Roni Beroperay; Membangun Papua dari Kelas, Bukan Hanya dari Lapangan

oleh -2102 Dilihat
Kolase perjalanan Roni Esar Feliks Beroperay dari lapangan hijau ke dunia akademik. (Atas kiri): Roni di ruang dosen, kini mengabdi sebagai pengajar di Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Cenderawasih. (Atas kanan): Saat membela Persipura Jayapura di Liga Indonesia, menunjukkan performa sebagai bek kanan andalan. (Bawah kiri): Roni dalam seragam Persiram Raja Ampat, salah satu klub yang pernah ia perkuat. (Bawah kanan): Roni terlibat langsung dalam pelatihan atlet muda di Papua, membawa pendekatan ilmiah ke dunia olahraga lokal. (Foto. Istimewa)

Oleh: Yermias Edowai

Gemuruh stadion pernah menjadi detak nadinya. Derap langkah di atas rumput, sorakan penonton, dan peluit wasit adalah bahasa hidupnya. Namun hari ini, Roni Esar Feliks Beroperay memilih jalur baru. Ia masih tampil untuk Papua, tapi bukan lagi di lapangan hijau, melainkan di ruang kuliah. Tak lagi mengandalkan sepatu bola, melainkan pena, pointer, dan jurnal ilmiah. Di balik meja dosen, Roni memainkan strategi baru: membebaskan Papua lewat ilmu.

banner 728x90

Nama Roni pernah bergema sebagai bek kanan cepat dan tangguh. Persiram Raja Ampat, Persipura Jayapura, Barito Putera, PSM Makassar, hingga Persikabo pernah mencatat jasanya. Ia bagian dari sejarah emas sepak bola Papua. Kini, ia menulis bab baru: tentang ilmu pengetahuan, pendidikan, dan pembebasan melalui pikiran. Ia menolak narasi sempit yang hanya menempatkan anak Papua di lapangan atau panggung seni. Roni membuka jalan lain jalan akademik.

Lahir di Biak Numfor pada 25 Februari 1992, bakat Roni terasah sejak belia. Program Deportivo Indonesia membawanya ke Uruguay, mengasah teknik dan mental. Ia memperkuat tim nasional Indonesia, termasuk mencetak gol di SEA Games ke-13 dan bermain di laga internasional melawan Papua Nugini di Piala MNC 2013 disaksikan jutaan mata. Namun, di balik sorotan kamera, Roni telah menyusun transisi ke dunia yang lebih abadi: dunia pendidikan.

Berbeda dari banyak atlet yang bergantung pada sorotan hingga tenaga habis, Roni sadar bahwa karier di lapangan pendek. Di saat rekan-rekannya mengejar kontrak dan popularitas, ia memilih masuk Universitas Cenderawasih. Pilihannya tak biasa: Fisika. Ilmu yang menuntut logika dan ketelitian. Ia menyelesaikan gelar sarjana sains, lalu melanjutkan Magister Fisiologi Olahraga di Universitas Udayana, menggali lebih dalam tentang anatomi tubuh, nutrisi, dan sport science.

Kini, Roni adalah dosen di Fakultas Ilmu Keolahragaan UNCEN. Ia bukan sekadar pengajar, tapi juga penginspirasi. Ia membawa pengalaman nyata ke dalam teori. Ia tahu bagaimana rasanya bermain di bawah tekanan, latihan di tengah hujan, dan bangkit dari cedera. Di kelas, ia mengajarkan bahwa performa atletik bukan hanya soal latihan keras, tapi juga soal sains, riset, dan strategi.

Dalam dunia sepak bola, transisi adalah momen kritis: dari bertahan ke menyerang, dari junior ke senior. Namun transisi dari atlet ke akademisi jauh lebih kompleks. Banyak mantan pemain kehilangan arah begitu peluit terakhir dibunyikan. Tapi Roni menolak itu. Ia membaca buku di sela latihan, menghadiri kuliah di tengah jadwal padat, dan menulis makalah saat banyak orang memilih istirahat.

Ia hadir membawa paradigma baru: bahwa atlet bukan hanya soal otot, tapi juga otak. Bahwa anak muda Papua bisa menjadi pelatih berbasis data, peneliti performa, bahkan arsitek kebijakan olahraga. Di tengah stereotip pemuda Papua yang dibatasi pada peran fisik, ia memberi pesan kuat bahwa potensi anak Papua tak boleh dipersempit.

Roni meyakini, mencintai Papua tidak hanya berarti berjuang di lapangan. Justru lewat pendidikan, ia merawat tanah ini secara strategis. Di kampus, ia mengembangkan pelatihan berbasis sains, mendorong mahasiswa menjadi pelatih bersertifikat dan analis performa yang melek data. Ia sedang membangun ekosistem keolahragaan Papua yang ilmiah, terukur, dan berkelanjutan.

Dalam wawancara dengan media tomei.id, Roni menekankan pentingnya data dalam dunia atletik. VO2 max, nutrisi, biometrik, dan pemulihan tak bisa lagi hanya mengandalkan intuisi. “Anak Papua punya bakat besar, tapi kita butuh teknologi untuk menunjangnya,” ujar Roni.

Visinya besar: menjadikan Papua bukan hanya sebagai gudang talenta, tapi juga pusat pengembangan ilmu olahraga. Papua bukan hanya penghasil pemain, tapi juga ilmuwan, pelatih, dan pencetus strategi olahraga nasional.

Ia kini menganalisis performa, membimbing mahasiswa, dan menulis riset tentang pengembangan atlet muda berbasis lokalitas. Ia percaya bahwa riset harus kontekstual mengakar pada budaya, tubuh, dan tantangan khas Papua. Ia ingin mencetak generasi baru yang tak hanya bermain, tapi juga berpikir, menulis, dan menciptakan sistem.

Roni tak tenggelam dalam nostalgia trofi. Ia memilih identitas baru: pendidik, peneliti, dan pembentuk kebijakan. Ia membuktikan bahwa anak muda Papua tak hanya bersinar di lapangan, tapi juga di ruang kuliah. Ia membuka jalan bahwa ada “lapangan hijau” lain kampus, laboratorium, dan forum akademik yang tak kalah penting untuk masa depan.

Strateginya bukan sekadar pilihan pribadi, melainkan tawaran kolektif: bahwa sudah saatnya Papua dikenal bukan hanya karena talenta, tapi juga karena kecerdasan. Bahwa kemenangan sejati bukan tentang mengangkat trofi, tapi membangun kurikulum, institusi, dan sistem yang akan menopang generasi berikutnya.

Roni menjadi contoh konkret bagi pemerintah, lembaga olahraga, dan institusi pendidikan: bahwa investasi pada pendidikan atlet bukan pelarian, tapi strategi utama. Ia membuktikan bahwa pendekatan multidisipliner—olahraga, sains, budaya lokal—dapat melahirkan solusi nyata bagi pembangunan Papua.

Bagi anak muda Papua yang masih mencari arah, kisah Roni adalah cermin yang jernih. Ia tidak melarang bermain bola—ia hanya mengajak berpikir jauh ke depan, tentang masa depan setelah peluit panjang dibunyikan.

Kini, dari rumput hijau ke mimbar akademik, Roni Beroperay sedang memainkan pertandingan paling penting dalam hidupnya: melawan kebodohan, kemalasan berpikir, dan sistem yang sering menyingkirkan ilmu. Dalam pertandingan ini, ia bukan hanya pemain. Ia adalah pelatih, wasit, dan arsitek taktik.

Ia membuktikan bahwa keberanian melawan arus bisa membuka jalan baru. Bahwa seorang bek kanan bisa menjadi pelopor pemikiran. Bahwa mencintai Papua bisa berarti membangun kampus, bukan hanya mencetak gol.

Di hadapan mahasiswa hari ini, Roni tak sekadar memberi kuliah. Ia menyalakan obor perubahan. Ia menunjukkan bahwa menjadi Papua bukan hanya soal garis keturunan, tapi soal gagasan, strategi, dan komitmen jangka panjang.

“Sepak bola tetap saya cintai. Tapi cinta itu lebih kuat kalau dibawa ke ruang kelas,” tuturnya suatu ketika, dengan senyum tenang. Kalimat sederhana itu mengandung pesan dalam: bahwa sejarah tidak hanya ditulis oleh mereka yang menang di lapangan, tapi juga oleh mereka yang membangun panggung untuk generasi berikutnya.

Roni Beroperay telah memilih panggung itu. Dan dari sana, ia sedang memainkan pertandingan paling strategis dalam hidupnya. [*]

)* Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Cenderawasih, Jayapura.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.