Calon Intelektual Tota Mapia Menilai Pemekaran DOB Mapia Raya Tidak Layak Dilanjutkan

oleh -825 Dilihat
Obeth Pugiye, calon intelektual muda Tota Mapiha yang vokal menolak pemekaran Kabupaten Mapia Raya tanpa kesiapan infrastruktur dan partisipasi masyarakat. (Foto: Dok Pribadi).

BOGOR, TOMEI.ID | Proses pemekaran Kabupaten Mapia Raya kembali menuai kritik dari sejumlah tokoh masyarakat, akademisi, dan calon intelektual asal wilayah Tota Mapiha.

Salah satu suara penolakan datang dari Obeth Pugiye, yang dikenal aktif menyuarakan aspirasi masyarakat adat Mapia dan menyoroti bahwa wacana pemekaran ini belum memenuhi standar kelayakan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.

banner 728x90

Menurut Obeth, pengusulan wilayah Tota Mapiha ke dalam cakupan wilayah Calon Kabupaten Mapia Raya justru menyimpan potensi konflik dan ketimpangan baru. Ia menyebut bahwa klaim sepihak dari elit lokal atas nama pemekaran, tanpa kesiapan wilayah dan persetujuan masyarakat, merupakan tindakan gegabah.

“Saya sebagai calon intelektual Tota Mapiha melihat wilayah ini belum layak dimekarkan. Baik dari sisi infrastruktur dasar, pelayanan publik, hingga kesiapan sosial-politik, semuanya masih sangat terbatas,” tegas Obeth dalam keterangan tertulis yang diterima media, Rabu (4/6/2025).

Obeth menyoroti persoalan paling mendasar: minimnya infrastruktur dan layanan publik di sebagian besar kampung dalam kawasan Tota Mapiha. Menurutnya, banyak kampung masih mengandalkan jalur transportasi tradisional, dengan kondisi jalan yang belum terhubung antar wilayah secara layak. Selain itu, akses terhadap fasilitas kesehatan, pendidikan, dan ekonomi pun masih jauh dari memadai.

“Kalau kita bicara pemekaran, maka pertanyaannya adalah: apakah wilayah ini sudah siap secara fisik dan non-fisik?” ujar Obeth. “Pemekaran bukan sekadar urusan administrasi. Ini menyangkut legitimasi sosial, kesiapan pelayanan, dan pengakuan terhadap sistem adat.”

Lebih jauh, Obeth mengkritik minimnya keterlibatan masyarakat dalam seluruh proses perencanaan pemekaran. Ia mengatakan, sejumlah masyarakat di Tota Mapiha merasa tidak pernah dilibatkan dalam musyawarah adat atau konsultasi publik yang seharusnya menjadi fondasi awal sebelum keputusan besar diambil.

“Warga kami tidak tahu menahu soal rencana pemekaran ini. Tiba-tiba sudah dibawa ke Jakarta oleh senior-senior politik tanpa bicara dulu ke masyarakat bawah. Untuk siapa pemekaran ini sebenarnya?” tanya Obeth retoris.

Obeth juga mengingatkan bahwa pemekaran tanpa fondasi sosial yang kuat bisa menjadi sumber konflik baru, terutama di wilayah-wilayah yang masih mengandalkan struktur adat sebagai tatanan hidup sehari-hari. Pemekaran yang tidak menghormati nilai-nilai adat dan tidak melibatkan pemilik hak ulayat, lanjut Obeth, berpotensi menciptakan ketegangan antar masyarakat di kemudian hari.

Dengan berbagai catatan tersebut, Obeth mendesak Pemerintah Provinsi Papua Tengah dan Pemerintah Pusat untuk menunda atau mengevaluasi secara total proses pemekaran Kabupaten Mapia Raya. Ia meminta agar pembentukan daerah otonomi baru tidak semata-mata berdasarkan dorongan elit, tetapi mempertimbangkan kebutuhan riil dan kesiapan wilayah.

“Daripada menambah beban dengan kabupaten baru yang belum siap, lebih baik perkuat dulu pelayanan publik di kabupaten induk. Rakyat butuh pelayanan nyata, bukan hanya sekedar nama kabupaten,” tutupnya. [*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.