JAYAPURA, TOMEI.ID | Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Papua mengeluarkan pernyataan tegas terhadap kunjungan Menteri ESDM RI, Gubernur Papua Barat Daya, dan Bupati Raja Ampat ke lokasi pertambangan nikel di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Kunjungan tersebut dinilai sebagai bentuk maladministrasi karena dilakukan di luar kewenangan mereka dan berpotensi mengintervensi proses hukum yang sedang ditangani oleh Polisi Khusus Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Polsus PWP3K).
Dalam siaran pers bernomor 002/SP-KPHHP/VI/2025, Koalisi menyatakan bahwa aktivitas empat perusahaan tambang nikel—PT Gag Nikel, PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining—telah melanggar ketentuan Pasal 35 huruf k Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Dalam undang-undang jelas diatur bahwa setiap orang dilarang melakukan penambangan di wilayah yang secara teknis, ekologis, sosial, atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan atau merugikan masyarakat sekitar,” ujar perwakilan Koalisi dalam keterangan pers, Senin (9/6).
Sebagai bentuk respons awal, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebelumnya telah menghentikan sementara operasi PT Gag Nikel. Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) telah mengirimkan tim Polsus PWP3K ke lokasi sejak 5 Juni 2025 untuk menyelidiki dugaan kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang di wilayah konservasi Raja Ampat.
Namun, Koalisi menyayangkan tindakan Menteri ESDM, Gubernur, dan Bupati yang secara tiba-tiba melakukan kunjungan ke lokasi tambang dan menyampaikan pernyataan di media tanpa menunggu hasil resmi dari Polsus PWP3K.
“Semua pernyataan mereka bersifat subjektif, terkesan membela PT Gag Nikel, dan tidak berdasarkan kewenangan hukum. Ini bentuk intervensi terhadap proses penyelidikan dan mencederai asas profesionalitas,” tegas Koalisi.
Menurut Koalisi, hanya Polsus PWP3K yang berwenang melakukan penyelidikan sebagaimana diatur dalam Permen KP Nomor 12 Tahun 2013 tentang Pengawasan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Oleh karena itu, segala pernyataan dari Menteri ESDM, Gubernur, dan Bupati terkait status hukum pertambangan di Raja Ampat dinilai tidak sah dan patut diabaikan.
Koalisi menilai tindakan para pejabat tersebut telah melanggar asas profesionalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 3 angka 6 dan Pasal 7 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Karena itu, Koalisi mendesak Ombudsman Republik Indonesia segera menyurati para pejabat terkait untuk mencegah terjadinya maladministrasi lebih lanjut.
Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua menyampaikan empat tuntutan utama:
Menteri ESDM RI, Gubernur Papua Barat Daya, dan Bupati Raja Ampat dilarang melakukan tindakan maladministrasi atas kewenangan Polsus PWP3K.
Ketua Ombudsman RI diminta segera menyurati ketiga pejabat tersebut untuk mencegah maladministrasi dalam pelayanan publik.
Polsus PWP3K segera memproses hukum keempat perusahaan tambang nikel yang beroperasi di wilayah pesisir Raja Ampat.
Gubernur dan Bupati harus mendorong penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan tambang yang bermasalah, bukan justru membela kepentingannya.
Siaran pers ini ditandatangani oleh sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua, yaitu LBH Papua, PAHAM Papua, ALDP, SKP KC Sinode Tanah Papua, SKP Fransiskan, Elsam Papua, LBH Papua Merauke, LBH Papua Pos Sorong, dan KontraS Papua. [*]