Pagokotu: Kampung Halaman yang Menjadi Obat Jiwa dan Akar Peradaban Meepago

oleh -1097 Dilihat

Oleh: Fransiskus Kedeikoto, ST

Di jantung Kampung Modio, Kabupaten Dogiyai, Papua Tengah, terdapat sebuah dusun kecil bernama Pagokotu. Bagi saya, tempat ini bukan sekadar kampung, tetapi lambang sejarah, identitas, dan akar peradaban Meepago. Di antara saudara-saudara saya, saya merasa sangat beruntung bisa lahir dan tumbuh di kampung halaman sendiri, sebuah anugerah yang jarang dimiliki banyak orang. Pagokotu mungkin kecil ukurannya, tetapi namanya besar karena kisah dan perjuangan generasi sebelumnya yang telah membentuk karakter warga hingga kini.

banner 728x90

Masa kecil saya di Pagokotu dipenuhi dengan pengalaman yang membentuk jiwa dan rasa syukur. Hidup saat itu penuh tantangan. Mencari nafkah bukan perkara mudah, sembako sulit diperoleh, dan mayoritas warga mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian utama. Namun, tanah yang subur dan ladang yang luas menjadi berkah Tuhan yang menakjubkan, membentuk kehidupan masyarakat yang tangguh, pekerja keras, dan penuh dedikasi. Dari keringat dan jerih payah mereka, saya belajar arti ketekunan, kesederhanaan, dan menghargai setiap hasil kerja.

Seiring bertambahnya usia dan kompleksitas kehidupan kota, kampung Modio selalu menjadi tempat yang menenangkan hati. Setiap kali masalah terasa membebani, saya kembali ke kampung untuk menemukan titik terang. Goa Maria selalu menjadi tujuan pertama saya, tempat saya berdoa, merenung, dan menguatkan diri. Namun, rumah peninggalan almarhum Bapa saya di Dusun Hupei tetap menjadi tempat yang paling nyaman dan penuh kenangan. Rumah itu bukan sekadar bangunan, tetapi saksi sejarah keluarga dan kehidupan yang sarat nilai.

Di rumah itu, Mama dan adik perempuan pertama tinggal. Mama saya adalah sosok wanita yang luar biasa. Meski usianya beranjak tua, semangatnya yang tak pernah padam membuatnya selalu terlihat muda. Kelembutan, kasih sayang, dan pengorbanannya bagi anak-anak serta cucu-cucunya menjadi sumber inspirasi dan kekuatan bagi saya. Kehidupan sederhana namun bermakna di kampung halaman ini menanamkan nilai-nilai yang membimbing saya dalam setiap langkah hidup.

Pagokotu dan kampung Modio tidak hanya memberikan ketenangan bagi jiwa, tetapi juga menyimpan potensi besar bagi pengembangan spiritual dan sejarah. Saya selalu berdoa, semoga kampung ini suatu hari semakin maju, terutama dari aspek rohani, dan menjadi destinasi peziarah yang memberi inspirasi bagi generasi berikutnya. Saya berharap nilai-nilai kehidupan yang diwariskan oleh para pendahulu, kerja keras, ketekunan, dan kepedulian terhadap sesama manusia akan terus dijaga dan diteruskan.

Bagi saya, kembali ke kampung halaman bukan hanya soal nostalgia, tetapi juga tentang menemukan akar, memahami diri, dan menyerap hikmah dari perjuangan warga setempat. Setiap langkah di ladang, setiap doa di Goa Maria, dan setiap senyum hangat dari keluarga mengingatkan saya bahwa kekuatan hidup sejati lahir dari akar budaya, kasih sayang keluarga, dan hubungan harmonis dengan alam.

Pagokotu adalah bukti nyata bahwa sebuah kampung kecil bisa memiliki cerita besar. Cerita tentang kehidupan sederhana namun penuh makna, tentang perjuangan, ketekunan, dan cinta yang membentuk generasi. Dari Pagokotu, saya belajar bahwa tempat asal tidak hanya menjadi fondasi sejarah, tetapi juga sumber inspirasi dan obat bagi jiwa yang lelah.

Doa dan harapan saya selalu menyertai kampung ini. Semoga suatu hari Kampung Modio akan semakin dikenal sebagai pusat rohani dan sejarah, menjadi tempat yang tidak hanya menguatkan warga setempat, tetapi juga menginspirasi generasi Meepago dan seluruh Papua Tengah. Dari kampung kecil ini, saya belajar bahwa ketekunan, kesederhanaan, dan kasih sayang adalah warisan yang paling berharga, yang mampu membimbing kita menghadapi tantangan zaman. [*].

Modio, 05 November 1984 – Nabire, 05 November 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.