Di tengah zaman yang bergerak cepat, ketika dunia ramai oleh ambisi dan hiruk-pikuk digital, seorang anak muda dari Pegunungan Tengah Papua memilih diam. Diam bukan karena tak mampu bicara, melainkan karena ia percaya: dalam keheningan, manusia bisa mendengar yang tak terucapkan.
Dialah Manasye Edowai, anak tanah Deiyai, yang memegang pensil bukan sekadar alat, tapi jembatan–dari wajah menuju jiwa, dari bentuk menuju makna, dari arsir menuju doa dan harapan.
Ketika remaja sezamannya larut dalam layar dan visual digital, Manasye justru tenggelam dalam putihnya kertas dan hitamnya grafit. Ia tidak mengejar sorot lampu atau panggung selebritas, melainkan mencari kejujuran yang tersembunyi di garis wajah dan tatapan mata.
“Bagi saya, menggambar wajah bukan sekadar menciptakan kemiripan. Saya ingin menangkap perasaan, suasana hati yang tak selalu bisa diucapkan. Saat menggambar, saya belajar mendengar wajah itu bercerita,” katanya dalam satu percakapan penuh makna.
Manasye lahir pada 2 Mei 2002 di Abega, sebuah dusun kecil di jantung Kabupaten Deiyai, Papua Tengah. Anak kedua dari dua bersaudara, ia tumbuh dalam keluarga petani yang bersahaja, hidup dari kebun, hutan, dan danau. Masa kecilnya ditempa oleh kesunyian sarat makna: kabut lembah, angin Danau Tigi, dan wajah-wajah pekerja keras yang mengajarkannya tentang keteguhan hidup.
Ia memulai pendidikannya di SD YPPGI Maranatha Onago, lalu melanjutkan ke SMP Negeri 1 Wagete. Dari sana, ia mulai menyerap sunyi sebagai guru dan mengamati dunia dengan ketelitian seorang perupa. Kalender bekas menjadi kanvas pertamanya, pensil sekolah menjadi kuas, dan wajah orang terdekat menjadi inspirasi awal.
Sketsa dari Keheningan
Jejak seni Manasye menemukan arah saat ia bersekolah di SMA Negeri 3 Buper Waena, Jayapura. Dunia seni menjelma bukan hanya pelarian atau hobi, tapi panggilan jiwa. Ia belajar secara otodidak–melalui gawai, video tutorial, dan semangat yang tak pernah padam.
“Saya belajar dari YouTube, dari orang-orang yang bahkan tidak saya kenal. Tapi rasanya seperti duduk di kelas mereka. Malam-malam saya habiskan untuk mengulang kesalahan demi kesalahan. Karena saya percaya, hanya tangan yang sabar bisa menggambar dengan jujur”.
Karyanya hidup bukan karena teknik semata, tapi karena pendekatan spiritual dan penghormatannya terhadap manusia. Ia tidak menggambar untuk memamerkan keahlian, melainkan untuk mendengarkan. Dua Dunia, Satu TujuanKini, sebagai mahasiswa Teknik Sipil di Universitas Cenderawasih, Manasye hidup dalam dua dunia: logika dan struktur, serta rasa dan ekspresi. Ia menjalaninya dengan penuh percaya diri.
“Saya ingin membuktikan bahwa anak Papua bisa hidup dalam dua dunia–rasional dan emosional. Teknik sipil mengajari saya membangun struktur, seni membantu saya membangun empati.”
Lebih dari 150 sketsa wajah telah ia hasilkan: tokoh perjuangan, akademisi, mahasiswa, hingga orang-orang sederhana yang membawa cerita. Ia membingkai sendiri karyanya dan membeli alat dari hasil pesanan–dengan tarif seikhlasnya.
“Saya tidak mematok harga. Biasanya saya serahkan ke pemesan. Uangnya saya pakai untuk beli alat, bayar UKT, atau bantu teman yang kesulitan.”
Dari Sketsa Pribadi Menuju Gerakan Kolektif
Cita-citanya tidak berhenti di dirinya sendiri. Ia menggagas Komunitas Lukis Anak Papua, ruang alternatif bagi anak-anak muda pecinta seni. Lewat grup diskusi daring, mereka berbagi ilmu, saling koreksi, dan tumbuh bersama.
“Saya tidak ingin mereka jadi seniman. Saya ingin mereka mengenal diri. Kalau bisa menggambar wajah orang lain, mereka bisa belajar merasakan dan memahami. Dari situ lahir empati.”
Mimpi yang Terus Dirajut
Impian terbesarnya adalah mendirikan Galeri Wajah Papua–sebuah ruang seni, fisik atau digital, yang memajang wajah-wajah Papua: dari petani hingga pendeta, pelajar hingga pejuang noken.
“Wajah adalah arsip paling jujur manusia. Saya ingin setiap wajah Papua dilihat dan dihargai. Karena di balik kerutan ada sejarah, di balik tatapan ada harapan.”
Namun, keterbatasan ekonomi membuat langkahnya sering tertatih. Alat gambar, tugas kampus, biaya hidup–semuanya datang bersamaan. Ia bermimpi ada sponsor atau dukungan yang memungkinkan langkahnya lebih jauh.
Menulis Masa Depan dengan Pensil
Manasye Edowai bukan sekadar seniman. Ia adalah penjaga empati, perajut identitas, dan anak Papua yang menulis masa depannya lewat pensil. Dari sunyi Deiyai ke lorong kampus Jayapura, ia hadir sebagai pengingat: keindahan sejati sering tumbuh dari kesederhanaan, dari keheningan, dari niat yang tulus.
Dan kelak, bila Galeri Wajah Papua itu berdiri, di antara ratusan potret yang terbingkai, akan ada satu wajah yang tak boleh dilupakan: wajah dirinya sendiri–pelukis jiwa yang menggambar dengan hati, menatap sesama dengan kasih, dan merawat cita-cita dari garis ke garis, dari wajah ke wajah.
Kisah Manasye Edowai bukan sekadar narasi tentang seorang anak muda yang pandai menggambar. Ia adalah cermin dari generasi Papua yang perlahan bangkit, bukan dengan teriakan, tetapi dengan ketekunan, kesenyapan, dan ketulusan. Lewat sketsa-sketsanya, Manasye menghadirkan wajah-wajah yang selama ini jarang terlihat: wajah orang biasa yang menyimpan cerita luar biasa.
Dalam setiap guratan pensilnya, ada semangat untuk merawat identitas, menumbuhkan empati, dan menyuarakan harapan yang lama terpendam. Ia membuktikan bahwa seni bisa menjadi alat perjuangan yang lembut namun kuat, yang mampu membentuk kesadaran kolektif sekaligus menjadi ruang ekspresi yang manusiawi.
Dari Deiyai yang sunyi hingga kampus Jayapura yang riuh, Manasye menunjukkan bahwa anak Papua punya suara dan ia memilih untuk menyampaikannya lewat sketsa. Melalui karyanya, kita diajak untuk membaca bukan hanya wajah, tetapi juga jiwa: siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita ingin melangkah sebagai sebuah bangsa. (*)