KUPANG; Kursi Panjang Dok 2 Jayapura: Saksi Bisu yang Terlupakan

oleh -834 Dilihat
Kursi panjang di tepi Pantai Dok 2 Jayapura berdiri membisu di antara debur ombak dan hiruk-pikuk jalan raya. Terletak tepat di depan Kantor Gubernur Papua, kursi beton ini menjadi ruang jeda bagi warga dari berbagai lapisan anak-anak, remaja, orang tua yang datang sekadar duduk, merenung, atau memandang cakrawala. Kini, kehadirannya nyaris luput dari perhatian, dihiasi retakan, coretan, dan sampah yang berserakan. Di balik kesederhanaannya, kursi ini menyimpan denyut kehidupan kota dan potensi ruang publik yang lebih manusiawi.

Oleh: Yermias Edowai

Di jantung Kota Jayapura, tepat di Jl. Soa Siu, Mandala, Kecamatan Jayapura Utara, terbentang sebuah kursi beton panjang di Pantai Dok 2. Letaknya strategis, menghadap langsung ke Samudera Pasifik, persis di depan kantor megah Gubernur Papua. Sekilas tampak biasa tanpa hiasan, tanpa plakat, tanpa identitas. Namun dari dudukannya yang sunyi, ia menyimpan kisah lebih dalam daripada gedung-gedung tinggi di sekitarnya.

banner 728x90

Kursi ini bukan sekadar tempat duduk. Ia menjadi ruang jeda di tengah bising kota, sebuah penanda diam dalam narasi urban yang terus bergerak. Terjepit antara lalu lintas dan debur laut, kursi ini menawarkan ruang untuk merenung: tentang jauhnya dunia, dekatnya alam, dan arti menjadi manusia di tengah pembangunan yang kerap melupakan rasa.

Ia tak tercatat dalam katalog wisata, tak terlindungi status budaya, dan tak pernah disebut dalam agenda promosi kota. Namun, kursi ini telah menjadi denyut kecil Jayapura menyaksikan pergeseran zaman dari becak ke mobil mewah, dari pasar tradisional ke mal berhawa dingin. Ia tetap berdiri, tak menua, tak menuntut.

Setiap sore, kursi ini menjadi titik temu lintas generasi dan latar belakang. Anak-anak berseragam lusuh menyantap gorengan, remaja berbagi tawa tanpa agenda, pasangan muda berdiam dalam kebersamaan, hingga orang tua menatap senja mencari angin segar. Tidak ada batas usia. Tidak ada syarat ekonomi. Tak perlu membeli apa pun. Inilah ruang publik paling demokratis di kota ini tempat semua diterima.

Namun hari ini, kursi itu mulai terabaikan. Retak-retak menghiasi permukaannya. Cat mengelupas. Sampah berserakan di bawah dan sekitarnya. Aroma laut yang dulu menenangkan kini berganti bau limbah. Ia nyaris tak terlihat dalam sorotan pembangunan kota yang lebih sibuk memperindah taman baru, trotoar rapi, dan jembatan megah. Tapi tak satu pun dari semua itu mampu menggantikan kehangatan sederhana yang pernah ia tawarkan.

Kursi panjang ini sejatinya adalah warisan hidup. Bukan properti, bukan komoditas. Ia ruang yang tumbuh bersama warga. Di sinilah kota seharusnya dimulai bukan dari menara beton, tetapi dari ruang-ruang yang mengerti perasaan warganya.

Ia memiliki potensi menjadi ikon Jayapura. Bukan dalam pengertian wisata viral, tetapi sebagai simbol kota yang manusiawi. Pemerintah atau komunitas bisa membersihkannya, mengecat ulang, menambahkan pencahayaan lembut, tanaman hijau, atau bahkan plakat kecil yang memberi penghormatan. Bukan formalitas, tapi bentuk perawatan dan pengakuan.

Bayangkan jika kursi ini dijadikan ruang budaya terbuka: panggung kecil untuk musik akustik, puisi, dongeng rakyat. Sekolah bisa menjadikannya ruang kelas terbuka. Komunitas bisa merayakan keberagaman Jayapura di sana. Sebuah ruang yang tidak hanya fisik, tetapi juga emosional dan sosial.

Terlalu lama kota dipahami sebagai deretan beton, jalan, dan lampu. Padahal kota sejati adalah tempat di mana orang merasa dilihat, diterima, dan berarti. Kursi panjang Dok 2 adalah pengingat bahwa dalam dunia yang kian transaksional, masih ada ruang di mana manusia cukup hadir saja untuk merasa utuh.

Jika suatu hari kursi ini hilang dihancurkan, diganti, atau dipindahkan barangkali tak akan ada berita utama. Tapi akan ada kekosongan. Karena kursi ini bukan sekadar benda; ia adalah rasa. Ia adalah cermin Jayapura yang sesungguhnya: manusiawi, sederhana, dan penuh kemungkinan.

Merawatnya bukan soal estetika. Ini tentang merawat denyut kota. Tentang menjaga ruang batin warganya tetap hidup. Jayapura tidak hanya butuh pembangunan fisik. Ia juga butuh ruang untuk diam. Dan kursi panjang ini, sesederhana apapun wujudnya, adalah bagian dari perawatan itu. [*]

)* Penulis adalah Mahasiswa Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.