Dari Nabire ke Dunia Teknologi: Kisah Kreativitas Seorang Anak Daerah

oleh -1151 Dilihat

Oleh : Wendy Eko Suswinarko

Ada sesuatu yang ajaib ketika rasa ingin tahu bertemu dengan keberanian. Dari situlah sebuah perjalanan lahir, perjalanan yang berawal dari sebuah kota kecil di tepi Teluk Cenderawasih, Nabire, menuju ruang luas dunia teknologi. Rasa ingin tahu itu bagai bara kecil yang tak pernah padam, menyala diam-diam di tengah keterbatasan, menembus sunyi malam dan temaram lampu belajar seadanya. Keberanian menjadi sayapnya, membuat langkah seorang anak daerah tak ragu menembus batas yang seakan membentang terlalu jauh. Dari tanah yang jauh dari pusat teknologi, lahirlah keyakinan bahwa dunia bisa disentuh, diutak-atik, bahkan dipahami, selama ada semangat untuk mencoba.

banner 728x90

Sejak kecil, rasa ingin tahu itu sudah tumbuh subur dalam diri saya. Tahun 1991, ketika masih duduk di bangku kelas enam SD Inpres Kotabaru Nabire, saya memberanikan diri melangkah di luar kebiasaan anak-anak seusia saya. Dari sebuah artikel di majalah Bobo, saya membaca tentang kit piano elektronik. Rasa penasaran menuntun tangan saya mengisi wesel pos sederhana, lalu mengirimnya jauh ke Jakarta. Minggu demi minggu saya menunggu, hingga akhirnya paket itu tiba di rumah. Dengan hati berdebar saya merakitnya, menyambung kabel demi kabel, hingga akhirnya bunyi nada pertama keluar. Itulah momen kecil yang membuka pintu panjang menuju dunia teknologi.

Dua tahun berselang, rasa penasaran itu tak berhenti. Tahun 1993, ketika melanjutkan sekolah di SMP Negeri 1 Nabire, saya mulai jatuh hati pada dunia telekomunikasi. Dari halaman-halaman Bobo, Intisari, hingga Tempo majalah yang saya baca dari tetangga kos saya belajar trik-trik telepon rumah. Dengan sedikit eksperimen, saya bisa menelpon meski telepon dalam kondisi terkunci. Lebih jauh lagi, saya menciptakan alat kecil yang bisa menirukan nada tombol telepon. Alat itu selalu saya bawa ke mana-mana, seolah menjadi rahasia kecil yang hanya saya dan rasa ingin tahu saya yang tahu.

Kisah ini, tanpa saya sadari, sejajar dengan cerita legendaris Steve Jobs dan Steve Wozniak. Sebelum mendirikan Apple, mereka pernah merakit blue box, sebuah alat yang memungkinkan panggilan telepon gratis ke mana saja. Sama seperti mereka, saya pun memulai dengan rasa penasaran, keberanian mencoba, dan sedikit “kenakalan kreatif” yang seringkali berada di batas abu-abu antara eksperimen dan pelanggaran kecil.

Masa SMA di Nabire menjadi ruang baru bagi kreativitas. Saya bereksperimen dengan walkie talkie mini yang bisa disembunyikan dalam sebuah pulpen. Alat ini bahkan sempat kami pakai bersama teman saat ulangan. Betapa nakalnya kami waktu itu tapi lebih dari sekadar kenakalan, ada kepuasan mendalam saat melihat sesuatu yang sebelumnya hanya ide, berubah menjadi kenyataan yang bisa dipakai.

Perjalanan itu berlanjut ketika saya kuliah di Jurusan Teknik Elektro Universitas Brawijaya, Malang. Dunia yang lebih luas terbuka di depan mata. Saat itu, telepon umum dengan kartu chip masih menjadi primadona. Dari sana, saya menemukan trik mengisi ulang kartu telepon bekas dengan menyalin data dari kartu asli. Saya membongkar telepon kartu, mengganti IC aslinya dengan IC hasil salinan, dan kartu-kartu itu pun kembali hidup. Dari sana, saya mendapatkan penghasilan tambahan. Kreativitas bukan lagi sekadar hobi, melainkan juga menjadi cara bertahan hidup.

Tahun 2003, saat menjalani Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Telkom Malang, rasa penasaran saya kembali melahirkan inovasi. Saya membuat sistem call back to internet, di mana komputer dan modem di kantor Telkom saya atur agar ketika saya menelpon dari rumah, modem di kantor akan otomatis menelpon balik ke rumah saya dan memberi akses internet gratis. Di masa ketika internet masih mahal dan langka, trik ini terasa seperti sebuah pencapaian besar.

Waktu berjalan. Tahun 2012, ketika saya sudah bekerja di Pemda Nabire, saya bertemu seorang anak SMA. Ia awalnya ragu mengajari saya trik mempercepat modem 3G hingga mencapai 1 Mbps keraguannya wajar, sebab di matanya saya mungkin tampak seperti intel. Namun, akhirnya ia mengajari saya, dan berhasil. Dari anak itu pula saya kemudian belajar cara mendapatkan kuota gratis hingga 2000 GB per bulan pada tahun 2020.

Semua pengalaman ini bukan sekadar rangkaian cerita tentang “trik nakal” atau jalan pintas. Lebih dari itu, inilah kisah tentang seorang anak daerah yang tak pernah berhenti haus pengetahuan, belajar dari majalah, dari orang lain, dari eksperimen, dan dari keberanian untuk selalu mencoba.
Jika Steve Jobs dan Steve Wozniak menemukan Apple dari blue box mereka, mungkin saya menemukan “Kelapa Nabire” saya sendiri buah dari rasa penasaran, keberanian, dan keyakinan bahwa teknologi selalu bisa diutak-atik untuk membuka peluang baru.

Saya juga menyadari, setiap eksperimen, betapapun kecilnya, selalu memberi pelajaran penting: bahwa teknologi bukan hanya tentang alat dan mesin, melainkan tentang imajinasi dan keberanian manusia untuk menembus batas. Dari kabel yang saya sambung di masa kecil, hingga modem yang saya utak-atik di usia dewasa, semuanya lahir dari kepercayaan bahwa pengetahuan bisa ditemukan di mana saja di balik halaman majalah bekas, di percakapan dengan seorang teman, atau di tengah kesunyian malam saat mencoba-coba rangkaian elektronik.

Kini, ketika saya menoleh ke belakang, saya melihat jalan panjang itu sebagai bukti bahwa anak-anak dari daerah, sekecil apa pun kota asalnya, memiliki peluang yang sama untuk berkreasi dan berinovasi. Nabire mungkin jauh dari pusat teknologi dunia, tetapi semangat untuk belajar dan mencipta tidak mengenal batas geografi. Justru dari tepian negeri inilah, saya belajar bahwa keterbatasan dapat menjadi bahan bakar yang paling murni untuk kreativitas.

Keterbatasan dan keterisolasian tidak pernah menjadi alasan untuk berhenti. Justru dari situlah semangat lahir: bahwa di mana ada keinginan, di situ selalu ada jalan. Saya percaya, perjalanan seorang anak daerah bisa menembus batas dunia. Dari Nabire, dari tanah kelahiran, menuju cakrawala teknologi yang tak pernah berhenti berubah.

Perjalanan ini mengajarkan saya bahwa teknologi bukan sekadar soal mesin, rangkaian, atau trik canggih, melainkan tentang keberanian manusia kecil dari sudut negeri untuk bermimpi besar. Dari Nabire, sebuah kota yang jauh dari hiruk pikuk pusat teknologi, saya belajar bahwa setiap keterbatasan bisa menjadi pintu menuju kreativitas, dan setiap kegagalan hanyalah undangan untuk mencoba lagi.

Di era ketika dunia serba cepat dan instan, saya ingin menegaskan bahwa nilai sejati dari sebuah pengetahuan lahir dari rasa ingin tahu yang tulus, keberanian mengambil risiko, dan semangat untuk berbagi. Anak-anak daerah, di mana pun mereka berada, punya hak dan kesempatan yang sama untuk menjadi bagian dari perubahan dunia.

Dan jika kelak ada yang bertanya, dari mana perjalanan ini bermula, saya akan menjawab dengan sederhana: dari Nabire, dari sebuah rasa penasaran kecil yang tumbuh menjadi keyakinan, bahwa teknologi seperti hidup selalu bisa dirangkai ulang untuk membuka jalan-jalan baru. [*].

)* Penulis adalah Wendy Eko Suswinarko, anak asal Nabire, yang besar dan berkarya di tanah kelahiran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.