Kesaksian Pilu di LBH Kaki Abu: 2.000 Pengungsi Maybrat Hidup di Bawah Kontrol Militer

oleh -1201 Dilihat
Dalam rangkaian peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kaki Abu Sorong, Papua Barat Daya, menggelar kegiatan sejak 7 hingga 10 Desember 2025. (Foto: Eskop Wisabla/tomei.id).

SORONG, TOMEI.ID | Dalam rangkaian peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kaki Abu Sorong, Papua Barat Daya, menggelar kegiatan sejak 7 hingga 10 Desember 2025.

Acara ini menjadi panggung pengungkapan fakta kelam terkait pelanggaran HAM, menyoroti pengalaman hidup komunitas di bawah tekanan konflik.

banner 728x90

Salah satu momen sentral adalah kesaksian Lami Faan, seorang korban sekaligus pengungsi dari Kabupaten Maybrat. Faan menceritakan kondisi pilu sekitar dua ribu warga yang hidup dalam tekanan, kekerasan, dan penderitaan dahsyat akibat operasi militer.

“Kami tidak pernah membayangkan situasi seperti ini akan terjadi di Maybrat, khususnya di Kisor, Aifat Timur Raya, dan Aifat Selatan. Banyak saudara-saudara kami di Pegunungan Papua menjadi pengungsi akibat operasi militer,” ujar Faan saat diskusi pada Selasa, (9/12/2025).

Faan memaparkan, tragedi penyerangan terhadap pos Koramil di Kisor pada 2 September 2021, memicu operasi militer skala besar. Dampaknya, warga dari lima distrik: Aifat Timur Raya, Aifat Timur, Aifat Selatan, Aifat Utara, dan Aitinyo akan terpaksa mengungsi secara menyebar ke hutan, kampung terdekat, hingga ke Kota Sorong.

Faan mengenang kepanikan saat meninggalkan kampungnya di Pankah Rio. Ia menjadi orang terakhir yang keluar pada 5 September 2021 pagi, sebelum menetap tujuh bulan di Ayawasi dan akhirnya pindah ke Sorong.

Pemulangan Paksa dan Akses Terbatas

Faan mengkritik upaya pemulangan pengungsi secara paksa oleh pemerintah sejak 2023, yang dinilai abai terhadap pemenuhan hak-hak dasar (pendidikan, kesehatan, ekonomi).

“Bagaimana kami bisa bertahan hidup jika hak dasar kami tidak terpenuhi? Kami harus berjuang sendiri untuk makan dan berobat,” ujarnya prihatin.

Dari sekitar 2.000 pengungsi, sebagian telah kembali ke tiga distrik, namun dua distrik (Aifat Timur dan Aifat Selatan) masih belum bisa ditinggali. Tragisnya, beberapa rumah warga dialihfungsikan menjadi pos militer.

Hidup di Bawah Kontrol Aparat Bersenjata

Faan membantah klaim pemerintah yang menyatakan wilayah tersebut sudah aman. Faktanya, kehadiran pos-pos TNI di setiap kampung mengharuskan warga meminta izin untuk beraktivitas, termasuk berburu di hutan sebagai mata pencaharian utama.

Situasi pengawasan ketat dan kehadiran aparat bersenjata setiap hari berdampak serius pada gangguan psikologis dan mental masyarakat.

“Tidak ada upaya nyata dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah pengungsi di Papua,” tegas Faan, menyoroti pembiaran negara.

LBH Kaki Abu Ingatkan Esensi HAM

Kegiatan yang digelar LBH Kaki Abu ini bertujuan membumikan pengalaman dan temuan berbagai komunitas di Papua, sekaligus menegaskan kembali bahwa HAM adalah hak dasar yang melekat sejak lahir dan wajib dihormati, dijunjung tinggi, serta dilindungi negara. Prinsip ini telah ditegaskan dalam Deklarasi Universal HAM 1948, UUD 1945 Pasal 28A–J, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Melalui forum ini, LBH Kaki Abu membuka ruang bagi masyarakat Papua untuk berbagi pengalaman langsung terkait situasi HAM, sembari mengingatkan bahwa perlindungan hak-hak dasar merupakan fondasi kehidupan yang adil dan bermartabat. [*].

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.