Perempuan Adat Jayawijaya Tegaskan Larangan Penyalahgunaan Busana Adat Hubula

oleh -1146 Dilihat
Koordinator Seminar Noken, Marlince Siep.

WAMENA, TOMEI.ID | Jaringan Perempuan Adat Jayawijaya (JPAJ), yang beranggotakan empat organisasi yakni Humi Inane, Hubula Humi, LPPAP, dan PPT Kabupaten Jayawijaya, menyatakan sikap tegas menolak segala bentuk penyalahgunaan simbol dan busana adat Hubula.

Sikap tersebut disampaikan melalui Petisi Perlindungan Busana Adat Hubula pada peringatan Hari Noken Sedunia ke-13 di Gedung Tongkonan, Kamis (4/12/2025) lalu.

banner 728x90

Petisi ini lahir sebagai respons atas maraknya penggunaan atribut sakral Hubula oleh pejabat, pemuka agama, maupun masyarakat non-Hubula yang tidak memiliki hubungan genealogis dengan masyarakat Lembah Baliem. Para perempuan adat menilai fenomena tersebut sebagai bentuk komodifikasi dan pelecehan terhadap aturan adat yang diwariskan leluhur.

“Ini aturan leluhur. Ada benda sakral dan ada benda umum. Tidak semua bisa dipakai sembarang orang,” tegas Marlince Siep, Koordinator Seminar Noken, dalam rekaman suara yang diterima Tomei.id, Sabtu (6/12/2025).

Mahkota Adat Hanya untuk Pemegang Hak Adat

Dalam petisi tersebut, JPAJ menegaskan bahwa mahkota adat laki-laki, karekare, werene, waya, dan kur esi merupakan simbol sakral yang hanya boleh digunakan oleh laki-laki Hubula pemegang hak adat. Penggunaan mahkota oleh pejabat, tokoh agama, perempuan (di luar konteks tertentu), maupun pihak non-Hubula dikategorikan sebagai pelanggaran adat.

Perempuan hanya diperbolehkan mengenakan sue esi dalam konteks khusus, seperti pesta dansa, sesuai ketentuan adat.

Busana laki-laki Hubula atau Holim diatur melalui struktur adat yang ketat, dengan setiap atribut memiliki fungsi dan batasan yang jelas. Karekare merupakan mahkota adat yang menunjukkan status sosial, dengan warna putih bagi moety wita dan merah bagi moety wayab.

Werene, Puali, mahkota berbulu burung yang menjadi identitas laki-laki moety waya, dilarang keras digunakan oleh perempuan maupun pihak non-Hubula. Sementara itu, Kur Esi, mahkota berwarna putih khusus bagi moety wita, juga tunduk pada aturan adat yang ketat dan tidak boleh dipakai di luar ketentuan yang berlaku.

Dalam sejumlah tarian adat, perempuan dapat memakai Sue Esi, mahkota berbahan bulu burung atau wol, tetapi tetap dalam koridor adat. Atribut lain seperti Sisika, Kirinag Su, Kakin, Mikhak, Walimo, Wam Aik, Yeke Esi, dan Sekan masing-masing memiliki fungsi dan hierarki yang tidak boleh dilanggar.

Aturan Busana Perempuan Hubula: Su, Sali, dan Yokal

Busana perempuan Hubula terdiri dari tiga komponen utama yaitu Su (noken), Sali, dan Yokal, yang masing-masing memiliki nilai dan batasan adat yang kuat. Sali terbagi atas dua jenis, yakni Kem Sali, yang merupakan sali umum dan dapat digunakan oleh perempuan Hubula dari berbagai usia serta boleh diperjualbelikan, dan Isiwar Sali, yaitu sali khusus bagi perempuan yang telah melewati inisiasi pendewasaan.

Isiwar Sali dianggap sangat sakral sehingga tidak boleh diperjualbelikan atau dipakai oleh orang lain. Sementara itu, Yokal hanya dikenakan oleh perempuan yang telah menikah secara adat dan tidak boleh dipindahtangankan.

Pada komponen noken atau Su, masyarakat Hubula membedakan dua kategori besar, yaitu Su Ewe (noken ber-ruang) dan Su Aga (noken tanpa ruang). Su Ewe memiliki beragam jenis seperti Nyaporawie, Hanom Su, Hepiri Su, Elegealeka/Inyaleka, Elege Iyom, Humi Kerugu Su, Walon Su, Su Yokal, hingga Kirinag Su, yang masing-masing digunakan untuk fungsi berbeda, mulai dari membawa barang dan bayi hingga keperluan upacara kematian dan atribut adat laki-laki.

Adapun Su Aga terdiri atas Su Aga, yaitu tudung bayi atau kerudung nikah adat yang bersifat sangat sakral, serta Su Segerakhe, noken tabu yang hanya boleh dipakai di dalam Pilamo dan dilarang keras digunakan di luar ruang adat tersebut.

JPAJ juga menolak penggunaan motif anyaman leluhur, terutama motif poligon delapan, dalam busana modern tanpa izin adat. Mereka turut melarang penggunaan ekor babi sebagai ornamen karena berkaitan langsung dengan ritus kematian.

Sal Pribadi, Benda Paling Sakral dalam Hidup Perempuan Hubula

Para mama adat kembali menegaskan bahwa sal pribadi, sali yang dikenakan perempuan saat pertama kali mengalami haid merupakan benda paling sakral dalam kehidupan perempuan Hubula.

Sal ini memiliki kedudukan adat yang sangat tinggi sehingga tidak boleh dipinjamkan, diperjualbelikan, maupun digunakan oleh siapa pun selain pemiliknya. Benda tersebut dianggap sebagai identitas adat yang melekat seumur hidup dan tidak dapat dialihkan dalam kondisi apa pun.

“Itu benda sakral. Tidak boleh diperjualbelikan dan tidak boleh dipakai sembarang orang,” ujar salah satu mama adat dalam forum.

Melalui petisi yang disampaikan secara terbuka, JPAJ mendesak Pemerintah Kabupaten Jayawijaya untuk membentuk Peraturan Daerah tentang Perlindungan Busana Adat Hubula pada 2026. Mereka menilai regulasi ini penting untuk menghentikan komersialisasi, politisasi, serta penyalahgunaan atribut adat yang terus meningkat.

“Ini silo untuk menjaga hidup dan menjaga harga diri masyarakat adat,” tegas Marlince mengakhiri pernyataannya. [*].

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.