Jhon Hendrik Nawipa: Eksploitasi Nikel Ancam Masa Depan Papua

oleh -963 Dilihat
Jhon Hendrik Nawipa, Plt. Sekretaris BEM Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Cenderawasih, saat menyampaikan sikap penolakan terhadap rencana eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. (Foto: Dok. Pribadi)

JAYAPURA, TOMEI.ID | Penolakan terhadap eksploitasi tambang nikel di kawasan Raja Ampat kembali disuarakan dari kalangan mahasiswa.

Pelaksana Tugas Sekretaris Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Cenderawasih, Jhon Hendrik Nawipa, menyatakan sikap tegas saat di jumpai media Sabtu, (7/6/2025) di Jayapura.

banner 728x90

Ia menentang kebijakan pemerintah pusat yang dinilai tidak berpihak pada kelestarian lingkungan dan hak-hak masyarakat adat.

“Raja Ampat adalah permata dunia. Keindahan dan kekayaan lautnya tidak bisa dikompromikan demi keuntungan sesaat,”tegas Nawipa dalam pernyataan resminya, merespons kebijakan Kementerian Investasi dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mendorong eksplorasi dan eksploitasi tambang nikel di wilayah tersebut.

Menurut Nawipa, kebijakan yang tengah didorong pemerintah pusat merupakan bentuk pengabaian serius terhadap prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang selama ini dijunjung dalam forum nasional maupun internasional. Ia juga menilai bahwa langkah tersebut mencederai komitmen Indonesia dalam menjaga kawasan konservasi yang diakui dunia.

“Rencana tambang nikel ini adalah ancaman langsung terhadap ekosistem laut, keberlanjutan budaya lokal, dan ruang hidup masyarakat adat Papua. Ini bukan hanya soal tambang, ini soal nasib generasi mendatang,” ungkap Nawipa.

Nawipa secara terbuka mempertanyakan dasar argumen ekonomi yang kerap digunakan untuk membenarkan rencana industrialisasi ekstraktif di kawasan timur Indonesia. Menurutnya, narasi ekonomi yang dibangun negara hanya memperkuat ketimpangan dan menormalisasi perampasan ruang hidup.

“Jika kita hitung kerugian ekologis, kerusakan sosial, dan dampak jangka panjang terhadap masyarakat, maka keuntungan ekonomi yang dijanjikan dari tambang nikel hanyalah ilusi. Yang diuntungkan hanya segelintir elite politik dan korporasi besar, bukan rakyat Papua,” ujarnya.

Ia menilai bahwa pendekatan ekonomi seperti ini justru melanggengkan kolonialisme gaya baru yang mengeksploitasi Papua sebagai wilayah sumber daya tanpa perlindungan yang memadai bagi penduduk asli dan lingkungan hidup mereka.

Sebagai representasi suara mahasiswa Papua, Nawipa juga menegaskan bahwa kampus dan generasi muda tidak boleh berdiam diri ketika negara mulai melenceng dari amanat konstitusi. Ia menyebut bahwa mahasiswa memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk mengawal setiap kebijakan publik agar tetap berpihak pada rakyat, bukan pada pasar bebas dan kekuatan modal.

“Ketika negara gagal menjalankan tanggung jawabnya untuk melindungi rakyat dan alamnya, maka mahasiswa wajib bersuara. Suara mahasiswa adalah suara nurani rakyat, dan kami akan terus menyuarakan penolakan terhadap segala bentuk perusakan ekologi Papua,” tegasnya.

Raja Ampat, yang dikenal luas sebagai salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, kini tengah diajukan sebagai Cagar Biosfer UNESCO. Bagi Nawipa, mendorong eksploitasi tambang di wilayah yang sedang diperjuangkan untuk status konservasi dunia merupakan bentuk kegagalan negara dalam menjaga kekayaan ekologisnya sendiri.

“Pemerintah semestinya mendorong pengakuan dan perlindungan kawasan ini, bukan malah membuka celah bagi kerusakan permanen. Raja Ampat bukan hanya aset wisata, tetapi juga laboratorium alam dunia yang tak tergantikan,” ujar Nawipa.

Ia juga mengkritik keras peran Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, yang dinilai tidak menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat Papua meski berasal dari wilayah tersebut. “Kami mendesak Menteri Bahlil untuk tidak menjadi juru bicara modal, tetapi pelindung tanah leluhurnya sendiri,” tambahnya.

Lebih jauh, Nawipa menyerukan solidaritas luas dari masyarakat sipil, komunitas adat, organisasi lingkungan, dan institusi akademik di seluruh Indonesia dan dunia untuk menolak proyek tambang yang mengancam kawasan konservasi tersebut. Ia menegaskan bahwa perjuangan ini tidak boleh dibatasi oleh batas-batas administratif atau sektoral.

“Ini bukan hanya isu lokal atau regional, ini soal masa depan ekologi global. Ketika Raja Ampat hancur, kita semua kehilangan. Solidaritas nasional dan internasional harus dibangun untuk menghentikan keserakahan atas nama investasi,” serunya.

Ia menutup pernyataan dengan menegaskan kembali posisi mahasiswa Papua dalam barisan terdepan perjuangan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat.

“Raja Ampat bukan untuk dijual, bukan untuk dihancurkan. Kami akan terus bersuara hingga negeri ini sadar bahwa tanah dan laut Papua bukan untuk dieksploitasi, tapi untuk dijaga dan diwariskan.”tutupnya. [*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.