Oleh: Yermias Edowai
Di atas tanah yang dibasuh hujan rimba dan dijaga leluhur, lahirlah seorang anak Papua yang kelak menorehkan jejak panjang dalam sejarah perlawanan, pembangunan, dan kepemimpinan. Nama itu kini menjadi gema dalam duka dan pengharapan: Lukas Enembe. Ia bukan sekadar mantan Gubernur Papua, melainkan simbol perlawanan yang berakar dalam suara rakyat yang menggema dari lembah hingga lorong kekuasaan.
Kepergiannya menyisakan luka yang tak mudah disembuhkan. Bukan hanya karena ia telah tiada, tetapi karena semangat keberpihakan yang ia tanamkan kini berada di ambang pengabaian. Lukas Enembe lahir di Kembu, Distrik Mamit, Kabupaten Tolikara jantung Pegunungan Tengah Papua. Ia bukan berasal dari keluarga elite atau bangsawan birokrasi. Ia adalah anak kampung, tumbuh dalam keterbatasan, ditempa oleh kerasnya hidup di wilayah yang lama dianggap pinggiran oleh negara.
Namun, dari rahim kemiskinan dan marginalisasi itulah muncul keteguhan karakter. Pendidikan menjadi jalannya menembus sekat-sekat ketidakadilan. Lukas mengenyam pendidikan tinggi, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Meski begitu, akarnya tetap tertanam dalam adat dan budaya. Ia adalah figur langka: terpelajar namun membumi, birokrat tetapi tetap anak adat.
Dari Bupati ke Gubernur
Karier politik Lukas dimulai dari jabatan Wakil Bupati Puncak Jaya, lalu menjadi Bupati, hingga akhirnya dipercaya menjadi Gubernur Papua dua periode. Bagi Lukas, jabatan bukan tujuan akhir melainkan sarana perjuangan. Ia memanfaatkan posisinya untuk memperbaiki sistem dari dalam. Selama satu dekade memimpin Papua, kebijakannya menitikberatkan pada perubahan struktural: pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar. Lukas dikenal turun langsung ke kampung-kampung, menyapa masyarakat, dan menyimak keluhan dengan penuh empati.
Lukas tidak mengukur pembangunan dengan beton dan angka semata. Ia menyadari bahwa akar masalah Papua adalah ketimpangan struktural dan keterputusan wilayah. Karena itu, salah satu program strategisnya adalah Beasiswa Unggulan Papua, yang mengirim ribuan anak muda Papua ke luar negeri. Ia percaya, anak-anak inilah kelak menjadi pemimpin visioner dan bermartabat. Ia juga membuka akses jalan ke wilayah terisolasi, membangun sekolah dan fasilitas kesehatan, namun tetap mengutamakan pendekatan humanistik dan kearifan lokal. Pembangunan baginya adalah soal martabat dan pemberdayaan.
Kritis terhadap Pemerintah Pusat
Lukas bukan pemimpin yang patuh tanpa syarat. Ia kerap mengkritik kebijakan pusat yang dianggap tidak berpihak, seperti pendekatan militeristik, pemekaran wilayah tanpa konsultasi adat, serta implementasi Otonomi Khusus yang jauh dari semangat keadilan. Penetapan Lukas sebagai tersangka korupsi oleh KPK menjadi titik balik. Publik Papua terbelah: antara yang percaya pada proses hukum, dan yang melihatnya sebagai pembungkaman politik terhadap tokoh populer yang kritis terhadap pusat.
Dalam tahanan, Lukas jatuh sakit. Suaranya dibungkam, tubuhnya melemah. Ia wafat dalam situasi yang menimbulkan tanya dan luka mendalam. Lukas Enembe meninggalkan warisan yang melampaui catatan birokrasi: nilai keberanian, keberpihakan, dan kecintaan pada rakyat. Ia meletakkan pondasi untuk generasi Papua masa depan dari ruang kelas, hingga lorong-lorong perlawanan.
Warisan itu hidup dalam siswa Papua yang belajar di luar negeri, dalam pasar mama-mama yang kini lebih tertata, dalam sekolah dan klinik yang dulu hanya mimpi. Lukas adalah katalis kesadaran bahwa Papua harus dibangun oleh dan untuk orang Papua. Ia mengajarkan bahwa kesetiaan pada rakyat lebih penting daripada kenyamanan kekuasaan.
Risiko Amnesia Sejarah
Namun sejarah mudah dilupakan. Di tengah dinamika pasca-kepergiannya, ada risiko besar: Papua bisa kehilangan arah. Pemimpin baru bisa tak lagi berpihak, dan kebijakan menjadi formalitas. Mengenang Lukas Enembe bukan untuk mengkultuskan individu, tetapi menjaga api perjuangan tetap menyala. Kita pernah punya pemimpin berani itu harus menjadi pengingat bahwa perubahan bisa dilakukan dari dalam, selama dilandasi hati nurani.
Tantangan ke depan adalah regenerasi kepemimpinan. Siapa yang akan melanjutkan jejak Lukas? Generasi muda Papua, termasuk alumni beasiswa, aktivis, dan intelektual, harus bersatu. Pemuda Papua memikul tanggung jawab sejarah. Mereka harus melanjutkan perjuangan, bukan tunduk pada narasi dari luar. Lukas telah menunjukkan jalan tugas kita kini menjaganya tetap terbuka.
Lukas Enembe mungkin telah pergi, namun jejaknya abadi di tanah, di hati, dan dalam semangat rakyat Papua. Kepergiannya bukan akhir, tetapi panggilan untuk tetap berpihak. Papua sedang diawasi dunia. Tanpa pemimpin yang berpihak, proyek nasional hanya akan jadi alat kolonisasi baru. Maka, mengenang Lukas adalah menjaga Papua tetap manusiawi. Ia adalah simbol keberanian, dan warisan itu kini ada di tangan kita semua. [*]
)*Mahasiswa Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua