NABIRE, TOMEI.ID | WALHI Papua bekerja sama dengan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau atau Jikalahari menggelar seminar bertajuk “Pembangunan yang Adil dan Berkelanjutan” di Adamant Hotel, Nabire, Papua Tengah, Jumat (30/5/2025).
Dengan mengusung tema “Merajut Keadilan, Merangkul Masyarakat Adat, dan Menjaga Lingkungan”, seminar ini menghadirkan berbagai narasumber dari pemerintah, masyarakat adat, DPR Papua Tengah, media, hingga organisasi bantuan hukum.
Seminar ini mambahas ancaman deforestasi dan peran masyarakat adat dalam perlindungan hutan Papua Tengah kedepan. Karena deforestasi bukan sekedar persoalan lingkungan tetapi masalah keadilan, hak hidup masyarakat adat dan kedaulatan atas tanah.
Menurut WAHLI, Provinsi Papua Tengah yang merupakan daerah pemekaran baru di Tanah Papua, dikenal sebagai salah satu wilayah dengan tutupan hutan lebat yang masih terjaga.
Namun WAHLI menilai bahwa dalam beberapa tahun terakhir, wilayah ini menghadapi ancaman serius akibat pembukaan hutan besar-besaran oleh perusahaan sawit, tebu, bioetanol, tambang, hingga praktik illegal logging yang terus berlangsung.
Berdasarkan laporan terbaru dari WALHI Papua, hingga Maret 2025, sekitar 27.000 hektar hutan alam hilang di Papua Tengah. Sementara itu, total tutupan hutan lebat di seluruh Tanah Papua diperkirakan mencapai 33,12 juta hektar.
Dalam konteks krisis iklim global yang semakin memburuk, kerusakan hutan ini merupakan ancaman nyata terhadap keberlangsungan ekosistem, kehidupan masyarakat adat, serta iklim global.
Diketahui, seminar ini membahas empat pertanyaan pokok: Apa ancaman yang akan terjadi ke depan jika deforestasi terus berlanjut? Apa saja aturan hukum yang melindungi hutan dan masyarakat adat? Bagaimana peran pemerintah, organisasi, dan komunitas dalam perlindungan hutan? Apa peran media ⁰dalam mengangkat dan menyuarakan isu ini?
Keempat pertanyaan tersebut menjadi dasar diskusi lintas sektor yang melibatkan narasumber dari unsur pemerintah, legislatif, masyarakat adat, organisasi bantuan hukum, hingga media lokal.
Melalui pendekatan dialogis, para peserta dan pembicara berupaya mengurai dampak nyata deforestasi di Papua mulai dari krisis ekologi, hilangnya sumber penghidupan masyarakat adat, hingga meningkatnya konflik tenurial.
Lebih lanjut, forum ini juga menggali kerangka hukum yang tersedia untuk melindungi hak-hak masyarakat adat serta keberlangsungan hutan alam. Peran pemerintah sebagai regulator, organisasi masyarakat sipil sebagai penggerak advokasi, dan media sebagai penyampai informasi yang kritis, menjadi simpul penting dalam membangun pembangunan yang adil dan berkelanjutan di Tanah Papua.
Gubernur Papua Tengah Meki Nawipa hadir sebagai keynote speaker dan memaparkan Rencana Pembangunan Papua yang Berkelanjutan. Sementara itu, anggota DPR Papua Tengah John N.R. Gobai menyoroti pentingnya Perdasus dan Perdasi untuk melindungi hak masyarakat adat dan wilayah hutan mereka.
Ketua DAP Wilayah Meepago, Okto Marko Pokey menjelaskan peran vital masyarakat adat dalam menjaga kelestarian lingkungan dan nilai budaya. Perwakilan LBH Papua Emanuel Gobai turut memaparkan “Hak Atas Tanah, Masyarakat Adat Papua” dari perspektif hukum dan advokasi.
Dalam sesi lainnya, Mikael Kudiai, Pemred Lao-Lao Papua, mengangkat pentingnya peran media dalam menyuarakan persoalan lingkungan yang seringkali diabaikan oleh arus utama pemberitaan nasional.
Direktur WALHI Papua, Melkiel Primus Peukl, bertindak sebagai moderator seminar. Seminar ini mengundang seluruh organisasi dan komunitas masyarakat sipil di Papua Tengah, dengan harapan dapat membangun kesadaran bersama dan memperkuat gerakan perlindungan hutan yang adil dan partisipatif.
Acara ini juga disiarkan langsung melalui Channel YouTube Redaksi Tabloid Daerah, sehingga masyarakat luas dapat mengakses diskusi dan materi seminar secara terbuka.