KOMASDELING PAPSEL: PSN Merauke Adalah Genosida Lingkungan dan Sosial, Pemerintah Harus Hentikan Segera

oleh -1335 Dilihat

MERAUKE, TOMEI.ID | Dalam momentum peringatan Hari Demokrasi Internasional, Senin (15/9/2025), Komite Aksi Selamatkan Demokrasi dan Lingkungan Papua Selatan (KOMASDELING PAPSEL) menggelar aksi dan konferensi pers di Merauke.

Mereka menyampaikan kritik keras terhadap proyek-proyek pembangunan berskala besar di Papua Selatan, khususnya Program Strategis Nasional (PSN), yang dinilai telah merampas ruang hidup masyarakat adat dan membungkam demokrasi.

banner 728x90

Koordinator Umum KOMASDELING PAPSEL, Ambrosius Nit, menegaskan bahwa demokrasi sejatinya menjamin partisipasi rakyat dalam menentukan arah pembangunan. Namun, realitas di Papua justru menunjukkan praktik otoritarianisme terselubung.

“Ruang demokrasi di Papua telah ditutup rapat. Rakyat hanya diajak memilih setiap lima tahun, tapi tidak pernah dilibatkan dalam menentukan pembangunan yang menyangkut hidup mereka,” ujarnya.

Dalam pernyataan sikapnya, KOMASDELING menyebutkan PSN Merauke seluas 2,3 juta hektar yang mencakup cetak sawah, optimalisasi lahan, dan pengembangan tebu-bioetanol sebagai proyek cacat hukum. Mereka menilai pemerintah dan investor tidak pernah melakukan konsultasi bermakna dengan masyarakat adat, sebagaimana diamanatkan oleh hukum nasional maupun instrumen internasional.

Ambrosius menegaskan bahwa pengerahan aparat militer, masuknya alat berat tanpa izin, serta penghancuran hutan adat suku Malind Anim, Kanum, dan Maklew merupakan bentuk nyata dari perampasan tanah sekaligus genosida budaya.

“Ini bukan pembangunan, ini pemusnahan. Tanah adat dibuldozer, hutan dihancurkan, masyarakat diintimidasi. Pemerintah tidak hanya gagal melindungi, tapi justru menjadi kaki tangan kapitalis,” tegasnya.

KOMASDELING juga menyoroti keterlibatan pengusaha besar dalam proyek PSN, di antaranya keluarga Fangiono dan Martua Sitorus melalui Wilmar Group dan KPN Corp, yang disebut menguasai ratusan ribu hektar lahan di Papua.

Menurut laporan PUSAKA serta investigasi Tempo dan The Gecko Project, keberadaan korporasi ini tidak hanya menimbulkan deforestasi, tetapi juga konflik sosial dan kekerasan terhadap masyarakat adat.

Dalam aksi tersebut, KOMASDELING PAPSEL menyampaikan sejumlah tuntutan utama, antara lain: menolak PSN di Papua Selatan, menolak pembangunan batalyon militer, menutup seluruh pertambangan ilegal dan peredaran miras, mendorong pendidikan dan kesehatan gratis untuk Orang Asli Papua, menuntut pembebasan tahanan politik, mendukung gugatan korban PSN ke Mahkamah Konstitusi, menuntut keterbukaan akses jurnalis, menyerukan pembubaran Majelis Rakyat Papua (MRP), serta menolak pemekaran kabupaten baru dan program transmigrasi.

Selain itu, KOMASDELING mendesak Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan investigasi independen atas dugaan pelanggaran HAM, perampasan tanah adat, dan penghancuran lingkungan hidup di Papua Selatan.

Di akhir pernyataan, Ambrosius Nit menegaskan bahwa perjuangan menolak PSN dan segala bentuk penindasan bukanlah milik satu kelompok saja, melainkan perjuangan bersama rakyat Papua Selatan.

“Musuh rakyat hanya satu: sistem yang menindas. Saatnya rakyat Papua Selatan bersatu di bawah organisasi rakyat yang terorganisir untuk merebut kembali kedaulatan,” ujarnya menutup aksi dengan pekikan: “Salam Demokrasi! Rebut Kembali Kedaulatan Rakyat!”

KOMASDELING PAPSEL menegaskan bahwa PSN Merauke bukan pembangunan, melainkan ancaman genosida sosial dan ekosida, sehingga pemerintah harus segera menghentikannya demi melindungi masyarakat adat dan masa depan Papua Selatan. [*].

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.