Oleh: Musa Boma
Tanah bukan sekadar hamparan bumi yang dipijak. Dalam pandangan hidup orang Papua, tanah adalah ruang hidup, ruang spiritual, ruang adat, dan ruang harapan. Kita berasal dari tanah. Kita hidup atas tanah. Dan kelak, tubuh kita akan kembali ke dalam tanah. Oleh karena itu, hubungan manusia Papua dengan tanah bukan hubungan transaksional, melainkan hubungan batiniah yang sakral dan turun-temurun.
Rakyat Mapia tahu benar makna itu. Mereka sadar bahwa tanah bukan hanya sumber pangan dan tempat tinggal, tetapi adalah rekening kehidupan yang menyimpan warisan leluhur, rahasia pencipta, dan masa depan anak cucu. Setiap jengkal tanah adalah tempat lahirnya adat, bahasa, budaya, dan identitas. Kehilangan tanah berarti kehilangan semuanya. Maka mempertahankan tanah bukan pilihan, tapi keharusan.
Hari ini, wilayah Mapia yang terdiri dari 14 distrik berada dalam kondisi darurat ekologis dan sosial. Perusahaan-perusahaan skala besar maupun kecil, legal maupun ilegal, mulai masuk ke kampung-kampung dengan iming-iming pembangunan. Mereka menawar tanah, mengukur batas, menanam papan proyek, dan pada akhirnya menebang hutan, menggusur warga, dan mencemari sungai. Semua dilakukan tanpa seizin dan tanpa sepenuh kesadaran masyarakat adat.
Kawasan-kawasan strategis seperti Bukit Rindu, Degeuwo, Bado Wapoga, Kobougepuga, Degeidimi, Haweibado, Progamuga, Ain Dua, hingga Wosokunu adalah contoh nyata dari “rekening hidup” rakyat Mapia yang kini terancam. Wilayah-wilayah ini bukan tanah kosong. Di dalamnya terdapat tambang emas, kayu bernilai tinggi, sumber air, dan keanekaragaman hayati yang merupakan aset ekonomi dan spiritual yang tak ternilai.
Kita sudah banyak belajar dari tempat-tempat lain di Papua. Di mana perusahaan masuk tanpa kontrol, di situ rakyat menderita. Hutan digunduli. Sungai tercemar merkuri. Hewan punah. Masyarakat adat kehilangan tempat berburu, tempat berladang, dan bahkan kehilangan kedamaian batin. Anak-anak tidak lagi bermain di sungai yang dulu jernih. Ibu-ibu tidak bisa lagi menanam di tanah yang sudah mati. Dan generasi muda hidup dalam keterasingan, menjadi buruh di atas tanah sendiri.
Kita perlu menyebut ini dengan jujur: Mapia sedang dijajah. Bukan dengan senjata seperti masa lalu, tetapi dengan dokumen, kesepakatan sepihak, dan proyek-proyek pembangunan yang tidak berakar pada kebutuhan rakyat. Penjajahan ini tidak datang dengan peluru, tetapi dengan alat berat dan spanduk investasi. Namun esensinya sama: rakyat kehilangan tanah, dan pihak luar mengambil untung sebesar-besarnya.
Para pemodal dan penjajah berdasi itu tidak peduli pada nilai kemanusiaan, hak adat, atau kelestarian lingkungan. Bagi mereka, tanah adalah angka. Hutan adalah komoditas. Dan nyawa manusia adalah statistik. Mereka tidak melihat hutan sebagai rumah roh leluhur atau tanah sebagai tempat hidup anak cucu. Mereka melihat semuanya hanya sebagai aset yang harus dimaksimalkan, lalu ditinggalkan setelah rusak total.
Inilah saatnya rakyat Mapia menyadari bahwa mereka tidak boleh diam. Kita tidak sedang menghadapi sekadar persoalan hukum atau administrasi. Kita sedang menghadapi ancaman eksistensial. Jika kita diam, maka satu generasi lagi tanah ini akan habis, dan rakyat Mapia akan menjadi penonton di atas tanah sendiri, tanpa hak, tanpa suara, tanpa masa depan.
Dalam kepercayaan orang Kristen, Yesus Kristus datang ke dunia membawa kabar baik, tapi juga memberi manusia tanggung jawab untuk menjaga ciptaan Tuhan. Tuhan menciptakan tanah, tapi manusia yang harus menjaga. Tuhan memberi rahasia kekayaan, tapi manusia yang harus mengolah dengan bijak. Maka jika hari ini kita tidak menjaga tanah Mapia, kita sedang mengkhianati mandat ilahi itu sendiri.
Tidak akan ada Tuhan, Yesus, atau Roh Kudus yang turun langsung membentengi gunung-gunung kita dari alat berat. Tugas menjaga tanah adalah tugas kita, sebagai manusia, sebagai pewaris, sebagai anak adat, dan sebagai hamba Allah. Maka menjaga tanah adalah juga bentuk ibadah, bentuk pertobatan ekologis, dan bentuk kesetiaan kepada amanat leluhur dan Tuhan.
Kami mengajak semua komponen masyarakat Mapia tokoh adat, pemuda, mahasiswa, gereja, perempuan, dan seluruh elemen warga untuk bersatu dalam kesadaran bersama. Kita harus hentikan segala bentuk konflik internal yang hanya memperlemah kekuatan kita. Perbedaan pandangan, marga, atau posisi sosial tidak boleh menjadi alasan untuk diam ketika tanah kita diambil paksa.
Kita harus kembali pada nilai-nilai egekai (saling topang), ooge da doo (satu hati satu tujuan), dan kopoupa (berkorban untuk generasi berikutnya). Karena tanpa kesatuan, tidak ada perjuangan yang akan berhasil. Tanah ini terlalu berharga untuk kita biarkan hilang hanya karena kita sibuk bertengkar satu sama lain.
Tanah Mapia bukan milik pemerintah, bukan milik perusahaan, dan bukan pula milik generasi hari ini saja. Tanah Mapia adalah milik masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tanah ini adalah rekening kehidupan yang disimpan Tuhan di tangan rakyat Mapia. Di sinilah Tuhan letakkan susu dan madu, emas dan hasil hutan, keindahan dan kekuatan alam. Jika kita jaga, kita akan hidup. Jika kita abai, kita akan binasa.
Mari kita jaga, rawat, dan pertahankan tanah ini dengan segenap hati. Jangan biarkan siapa pun merampas hak kita atas tanah, air, udara, dan hidup. Sebab saat tanah hilang, kita pun akan hilang sebagai orang Papua. Tanah itu hidup. Tanah itu warisan. Tanah itu tubuh kita sendiri. Jaga tanah berarti menjaga hidup.
Menurut UUD 1945 Pasal 18B Ayat (2): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Pasal ini adalah dasar hukum yang menjamin keberadaan masyarakat adat, termasuk rakyat Mapia. Artinya, negara tidak bisa mengabaikan hak rakyat Mapia atas tanah, hutan, dan ruang hidup mereka.
Kenyataannya, perlindungan konstitusi seringkali hanya tertulis di atas kertas. Di lapangan, masyarakat adat tidak pernah dilibatkan secara sejajar dalam pengambilan keputusan soal tanah mereka. Hukum formal sering memihak pada pemodal. Bahkan, warga adat yang mempertahankan tanahnya dituduh menghambat pembangunan, dicap separatis, atau dikriminalisasi.
Ini adalah bentuk penjajahan baru yang diam-diam terjadi: bukan dengan peluru, tapi dengan proyek dan izin eksploitasi. Dan seperti kata tokoh adat kami, “Kalau tanah sudah habis, maka hidup juga akan habis.”
Masyarakat adat, terutama pemuda dan mahasiswa Mapia, hari ini punya tanggung jawab sejarah. Kita tidak boleh berdiam diri. Kita tidak boleh saling diam, apalagi saling menjatuhkan. Penjajah dan pemodal hanya bisa masuk jika kita sendiri tidak bersatu.
Tuhan tidak akan turun langsung menjaga hutan-hutan kita. Tapi Tuhan sudah memberi kita akal, hati nurani, dan kaki yang bisa berdiri tegak. Maka menjaga tanah adalah perintah Tuhan. Mari satukan hati dan tindakan. Mari lawan ketidakadilan atas nama hukum adat, atas nama hak konstitusional, dan atas nama iman. Mari jaga “rekening hidup” kita sebelum habis dan tinggal sejarah. [*]
)* Naskah ini ditulis oleh Musa Boma, aktivis lingkungan dan Ketua Tim Peduli Alam dan Manusia Mapia, sebagai bentuk suara perlawanan masyarakat adat terhadap perampasan tanah dan kehancuran ekologis di wilayah Mapia Raya, Papua Tengah.
JAYAPURA, TOMEI.ID | Ikatan Pemuda, Pelajar, Mahasiswa/i dan Masyarakat Ekadide (IKAPPMME) se-Jayapura menggelar seminar dan…
JAYAPURA, TOMEI.ID | Mahasiswa asal Kabupaten Nabire di Kota Studi Jayapura mendesak Pemerintah Kabupaten (Pemkab)…
SORONG RAYA, TOMEI.ID | Manajemen Markas Pusat Komando Nasional Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (KOMNAS…
BINTUNI, TOMEI.ID | Kontak senjata dilaporkan terjadi antara kelompok bersenjata dan aparat keamanan di wilayah…
DOGIYAI, TOMEI.ID | Pemerintah Kabupaten Dogiyai melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menyalurkan bantuan langsung…
JAYAPURA, TOMEI.ID | Pantai Bes G di Kampung Kayu Batu, Kota Jayapura, kembali menjadi pusat…