Oleh: Wima Gatii.
Pada bulan kesepuluh tahun 2023, Jupry masih berlari di Mahacendra. Lapangan itu tetap riuh oleh sorakan, sempritan parau, dan sepatu-sepatu paku yang membelah lintasan. Tapi satu hal tak pernah berubah sejak hari itu: pada bangku ketiga dari kiri di tribun barat, ada seorang gadis yang selalu datang. Namanya Nhia.
Nhia bukan atlet. Ia tak pernah mengangkat trofi atau mencetak waktu terbaik. Tapi ia hadir seperti hujan sore yang setia membasuh rumput stadion. Duduk dengan tenang, membawa bekal seadanya, dan menatap Jupry berlari. Setiap kali Jupry hendak menyerah, mata Nhia menahannya. Diam-diam, tanpa kata, tapi cukup untuk membuat langkahnya kembali mantap.
Mereka tak pernah benar-benar pacaran. Tapi pada suatu sore yang basah oleh peluh dan langit kelabu, Nhia berbisik, “Kaka, sa tetap stay di sini. Kaka percaya saja e, sa jadi yang terbaik untuk kaka. Sampe kaka finish.”
Jupry tidak menjawab. Ia hanya mengangguk, seperti pelari yang lebih percaya pada garis finis ketimbang suara keramaian.
Mahacendra adalah rumah kedua bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan Uncen. Lapangan ini tak punya tribun megah, bahkan catnya mulai terkelupas, dan papan skor lebih sering mati. Tapi di sinilah impian ditempa. Keringat menjadi mata kuliah harian, dan stamina adalah mata uang kehormatan.
Bagi Jupry, Mahacendra bukan cuma tempat latihan. Ia adalah panggung di mana cintanya tumbuh. Setiap sore, langkah kakinya seperti mencari wajah Nhia di tribun. Dan ketika ia menemukannya, semangatnya tumbuh seperti api di tengah angin timur yang kering.
Tapi musim berganti, dan tahun 2024 datang dengan dingin. Pada bulan kedua, Nhia tidak muncul. Tidak ada pesan, tidak ada kabar. Tribun barat tampak lebih sunyi dari biasanya, dan bangku yang biasa ia duduki hanya ditemani angin dan suara jangkrik.
Jupry tetap berlari. Tapi kini, seolah tak ada arah. Waktu tetap berjalan, peluit tetap berbunyi, tapi ia tahu: sesuatu telah hilang. Sesuatu yang tak bisa ia ulangi.Ada gosip bahwa Nhia dipanggil pulang oleh keluarganya di kampung. Bahwa ia dijodohkan dengan orang lain. Dijodohkan secara adat. Atau bahwa ia tak kuat hidup dalam tekanan kota dan kerinduan yang tak berbalas. Tapi tak ada yang tahu pasti. Dan Jupry terlalu diam untuk bertanya.
Hari-hari berlalu. Latihan demi latihan. Tapi kali ini, ia tak lagi menoleh ke tribun. Ia tahu, bayangan tak bisa dipeluk. Harapan yang digenggam terlalu erat, bisa berubah jadi luka.
Namun Jupry tidak menyerah. Ia berlari bukan lagi demi seseorang, tapi demi sesuatu yang lebih besar: janji. Janji pada dirinya sendiri. Pada tanah yang melahirkan semangatnya. Pada Mahacendra yang tak pernah mengecewakan.
Orang bilang cinta harus memiliki. Tapi Jupry belajar bahwa cinta sejati kadang harus melepaskan. Bahwa ada janji-janji yang tidak ditepati, tapi tetap layak dikenang. Dan bahwa tribun kosong pun bisa menjadi altar kesetiaan yang sunyi.
Suatu senja, saat latihan hampir usai, Jupry berhenti di tengah lintasan. Ia menatap tribun. Bangku ketiga dari kiri masih kosong. Tapi kali ini ia tersenyum. Bukan karena Nhia kembali, tapi karena ia sudah berdamai dengan kepergiannya.
Kalau suatu hari Nhia datang lagi, mungkin bukan untuk meminta maaf. Mungkin hanya untuk duduk sebentar dan melihat Jupry sekali lagi berlari. Dan Mahacendra akan menyambutnya. Tanpa tanya. Tanpa dendam. Seperti tanah yang selalu menerima hujan, meski awannya telah pergi jauh.
Karena cinta, seperti lintasan, tak selalu harus lurus menuju garis finis. Kadang, ia hanya perlu cukup ruang untuk berjalan perlahan, lalu diam dalam ingatan.
Jika suatu hari Nhia kembali, bukan untuk meminta maaf, mungkin hanya untuk duduk sebentar dan melihat Jupry berlari sekali lagi Mahacendra akan menyambutnya dengan diam yang lapang dan sunyi yang penuh pengertian. Sebab cinta tak selalu harus berakhir bahagia; kadang, cukup dikenang seperti senja di kaki Gunung Cycloop singkat, namun indah.
Dan di semesta kecil Numbay yang diam-diam tahu, Mahacendra akan terus berdiri, menyimpan kisah yang tak pernah tuntas, menjaga nama Nhia dan Jupry dalam keheningan abadi, sebab bahkan janji yang gagal pun bisa menjadi puisi, dan cinta yang tak selesai pun tetap layak dihormati.
)* Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Cenderawasih, Jayapura – Papua.