JAYAPURA, TOMEI.ID | Manajemen Markas Pusat Komando Nasional Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (KOMNAS TPNPB) menyampaikan pernyataan resmi terkait peringatan 63 tahun Perjanjian New York Agreement yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962.
Dalam siaran persnya, Tentara Papua Nasional Papua Barat (TPNPB), menegaskan penolakan terhadap perjanjian tersebut, yang dianggap cacat hukum internasional serta menjadi awal malapetaka bagi rakyat dan bangsa Papua.
Perjanjian New York 1962 ditandatangani oleh Amerika Serikat, Belanda, Indonesia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tanpa melibatkan bangsa Papua. Menurut TPNPB, kesepakatan tersebut telah mengabaikan kemerdekaan bangsa Papua yang secara sah diproklamasikan pada 1 Desember 1961 dan diakui oleh Belanda sebagai koloninya.
“Perjanjian ini hanyalah jalan untuk menyerahkan administrasi pemerintahan West New Guinea Netherland (West Papua) kepada Indonesia melalui tekanan Amerika Serikat, demi kepentingan investasi, khususnya terkait PT Freeport Indonesia. Selanjutnya, melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), PBB menyerahkan Papua kepada Indonesia pada 1 Mei 1963, tanpa melibatkan rakyat Papua. Proses itu tidak memiliki legitimasi karena tidak mencerminkan aspirasi bangsa Papua,” demikian pernyataan tertulis yang diterima media ini, Sabtu, 16/8/2025).
TPNPB Menyampaikan 7 Poin Sikap
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dalam pernyataan resminya menyampaikan tujuh poin sikap terkait status politik Papua, sejarah integrasi, serta posisi perjuangan mereka saat ini.
Pertama, TPNPB mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk meninjau kembali Perjanjian New York 1962 dan Pepera 1969 yang dinilai cacat hukum serta tidak sesuai standar internasional. Proses tersebut disebut telah melanggar Piagam PBB Pasal 1(2) dan Resolusi Majelis Umum PBB 1514 (XV) Tahun 1960 tentang Deklarasi Kemerdekaan bagi Negara dan Rakyat Kolonial.
Kedua, TPNPB menolak hasil Pepera 1969, karena hanya melibatkan 1.026 orang dari sekitar 809.337 rakyat Papua. Proses itu berlangsung di bawah tekanan militer Indonesia sehingga, menurut TPNPB, tidak mencerminkan prinsip demokrasi “satu orang, satu suara” (one man, one vote).
Ketiga, TPNPB meminta Kerajaan Belanda di bawah pimpinan Raja Willem-Alexander Claus George Ferdinand untuk meninjau kembali status politik Papua. Penyerahan sepihak Papua pada periode 1962–1963 dinilai telah menimbulkan rangkaian pelanggaran HAM, kekerasan, penahanan sewenang-wenang, pembatasan kebebasan, hingga konflik bersenjata berkepanjangan selama lebih dari enam dekade.
Keempat, TPNPB menegaskan bahwa 15 Agustus 1962 adalah titik awal malapetaka bagi rakyat Papua. Penyerahan tanah Papua kepada Indonesia pada tanggal tersebut dianggap sebagai pintu masuk berbagai bentuk kekerasan dan kematian yang masih terjadi hingga kini.
Kelima, TPNPB menilai PBB turut bertanggung jawab atas konflik bersenjata yang tidak kunjung usai di Tanah Papua. Perjanjian New York, menurut mereka, justru memicu lahirnya perlawanan bersenjata di 36 Komando Daerah Pertahanan TPNPB.
Keenam, TPNPB mengakui 1 Desember 1961 sebagai hari kemerdekaan bangsa Papua. Dalam sikap yang sama, mereka menolak perayaan kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 di atas tanah Papua.
Ketujuh, TPNPB menegaskan bahwa mereka akan melanjutkan perjuangan melalui perlawanan bersenjata hingga Indonesia mengembalikan hak kemerdekaan bangsa Papua yang dinilai telah dirampas melalui agresi militer.
Pernyataan sikap ini ditandatangani oleh jajaran pimpinan TPNPB-OPM, yakni Jenderal Goliat Tabuni (Panglima Tinggi), Letnan Jenderal Melkisedek Awom (Wakil Panglima), Mayor Jenderal Terianus Satto (Kepala Staf Umum), dan Mayor Jenderal Lekagak Telenggen (Komandan Operasi Umum).
Siaran pers tersebut diteruskan oleh juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, kepada seluruh pihak nasional maupun internasional.
Hingga berita ini diturunkan, redaksi masih berupaya menghubungi pihak Pemerintah Indonesia, PBB, serta Kedutaan Besar Belanda di Jakarta untuk meminta tanggapan resmi atas pernyataan TPNPB tersebut. [*].