JAYAPURA, TOMEI.ID | Tabur bunga dan doa bersama mewarnai peringatan tujuh tahun Tragedi Nduga Berdarah yang digelar mahasiswa bersama keluarga korban di Asrama Ninmin, Abepura, Jumat (19/12/2025).
Pertemuan ini menjadi panggung gugatan terbuka terhadap negara yang dinilai memelihara impunitas atas berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua.
Peringatan ini memfokuskan ingatan pada sosok almarhum Hendrik Lokbere, warga sipil yang ditembak mati oleh aparat keamanan di Kenyam pada 19 Desember 2019. Peristiwa yang dikenal sebagai “Yosema Berdarah” tersebut hingga kini menjadi luka sejarah yang tak kunjung tersentuh keadilan hukum.
Koordinator aksi, Yuluku Wasiangge, menegaskan bahwa tujuh tahun adalah waktu yang terlalu lama bagi keluarga korban untuk hidup dalam ketidakpastian. Menurutnya, ketiadaan proses peradilan yang transparan menunjukkan pengabaian negara terhadap fakta-fakta pelanggaran di lapangan.
“Negara tidak pernah menghadirkan kebenaran, apalagi keadilan. Kasus Yosema Berdarah sengaja dibiarkan menguap tanpa kejelasan hukum. Ini adalah bentuk perlawanan kami terhadap lupa,” tegas Yuluku dalam pernyataan resminya kepada tomei.id.
Keluarga korban menilai Tragedi Nduga hanyalah satu dari sekian banyak catatan merah dalam potret kelam pelanggaran HAM berat di Papua. Mereka menyoroti pola penggunaan kekuatan militer berlebihan terhadap warga sipil yang terus berulang tanpa ada efek jera bagi pelaku.
Lambannya penanganan kasus-kasus besar seperti Abepura Berdarah, Biak, Wamena, Paniai, hingga kasus di Yahukimo dan Intan Jaya, disebut sebagai bukti nyata kegagalan perlindungan warga.
“Ketiadaan penyelesaian tuntas memperkuat kesan bahwa hak hidup orang asli Papua diabaikan secara sistematis di mata hukum,” lanjut Yuluku.
Empat Poin Desakan Kepada Pemerintah Pusat:
Dalam pernyataan sikapnya, forum mahasiswa dan keluarga korban mengeluarkan desakan keras kepada Pemerintah Pusat. Pertama, mereka menuntut agar impunitas dihentikan dengan membuka kembali penyelidikan seluruh pelanggaran HAM di Papua, termasuk kasus Nduga Berdarah secara independen.
Kedua, mereka mendesak demiliterisasi melalui penarikan pasukan militer non-organik dari seluruh wilayah Papua karena dinilai memperburuk krisis kemanusiaan. Ketiga, mereka meminta akses internasional dibuka seluas-luasnya bagi Komnas HAM, jurnalis internasional, dan lembaga independen untuk memantau situasi di lapangan secara objektif.
Keempat, mereka menuntut pemulihan pengungsi dengan menjamin hak hidup dan kesehatan ribuan pengungsi internal di Nduga, Maybrat, dan Pegunungan Bintang yang hingga kini terabaikan.
Mereka menekankan bahwa penyelesaian persoalan Papua secara mendasar hanya dapat dicapai melalui mekanisme dialog yang setara, bermartabat, serta melibatkan rakyat Papua, tokoh adat, tokoh gereja, dan masyarakat sipil.
“Kami tidak akan berhenti bersuara. Kasus-kasus ini akan terus kami angkat hingga keadilan yang hakiki hadir di atas tanah ini,” pungkas Yuluku menutup jumpa pers tersebut. [*].









