologi.

Redaksi Tomei

Recent Posts

Erol Iba Resmi Dampingi PSBS Biak, Pemerintah Dukung Penguatan Fondasi Sepak Bola Papua

BIAK, TOMEI.ID | Pemerintah Kabupaten Biak Numfor menyambut positif langkah strategis manajemen PSBS Biak yang…

2 jam ago

Pemkab Dogiyai Undang Siswa ADik dan ADEM Hadir di Acara Pelepasan

DOGIYAI, TOMEI.ID | Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Dogiyai, Papua Tengah melalui Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga…

2 jam ago

Didukung Gubernur Meki, Rembuk Pemuda Papua Tengah Gagas Perhelatan ini Sambut HAN 2025

TIMIKA, TOMEI.ID | Dalam semangat merayakan Hari Anak Nasional 2025, Rembuk Pemuda Papua Tengah mempersembahkan…

1 hari ago

KPA dan Dinas Pendidikan Paniai Teken MoU, langkah Sosialisasi Bahaya HIV AIDS di Sekolah

NABIRE, TOMEI.ID | Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Paniai, Papua Tengah dan Dinas Pendidikan Kabupaten…

1 hari ago

IPMANAPANDODE Jakarta Gelar Ibadah Syukuran Wisuda Anggota Mee-Yoka

JAKARTA, TOMEI.ID | Ikatan Pelajar dan Mahasiswa/i Nabire, Paniai, Dogiyai, dan Deiyai (IPMANAPANDODE) Mee-Yoka Jakarta…

2 hari ago

Aksi Demo berjalan lancar, Ini Apresiasi DPR Papua Tengah

NABIRE. TOMEI.ID | Aksi demonstrasi penolakan investasi dan eksploitasi Blok Wabu yang dilakukan oleh Solidaritas…

2 hari ago