Berita

Surga Hitam : Udeido Collective dan Adonoriesme Papua

Oleh : Siorus Ewainaibi Degei

Ide untuk menulis teks ini muncul tatkala kami mengikuti seri kelas kuliah filsafat yang diselenggarakan oleh Teater Utan Kayu (TUK) dengan topik utamanya “Membaca Goenawan Mohamad” pada 26 Desember 2024. Sebelumnya pada 2021 rekaman seminar dengan tema “Membaca Goenawan Mohamad” ini sudah digelar, pada tahun 2022 pun sudah dihasilkan sebuah buku dengan judul “Membaca Goenawan Mohamad”.

Banyak kerabat dan sahabat GM dari ragam latar belakang profesi dan usia ikut nimbrung menyumbangkan pandangan mereka atas GM dan fenomenanya. Dari wilayah kesusastraan dan kebudayaan datang seorang novelis dan filsuf wanita muda, Ayu Utami yang membaca GM dengan tajuk “Adakah Yang Religius Bagi GM”.

Kita juga tahu bahwa salah satu tema yang muncul dalam tulisan-tulisan GM sebagaimana yang terangkum dalam “catatan pinggiran”, puisi, dan esai-esainya ialah tentang tafsir atas naskah-naskah suci agama dan budaya (Jawa, India, Arab, Tiongkok, Eropa, dan lainnya), maka hadir juga petinggi PBNU, Ulil Abshar-Abdalla yang memcoba membaca GM dari sisi ilmu tafsir, naskah materinya ia namai “GM, Tafsir, dan Ambiguitas”. Kita tahu sendiri bahwa Kiai Ulil Abshar-Abdalla adalah “anak kandung” pemikiran Imam Al-Gazali. Imam Al-Gazali sendiri adalah seorang imam besar Islam yang punya pengaruh besar dalam studi tafsir Al-Quran, (Presentasi Uili Abshar-Abdalla, https://youtu.be/qll9MJZdUvI?si=ZJj3PjKswEZej9BO).

Dalam tulisan-tulisan GM juga kerapkali kita jumpai bercak-bercak paradoks tentang manusia sebagai subjek hukum yang hak-haknya tereksklusi dan tereskploitasi, untuk ini hadir Donny Danardono yang berusaha membaca jejak-jejak yuridis dalam pemikiran GM, materi seminarnya berjudul “Mempersoalkan Keterwakilan Subyek Dalam Hukum”, (Presentasi Donny Danardono, https://youtu.be/qll9MJZdUvI?si=ZJj3PjKswEZej9BO).

GM juga jauh sebelum terkenal seperti saat ini, kita tahu bahwa ia adalah seorang jurnalis, GM bisa kita gelari “bapak jurnalisme kontemporer”. Ia adalah salah satu pendiri Majalah Tempo yang gemilang, yang oleh Rocky Gerung ia berikan dua julukan, tempo: tempat omon-omon dan tempo: temperatur oposisi. Sebagai anak dari keluarga patriot, GM mendedikasikan kharisma jurnalismenya untuk menjaga dan mencintai marwah bangsa dan tanah airnya Indonesia tanpa henti. Untuk proyek itu hadir seorang pakar komunikasi dan penasihat media cum filsuf digital Agus Sudibyo yang akan memberikan gambaran kepada khalayak ramai tentang siapa itu GM sebagai jurnalis, materi seminarnya berjudul “Jurnalisme Sebagai Lokus Tindakan Politik: Sumbangsih GM”, (Presentasi Agus Sudibyo, https://youtu.be/qll9MJZdUvI?si=ZJj3PjKswEZej9BO).

Tidak bisa kita pungkiri bahwa cara baca GM atas realistis di Indonesia dalam tulisan-tulisannya itu tidak bisa kita pisahkan dari corak pemikiran besar yang bernama marxisme. Bahkan tidak jarang GM selalu dikaitkan sebagai pemikir marxis. Untuk mengulas ini hadir Martin Surjaya, seorang filsuf muda yang banyak bergulat dengan ide-ide kiri besar, salah satu buyutnya adalah marxisme, materi pemapqran Surjaya berjudul “Marxisme Tanpa Humanisme”, (Presentasi Martin Surjaya, https://youtu.be/qll9MJZdUvI?si=ZJj3PjKswEZej9BO).

Selain sebagai budayawan, jurnalis, dan filsuf, GM juga merupakan seorang penyair. Ia kerap menggunakan puisi dalam tulisan-tulisannya. Dan tidak jarang cita rasa bahasa jurnalismenya mirip bahasa puitis. Ia menulis berita, artikel, atau tulisan serius namun dengan sentuhan-sentuhan bahasa poetika yang indah, untuk Y.D. Anugrah Bayu berusaha membaca GM sebagai seorang penyair, judul materinya adalah “Goenawan Mohamad & Puisi Kesayangannya”, (Presentasi Y.D. Anugrah Bayu, https://youtu.be/qll9MJZdUvI?si=ZJj3PjKswEZej9BO).

Jurnalisme dan aktivisme adalah dua mata keping logam dalam karir intelektual GM di tanah air. Melalui TEMPO ia banyak terlibat dalam gelombang gerakan sosial di tanah air yang berpuncak pada reformasi 1998, untuk mengulas itu TUK menghadirkan Sri Indriyastukti, tajuk seminarnya ialah “Harapan Di Tengah Gerakan Sosial”, (Presentasia dari Sri Indriyastukti, https://youtu.be/qll9MJZdUvI?si=ZJj3PjKswEZej9BO).

Melalui tulisan-tulisannya GM juga terlihat pakar dalam alam pemikiran kiri kritis, selain marxisme, ia juga memiliki bacaan filsafat yang mumpuni. Banyak pemikir kiri yang ia kenal corak dasar pemikirannya. Terakhir GM akrab dengan pemikiran-pemikiran dari para filsuf politik besar prancis seperti Albert Camus, Slavoj Sizek, Deridda, Foulcault, dan Ranciera, juga pemikir estetika kritis lainnya. Untuk membedah ini hadir Romo A. Setyo Wibowo dengan naskah materinya yang berjudul “Menjaga Gairah Emansipasi GM Membaca Politik dan Seni Jacques Ranciere”, (Presentasi A. Setyo Wibowo, https://youtu.be/qll9MJZdUvI?si=ZJj3PjKswEZej9BO).

Romo A. Setyo Wibowo membahas kecakapan GM dalam membaca dan mengunyah teks-teks antik. Romo Setyo membahasa bagaimana GM membaca dan menafsirkan salah satu epos tua bernama Zarathustra, judul seminarnya “Tafsir GM Atas Zarathustra”. (Presentasi A. Setyo Wibowo, https://youtu.be/qll9MJZdUvI?si=ZJj3PjKswEZej9BO).

Selain oleh Karl Marx, salah satu pemikir yang menjadi pilar besar pemikiran dan refleksi filosofis GM adalah Nietzche, Yulius Tandyanto dengan seminarnya yang berjudul “Siapa Nietzche-nya GM?”. Dalam materi ini Tandyanto yang cukup jeli melahap habis karya dan pemikiran Nietzche dari bangku s1, s2 di SFT Driyarkara, dan kini studi s3-nya di Jerman, rasanya relevan ia menjadi salah satu pelukis wajah GM dengan kuas dan cat pemikiran Nietzche, (Presentasi Yulius Tandyanto, https://youtu.be/qll9MJZdUvI?si=ZJj3PjKswEZej9BO).

Terakhir ada Fitzerald K. Sitorus yang akan menalar GM dan habitus barunya, yaitu melukis. Bertolak dari Adorno, Sitorus akan memperlihatkan irisan antara Adorno dan GM dalam mencerap seni dan menghayatinya dalam semedi kehidupan dan perlawanan simbol, untuk materi Sitorus berjudul “Adornoiesme GM”, (Presentasi Fitzerald K. Sitorus, https://youtu.be/qll9MJZdUvI?si=ZJj3PjKswEZej9BO).

Kami sengaja mengangkat seri kuliah umum filsafat “Membaca Goenawan Mohamad” di atas sebagai percikan rangsangan awal untuk memahami gejolak perang simbol yang sudah, sedang, dan senantiasa bergulir di bumi Papua. Inspirasi kami adalah tulisan Sitorus tentang “Adornoiesme GM”. Kami akan mencoba melihat perjuangan Udeido Collective, khususnya Yanto Gombo dalam pancaran filsafat seni Adorno dan GM. Adorno melihat seni sebagai senjata perlawanan terhadap kapitalisme dan kolonialisme demikian GM pun salam bukunya “Estetika Hitam” mencoba mengekspos pemikiran kritis Adorno atas seni. Di Papua, rupanya pandangan bahwa seni adalah kekuatan dan senjata perjuangan kira sudah muncul sejak era Mimi Fatahan, Mambesak, Black Brothers, Black Sweet, hingga kini pada Udeido Collective.

Tulisan ini terbagi ke dalam beberapa bagian, pertama adalah pengantar ke dalam filsafat seni Adorno, kedua GM dan Estetika Hitamnya, ketiga Udeido Collective dan Adornoiesme Papua, keempat atau yang terakhir Yanto Gombo dan Estetika dari Surga Hitam.

Filsafat Seni Adorno

Mesti kita mengakui bahwa seni jarang menjadi satu topik perenungan serius dalam proyek pemikiran para filsuf besar. Seni kurang menjadi topik perenungan filosofis yang menjanjikan. Ibarat sebuah komoditas seni barangkali menjadi sebuah artefak kuno yang tak menggiurkan mata para pembeli. Namun fatwa ini sepertinya berbanding terbalik dengan jejak seorang filsuf besar asal Jerman yang bernama Theodor Adorno. Theodor Adorno (1903-1969) sendiri adalah seorang filsuf, sosiolog, kritikus musik, dan komponis Jerman terkemuka yang meletakkan seni secara strategis dalam peta besar jalan pikiran filsafatinya. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh paling penting dari Mazhab Frankfurt generasi pertama bersama Max Horkheimer (1895-1973), Hebert Marcuse (1898-1979), Walter Benjamin (1892-1941) dan lainnya. Ia juga termasuk kontributor utama dalam pengembangan teori kritis di Jerman.

Adorno lahir dengan nama lengkap Theodor Ludwig Wiesengrund Adorno di Frankfurt, Jerman, pada 11 September 1903. Ayahnya adalah seorang pedagang anggur Yahudi, dan ibunya adalah seorang penyanyi opera Katolik keturunan Italia. Adorno menerima pendidikan yang sangat baik, termasuk pelajaran musik dari bibinya dan komposisi dari Alban Berg (1885-1935), seorang komposer besar abad 21 dari Wina. Berg terkenal dan dikenang karena telah membawa banyak “nilai-nilai kemanusiaan” ke sistem dua belas nada (dodekafoni), karyanya dianggap lebih “emosional” daripada karya Arnold Schonberg (1874-1951), gurunya yang juga merupakan seorang komposer besar asal Austria.

Musik memainkan peranan penting dalam hidup pribadi dan kelak dalam ide filosofis Adorno. Ia lulus dalam bidang filsafat dari Universitas Frankfurt pada tahun 1924 dan menyelesaikan gelar doktornya pada tahun 1931. Karena berdarah Yahudi, Adorno terpaksa mengasingkan diri dari Jerman setelah Hitler berkuasa. Ia tinggal di London dan kemudian di Amerika Serikat, di mana ia bekerja di Institut Penelitian Sosial yang direlokasi. Pada tahun 1949, Adorno kembali ke Frankfurt bersama Max Horkheimer untuk membangun kembali Institut Penelitian Sosial dan menghidupkan kembali Mazhab Frankfurt.

Bersama para pemikir Mazhab Frankfurt lainnya seperti Max Horkheimer, Hebert Marcuse, dan Walter Benjamin, Adorno mengembangkan Teori Kritis, yang menentang teori tradisional dengan menjadikan masyarakat sebagai objek kritik dan menolak gagasan produksi budaya yang terlepas dari tatanan sosial. Ia menciptakan istilah “industri budaya” untuk menggambarkan eksploitasi sistematis dan terprogram terhadap barang-barang budaya demi keuntungan. Menurut Adorno, industri ini merendahkan karya seni menjadi komoditas, sehingga menghilangkan potensi kritis dan perlawanannya. Adorno mengkritik rasionalisme instrumental yang ia yakini telah menyebabkan dominasi alam dan manusia, yang berpuncak pada totalitarianisme dan fasisme. Filosofinya seringkali ditandai dengan nada pesimistis, menyoroti tema kemerosotan dan dekomposisi dalam seni, filsafat, dan masyarakat. Selama masa hidupnya Adorno banyak menghasilkan karya-karya besar, misalnya: Dialektika Pencerahan (bersama Max Horkheimer, 1944); Filsafat Musik Baru (1949); Dialektika Negatif (1966); Teori Estetika (1970). Adorno meninggal dunia pada 6 Agustus 1969 di Visp, Swiss, pada usia 65 tahun, (Theodor W. Adorno dqlam Ensiklopedia Filsafat Stanford, https://share.google/KNAJqEUqz4zO5tK6Z

Dalam materi seminar filsafat yang dipaparkan oleh Dr. Fitzerald Kennedy Sitorus tentu kita bisa ringkas menjadi beberapa pokok berikut sebagai gambaran umum dari gagasan filosofis Adorno tentang seni:

Pertama, Adorno menyatakan bahwa seni harus otonom dan independen dari kepentingan praktis atau komersial. Seni seharusnya tidak digunakan sebagai alat propaganda politik atau komoditas semata.

Kedua, Adorno sangat kritis terhadap budaya massa dan industri budaya. Ia berpendapat bahwa budaya massa menghasilkan karya yang komersial, dangkal, dan seragam, yang menghancurkan kualitas estetika dan mengaburkan batasan antara seni dan hiburan .

Ketiga, Adorno menekankan pentingnya mimesis atau kemiripan dengan realitas dalam seni. Seni yang benar harus mencerminkan kontradiksi sosial dan kemanusiaan, bukan sekadar menjadi hiburan atau pelarian dari realitas.

Keempat, Adorno mengembangkan konsep estetika negatif, yang mengacu pada pendekatan kritis terhadap seni. Seni yang benar seharusnya menghadirkan ketegangan, kontradiksi, dan pertentangan dalam karya-karya tersebut, sehingga memaksa pemirsa untuk berpikir dan merenung.

Kelima, Adorno menekankan unsur-unsur unik dan irasional dalam seni. Seni yang sah seringkali tidak dapat dijelaskan secara rasional atau dianalisis sepenuhnya, dan harus mempertahankan elemen-elemen misterius dan tidak terduga.

Keenam, Adorno melihat seni sebagai alat untuk mengkritik masyarakat dan struktur kekuasaan yang ada. Seni yang benar dapat mengungkapkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan alienasi dalam masyarakat.

Ketujuh, dalam pandangan Adorno, musik adalah bentuk seni yang paling murni dan otentik. Musik dianggap sebagai medium yang paling mampu mengungkapkan perasaan dan pikiran manusia tanpa terbatas oleh kata-kata atau representasi visual. Adorno menganalisis musik pop/jazz sebagai produk dari industri budaya, yang distandardisasi dan kehilangan individualitas sejatinya, (Bdk. Presentasi Fitzerald K. Sitorus, https://youtu.be/qll9MJZdUvI?si=ZJj3PjKswEZej9BO.

GM dan Estetika Hitam-nya

Goenawan Mohamad menulis buku berjudul “Estetika Hitam: Adorno, Seni, dan Emansipasi” (2021). Buku ini menelaah pemikiran estetika Theodor Adorno. Dalam konteks ini, “Estetika Hitam” dapat diartikan sebagai upaya untuk memahami dan menghargai seni yang membebaskan diri dari komodifikasi dan menawarkan perlawanan terhadap norma-norma sosial.

Pemikiran Adorno menekankan bahwa karya seni harus membebaskan diri dari komodifikasi dan tidak boleh dijadikan alat jual beli. Goenawan Mohamad menelaah pemikiran ini dalam bukunya, yang menunjukkan relevansi antara estetika dan kritik sosial. Bagi Adorno, sistem sosialis yang totaliter dan kapitalisme sama-sama mengancam kebebasan dan memperparah kehidupan modern.

Goenawan Mohamad mengaitkan pemikiran Adorno dengan konteks sosial dan politik, menunjukkan bagaimana estetika dapat memiliki implikasi yang lebih luas dalam masyarakat. Buku GM juga menganalisis berbagai karya seni dari perspektif estetika Adorno, menyoroti bagaimana karya-karya tersebut dapat mengungkapkan kritik sosial dan menawarkan alternatif terhadap keadaan yang ada. Secara keseluruhan, “Estetika Hitam” adalah upaya untuk memahami dan menghargai seni yang membebaskan diri dari komodifikasi dan menawarkan perlawanan terhadap norma-norma sosial. Buku ini menunjukkan relevansi pemikiran Adorno dalam konteks modern.

Udeido Collective dan Adornoiesme Papua

Selain Adorno dan GM yang melihat seni sebagai senjata perlawanan dan simbol emansipasi umat manusia dari hegemoni kapital dan kolonial, di Papua kesadaran itu sudah muncul, misalnya dalam komunitas Udeido Collective. Udeido Collective adalah sebuah kolektif seniman muda dari Papua yang berkarya dalam seni visual kontemporer. Didirikan pada tahun 2018 di Yogyakarta, kolektif ini menyuarakan isu-isu sosial, budaya, dan kemanusiaan yang terjadi di Tanah Papua melalui karya seni mereka.

Nama Udeido berasal dari bahasa suku Mee di Papua, yang merupakan bentuk jamak dari kata ude. Ude adalah sejenis daun yang dipercaya dapat menyembuhkan luka dan menghentikan pendarahan. Dengan nama ini, mereka berharap karya seni mereka dapat “menyembuhkan luka-luka Papua”.

Melalui seni, mereka mencoba memantik kesadaran publik mengenai situasi sosial-politik, pelanggaran HAM, dan isu lingkungan di Papua. Mereka juga menggali konsep-konsep kearifan lokal dari tradisi nenek moyang masyarakat Papua untuk menciptakan karya seni yang relevan dengan masa kini. Salah satu karya penting mereka yang berkaitan dengan konsep “koreri” atau “pembaruan” dalam bahasa Biak(Kolektif Udeido membahas karya “The Koreri Transfotmation”,https://youtu.be/8DjD0JD-K0s?si=3MaIVEzQg_oxd8B9.
Mereka juga berpartisipasi dalam pameran bergengsi seperti Biennale Jogja 2021 dan pameran Present Continuous/Sekarang Seterusnya di Museum MACAN, Jakarta https://www.dewimagazine.com/news-art/a. Karya mural mereka juga pernah dipamerkan di Lahore Biennale, Pakistan, pada tahun 2024 untuk menyuarakan isu deforestasi dan perampasan tanah adat di Merauke, https://jubi.id/seni-budaya/2025/.

Kolektif ini terdiri dari seniman-seniman muda yang berasal dari berbagai wilayah di Papua, termasuk Jayapura, Wamena, Timika, Fakfak, dan Nabire.Nama-nama anggota pendiri dari Udeido Collective adalah seniman-seniman muda dari berbagai daerah di Papua yang bertemu di Yogyakarta. Mereka adalah: Betty Adii, Michael Yan Devis, Yanto Gombo, Nelson Natkime, Constantinus Ruharusun, Andre Takimai, dan Dicky Takndare, https://www.thejakartapost.com/culture/2021/12/03html.

Yanto Gombo dan Estetika dari Surga Hitam

Dari semua anggota Udeido Collectiva yang hebat-hebat. Kami akan berfokus pada salah satu nama, yaitu Yanto Gombo. Ia adalah representasi dari kolektifnya yang dengan lantang bersuara lewat seni, yang menjadikan seni sebagai senjata perlawanan dan wahana pendidikan politik kritis yang sehat.

Yanto Gombo adalah seorang pelukis muda berbakat asal Lembah Baliem Papua, lahir pada tahun 1996. Karya-karyanya terkenal karena kemampuannya melukis potret dan alam dengan kemiripan luar biasa, menggunakan berbagai media. Ia merupakan seorang mahasiswa jebolan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Tanah Papua. Gombo mengawali kariernya sebagai pelukis dari hobi, mengeksplorasi berbagai media untuk menghasilkan karyanya. Selain menggunakan kertas dan kanvas, ia juga melukis di atas kulit kayu, tripleks, tembok bangunan, dan bahkan membuat sketsa di komputer. Melalui lukisannya, Yanto Gombo sering kali menyuarakan keresahan dan pengalaman hidup orang Papua, termasuk tentang penindasan dan kolonialisme. Beberapa karyanya meliputi lukisan potret laki-laki Papua dan lukisan yang menceritakan situasi di Papua. Ia juga pernah meraih penghargaan dalam kompetisi seni.

Lukisan-lukisan Yanto Gombo berfungsi sebagai alat perlawanan seni yang kuat, mengekspresikan kritik terhadap ketidakadilan dan kolonialisme di Papua. Karya-karyanya adalah bentuk ekspresi yang jujur tentang pengalaman dan keresahan masyarakat Papua. Alih-alih melukiskan keindahan alam Papua yang sering diromantisasi, Yanto Gombo memilih untuk melukiskan realitas sosial politik yang dialami oleh masyarakatnya. Melalui karyanya, ia menyuarakan penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Tanah Papua.

Beberapa lukisannya secara spesifik mengkritik para pemimpin dan pihak-pihak yang dianggap tidak peduli terhadap rakyat Papua. Misalnya lukisannya yang berjudul “Buta Pura-Pura”. Lukisan yang dibuat pada Festival Budaya Lembah Balim 2019 ini menggambarkan sosok Bupati Jayawijaya dengan mata tertutup, yang melambangkan para pemimpin yang “duduk untuk rakyat” namun sengaja memejamkan mata terhadap penderitaan mereka, (“Buta Pura-Pura” Lukisan karya Yanto Gombo di FBLB 2019 – Adil Untuk Perubahan
https://share.google/eGnp18ZMXNaMYagOP).

Atau lukisan “Demi Uang”. Dengan menggunakan media asap di atas tripleks melamin, lukisan ini menampilkan seorang perempuan Papua dalam citraan monokrom. Karya ini menyoroti bagaimana ekonomi dan uang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat Papua, terutama perempuan. Yanto Gombo menggunakan karya seninya sebagai media perlawanan untuk menyebarkan kesadaran dan membangkitkan empati.

Ia berpartisipasi dalam acara-acara seperti “Solidaritas Merauke 2025” bersama kolektif seni lain seperti Udeido Collective. Tujuannya adalah untuk menyuarakan pelanggaran HAM di Tanah Papua dan menegaskan identitas masyarakatnya. Melalui lukisan-lukisan, mereka mengilustrasikan narasi otentik orang Papua. Ini berfungsi sebagai bentuk perlawanan terhadap narasi tunggal yang sering kali mendominasi media. Karya-karya Yanto Gombo dan kawan-kawan dark Udeido Collective membantu menegaskan identitas orang Papua di tengah berbagai tekanan. Dengan melukiskan potret individu dan kisah-kisah pilu, mereka menolak dehumanisasi dan menegaskan keberadaan mereka,
(https://www.bbc.com/indonesia/majalah-61951602).

Secara keseluruhan, lukisan Yanto Gombo dan kawan-kawan Udeido Collective adalah bentuk perlawanan seni yang halus namun kuat. Ia tidak hanya melukis, tetapi juga mendokumentasikan, mengkritik, dan menegaskan kembali realitas serta identitas masyarakatnya, menjadikannya alat yang efektif untuk perjuangan sosial. Dengan demikian inilah Adornoiesme Papua yang khas, sebuah estetika hitam yang menampilkan surga yang gelap. (*)

*]Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur (STFT) Abepura, Jayapura, Papua.

Redaksi Tomei

Recent Posts

IKAPPMME Perkuat Kapasitas Mahasiswa Ekadide Jayapura melalui Seminar dan Pelatihan

JAYAPURA, TOMEI.ID | Ikatan Pemuda, Pelajar, Mahasiswa/i dan Masyarakat Ekadide (IKAPPMME) se-Jayapura menggelar seminar dan…

5 jam ago

Mahasiswa Nabire Desak Pemda Bangun Asrama Putri, Soroti Kondisi Tak Layak di Waena

JAYAPURA, TOMEI.ID | Mahasiswa asal Kabupaten Nabire di Kota Studi Jayapura mendesak Pemerintah Kabupaten (Pemkab)…

5 jam ago

TPNPB Pastikan Aparat TNI yang Tertembak di Sorong Raya Belum Dievakuasi, Siap Hadapi Serangan Balasan

SORONG RAYA, TOMEI.ID | Manajemen Markas Pusat Komando Nasional Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (KOMNAS…

5 jam ago

Baku Tembak di Teluk Bintuni, Warga Sipil Mengungsi: Aparat Diminta Pastikan Perlindungan Warga

BINTUNI, TOMEI.ID | Kontak senjata dilaporkan terjadi antara kelompok bersenjata dan aparat keamanan di wilayah…

5 jam ago

Pemkab Dogiyai Perkuat Respons Bencana Daerah, Salurkan BLT dan Sembako untuk Piyaiye

DOGIYAI, TOMEI.ID | Pemerintah Kabupaten Dogiyai melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menyalurkan bantuan langsung…

6 jam ago

Festival Port Numbay Kayu Batu: Merajut Budaya dan Menggerakkan Ekonomi Kreatif Pesisir Jayapura

JAYAPURA, TOMEI.ID | Pantai Bes G di Kampung Kayu Batu, Kota Jayapura, kembali menjadi pusat…

2 hari ago