Oleh: Renold Dapla
Pengantar
Jujur: “Saya pemuda Gereja Injili Indonesia (GIDI) Tulen”. Saya lahir dan besar di dalam gereja ini di tanah Dogobun, tempat dimana Injil itu tumbuh dan besar di wilayah suku kimyal. Saya dibesarkan dan diproses dengan etika kekristenan, dogma serta tatanannya untuk menjaga iman akan kepercayaan, toleransi akan sesama serta menjaga keutuhan akan kemanusiaan.
Pada bulan Desember tahun 2025 ini, Saya mencoba untuk merefleksikan tentang tema natal yang diangkat oleh Badan Pekerja Pusat (BPP-GIDI). Ketika saya refleksikan tema ini, ternyata disana telah saya menemukan Inkoherensi tema natal tahun 2025 dan realitas obyektif umat GIDI.
Sebagai bentuk ketidakterimaan saya atas tema natal dan realitas obyektif, akan saya mencoba menjelaskan dibawah ini dalam beberapa bagian sub-bab:
Bagian I: Firman Dan Kebiasaan Natal umat GIDI
Firman selalu dikhotbakan kepada setiap umat, Termasuk umat gereja injili di Indonesia (GIDI). Sejak dibentuknya organisasi gereja GIDI oleh orang tua pada kala itu dasarnya adalah firman. “Apakah Yesus yang kamu bawah ini akan balik ke Amerika bersama-sama?” Tanya salah seorang Warga GIDI mula-mula kepada misionaris. Jawabnya, “Tidak! Yesus yang kami bawa ini, akan tinggal bersama-sama dengan kamu disini (Papua)”.
Hanya dengan kata sepangkal misionaris itu: “Akan tinggal bersama-sama Disini”, membuat orang tua harus “Percaya” untuk membuat honai GIDI disini. Sekali lagi, hanya dengan kata sepangkal itu, orang tua mendirikan honai GIDI disini. Akhirnya, GIDI itu tersebar luas dimana-mana; Di wilayah Yahukimo, Pegunungan Bintang, Yamo, Bogo dll. Ketika orang tua mendengarkan kata itu, imannya timbul, melalui dengar akan firman. Seperti dalam kitab Roma 10:17: “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.”
Faktanya, ketika orang tua telah menerima “Yesus Yang dibawah itu”, maka dengan sendirinya telah menerima segala bentuk aturan, rutinitas, termasuk Natal yang juga adalah kelahiran sang Yesus itu. Sejak menerima Yesus Yang juga adalah firman itu, natal pun diterima dan dapat dilakukan dengan meriah. Sebagai ucapan syukur atas lahirnya Yesus, setiap umat Kristen selalu merayakan natal dengan sukacita, termasuk umat GIDI. Kebiasaan perayaan natal terus-menerus dilakukan pada setiap bulan Desember.
Kebiasaan perayaan natal menjadi budaya kekristenan yang hidup. Kebudayaan perayaan natal merupakan momen penting bagi seluruh umat untuk merenungkan, merefleksikan, kontemplasikan dan juga meditasi. Momen natal memiliki penguatan nilai kebersamaan serta meningkatkan spiritualitas. Saat berlangsungnya peryaan Natal, disana tidak diperbolehkan untuk menciptakan keadaan cipta kondisi, melakukan peperangan, membereskan problematika, memusuhi sesama manusia. Telah lama diperbolehkan oleh umat adalah saling mengasihi (Yohanes,13:34, Roma, 10:12, Yoh, 15:12);– saling menghormati, Saling mempercayai sesama umat, saling mendidik dll.
Bagian II: Layakkah Tema Natal 2025 Bagi Umat GIDI?
Pertanyaannya poin bagian dua ini, harus dijawab secara objektif dengan kepala dingin, tentang apakah tema tersebut dapat diterima oleh setiap umat gereja injili di Indonesia (GIDI) ataukah hanya sebagian umat GIDI?
Tema yang diangkat tahun ini oleh gereja GIDI adalah “Natal Membawa Sukacita Besar”, Ayat ini terdapat dalam Injil Lukas, 1:10-11. Melihat dari teks, memang malaikat memberitahukan kepada gembala-gembala itu, bahwa hari itu, telah lahir Mesias. Sekarang, kita kontekstualisasikan berita itu pada bulan Desember tahun 2025 dengan sebuah pertanyaan ” Apakah gembala-gembala gereja injili di Indonesia benar-benar memberitahukan mesias itu telah lahir di dalam hati umat gereja GIDI? Untuk menjawab pertanyaan ini, mesti melihat dahulu kondisi objektif warga GIDI di dunia.
GIDI wilayah Indonesia barat, mungkin merayakan natal secara damai, bagian luar negeri pun sama, tetapi wilayah Papua, lebih khusus Yahukimo, Pegunungan Bintang dan puncak jaya yang merupakan induk dan jantung gereja GIDI sedang dalam kekhawatiran, kedinginan dalam pengungsian. Faktanya bahwa, tidak melakukan perayaan natal secara damai, kondisi terkini membuat warga GIDI tidak menerima firman itu secara baik.
Umat GIDI dalam posisi trauma. Mereka tidak mendengarkan firman. Iman tidak dapat timbul seperti Roma 10:17 tadi. Mengapa? Sebab sebagian besar umat ada dalam tekanan, ketakutan, kedinginan, kesakitan hingga ketidakberdayaan. Dalam posisi ini, bagaimana mungkin umat akan menerima firman? Atau, bagaimana mungkin bersukacita dan bergembira? Secara fakta, Takan mungkin ada.
Sebagian besar warga GIDI yang masih dalam posisi ini, tentu saja tema natal seperti ini tidak layak menurut hemat penulis sebagai pemuda GIDI. Melihat untuk layak atau tidaknya tema terlihat dari sini: Tema ini memang akan di jalankan sebagai kewajiban kekristenan, khususnya warga GIDI, namun secara khusus dari individu orang yang berada dalam posisi pengungsi memang sulit untuk memastikan tentang apakah firman itu diterima secara baik? mendengarkan firman secara serius? menempatkan firman dalam hati? atau menerima sukacita dan damai sejahtera secara benar? Justru tidak pernah ada pada hati mereka yang mendengarkan tema Khotbah itu dalam posisi pengungsian.
Pengungsi tidak menerima dan menempatkan firman itu dalam hati. Sebelum tema natal tahun 2025 muncul dalam hati pengungsi, dalam hatinya diisi dengan ketakutan, dalam kepala pengungsi diisi dengan rasa cemas, trauma berlebihan dan bisa saja sakit. Hal ini membuat umat GIDI menjauhi dari natal, kepercayaan tapi juga iman.
Bagian III: Fakta-fakta Empiris Umat GIDI Dalam Trauma
Khususnya di wilayah pelayanan gereja GIDI di Papua, tempat pertama menjadi fokus konflik militer adalah di wilayah Yamo, di Kabupaten Puncak Jaya. Kala itu, banyak sekali korban nyawa orang Papua, umat GIDI melayang; Ibu-ibu, Bapak-bapak, Anak-anak menjadi korban sasaran tembakan. Tembakan di wilayah ini dimulai dari tahun 2010. Di tahun ini, serangan terus digencarkan oleh pimpinan Goliath Tabuni. Hal ini, akhirnya Kompas pun melaporkan: “Kelompok kriminal bersenjata di Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua, menyergap mobil sipil yang terletak di 2 kilometer dari pos TNI, Rabu (21/7/2010) sore”. Walupun militer Indonesia melabelkan dengan kelompok kriminal Bersenjata (KKB), namun itulah sebenarnya bergerakan TPNPB.
Sejak Penulis berada di bangku sekolah menengah pertama (SMP), kata yang sering penulis dengar pada saat itu adalah pimpinan pertahanan TPNPB, panglima tertinggi, Goliath Tabuni. Dirinya tinggal dan melawan militer Indonesia dari distrik Tingginambut, Kabupaten puncak jaya pada 2010 silam. Gencatan senjata antara TPNPB X Puncak jaya versus Militer Indonesia menciptakan ketakutan besar-besaran atas warga jemaat GIDI di wilayah tersebut.
Dalam posisi tersebut, warga sipil/ atau umat GIDI telah mendapatkan tindakan intimidasi secara langsung/fisik, juga tetapi secara non fisik seperti teror melalui media sosial, telepon menggunakan ponsel Android, menitipkan suara melalui orang terdekat dan banyak lainnya. Pada situasi yang tidak memungkinkan ini, menjadi kendala besar kala itu bagi umat di Puncak Jaya merupakan Kekurangan jurnalis independen dari pihak-pihak terkait. Posisi ini membuat tidak ada media yang benar-benar mengupdate informasi pengungsi dan korban. Informasi yang telah ada sejak lama adalah informasi kelompok kriminal Bersenjata.
Selanjutnya, operasi militer di wilayah pegunungan bintang. Menurut laporan Jubi pada 28 November 2024 terdapat sekitar 707 Masyarakat sipil atau umat yang mengungsi. Dari sekian banyak pengungsi merupakan umat gereja injili di Indonesia (GIDI). Menurut laporan Timika Express, 19 juni 2025, sekitar 8 orang masyarakat sipil yang telah meninggal dunia, didalamnya ibu-ibu, anak-anak juga pemuda dan bapak-bapak.
Selain manusia, Ada juga melaporkan tentang pos militer TNI di halaman Gereja GIDI Efesus Safe, Distrik Oksop, Pegunungan Bintang, yang menjadi target serangan oleh TPNPB-OPM pada Mei 2025. Hal yang serupa, terjadi juga di Yahukimo. Penurunan Bom, Bazoka, Granat di jalan gunung. Hal ini membuat banyak warga GIDI telah mengungsi. Selain itu, dua gereja GIDI tidak beribadah; Gereja GIDI Apostolos dan Aiton. Kedua gereja telah berada di jalan gunung tempat dimana gencatan senjata dilakukan oleh militer Indonesia dan TPNPB.
Melihat secara fakta objektif di jalan gunung, lebih banyak dihuni oleh umat warga GIDI. Warga GIDI yang ada di jalan gunung tidak hanya di huni kedua jemaat (apostolos dan Aiton), namun umat yang beribadah di jemaat lain di Dekai kota pun ada. Peristiwa pengungsian di jalan gunung Dekai ini, umat tidak berbuat apa-apa, tidak pergi kebun, tidak mengendarai sepeda motor pada tengah malam, seluruh aktivitas di perhentian dipaksa, hingga sampai pengungsi yang lain masih di hutan.
Dalam kontak tembak antara TPNPB versus Militer Indonesia telah mengorbankan beberapa masyarakat sipil, diantaranya adalah Atis Sam, Anak SMA kelas XII, kemudian Agus Magayang (49) pada 23/12/2025 melalui pemasangan Bom aktif di kali teh. Hanya pembangunan pos militer saja menjadi takut, apalagi peluru dan bom langsung tembus pada masyarakat sipil. Firman Tuhan bilang dalam “Matius,6:21 Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada”. Harta kekayaan umat GIDI di wilayah operasi militer telah di sapu bersih. Dalam keadaan seperti ini, memang umat GIDI tidak tenang untuk menghadapi situasi. Hendak mau bilang damai dan sukacita, secara nalar tidak mungkin ada di benak para pengungsi, justru tema seperti itu meninabobokan umat agar tidak melawan.
Bagian IV: Solusi dan Usulan
Dari semua rentetan peristiwa pengungsian pada umat GIDI, penulis memiliki solusi sebagai usulan akan bagaimana gereja GIDI membicarakan kepentingan bangsa, mengangkat tema sentral yang bisa mendorong umat GIDI untuk melihat segala problematika yang akan menghantam umat. Diantara adalah:
Pertama, Pada tahun 1960-an adalah tahun dimana gereja GIDI itu memulai Misi wilayah pegungan papua. Sejarah in menuntut gereja GIDI untuk menulis dan membicarakan sejarah bangsa ini. Karena, gereja GIDI merupakan tempat yang dimana belajar sejarah papua selain belajar firman Tuhan.
Kedua, Tema umum dalam konteks natal, diharapkan agar dapat dikontekstualkan. Misalnya tema tahun 2025 merupakan “Natal Membawa Sukacita Besar”, maka usulan saya sebagai penulis adalah:”Apakah Natal benar-benar Membawa Sukacita Besar?”. Saya sebagai penulis melihat, bahwa ketika tema ini dibuat dalam pertanyaan, maka semua umat GIDI akan bicara bebas dimana saja, baik dalam khotbah dua arah, diskusi dan seminar. Akan tetapi, ketika tema ini tidak dalam bentuk pertanyaan, dan hanya hanya menjadi kalimat, maka dengan sendirinya tema tersebut hanya akan dibicarakan oleh pendeta atau hamba Tuhan saja.
Ketiga, Gereja GIDI, baik dari pusat maupun wilayah, mesti memiliki Tim khusus untuk melihat situasi Umat GIDI. Tim ini akan mengkontrol untuk mengambil data, mengolah data dan mempertunjukkan data itu kepada Gereja-Gereja dunia bahwa hari ini umat GIDI sedang dalam pengungsian. Keempat, kordinator hukum dan HAM di pusat, jika ada peristiwa kematian akibat tembak menembak yang sifatnya pelanggaran HAM, maka diwajibkan untuk mendorong dankawal kasus dari awal hingga akhir, artinya keadilan itu harus benar-benar terjadi atas umat GIDI.
Kelima, Gereja GIDI dan umat GIDI mesti membicarakan tentang persoalan perampasan tanah adat dengan sembarangan oleh negara. Hal ini harus dan diwajibkan untuk dilakukan, karena manusia atau umat GIDI membutuhkan rohani dan jasmani. Keenam, gereja harus membangun solidaritas baik di dalam negeri maupun diluar negeri.
Kesimpulan
GIDI merupakan simbol persatuan iman. Rumah bagi orang-orang yang kehilangan akan suaranya. Wadah yang Tuhan sediakan untuk menolak segala bentuk intimidasi, kejahatan kemanusia dan rasisme structural. Keselamatan akan kehidupan di akirat, berawal dari keselamat akan kehidupan dari ancaman kolonialisme. Karena itu, gereja diwajibkan untuk berpihak pada umat yang menderita atas kehidupanya yang terus dicuri oleh kapitaliskapitalis dunia yang haus akan kekuasaan. [*].
)* Penulis adalah Mantan Ketua Majelis GIDI Samari Yogyakarta, 2018–2023.










