* Siorus Ewainaibi Degei
Pada bagian pertama tulisan ini kita sudah memahami sedikit gambaran tentang tritugas kristus sebagai konsekuensi penerimaan sakramen inisiasi (baptis, ekaristi dan krisma), kita juga sudah sekilas memandang Yesus sebagai martir dan upaya kriminalisasi makar perkara Yesus juga beberapa refleksi seputar topik-topik tersebut. Pada bagian yang kedua ini kita akan membahas dua topik, yaitu ihwal konsep Yesus Papua itu sendiri, dan penutup. Kami juga akan mengutip kotbah menggugah dari Pastor Dr. Bernardus Wos, Baru OSA yang menjadi salah satu kotbah paling kontekstual, aktual, dan meneguhkan pada momen perayaan paskah tahun ini (2025).
Yesus Papua?
Apakah peristiwa penyaliban Yesus itu memang rencana Allah atas hasil konspirasi kolonial romawi dan kaum sahedrin? Masakah Allah memakai kolonial romawi dan kaum sahedrin sebagai sarana penjebol misi keselamatan Allah? Jika demikian, apakah kiprah konspirasi kolonial romawi dan sahedrin (kubu aristokrat; golongan atas) bisa diajungi jempol secara iman? Yang jelas inilah bagian menarik dari misteri karya keselamatan Allah. Karena selain aktor protagonis (Yesus), Allah juga memakai aktor antagonis (kaum aristokrat), dan tritagonis (prajurit dan umat Israel) dalam ‘film’ karya keselamatan Allah itu sendiri dalam sejarah kehidupan Yesus Kristus, puncak wahyu Allah.
Misteri Paskah memanggil nurani jiwa beriman untuk meneladani Yesus secara total dan koyal. Yesus menjadi seperti yang kita imani saat ini bukan karena mijizat-mujizat-Nya, bukan karena kotbah-kotbah-Nya, bukan pula karena pegetahuan-Nya seputar tradisi, hukum dan naskah-naskah suci, kita Yesus karena misteri paskah-Nya. Yesus mengosongkan diri-Nya (knosis), aspek keilahian Ia tangguhkan, Yesus benar-benar tampil kosong sebagai lembu jantan yang siap dieksekusi demi menebus salah dan dosa dunia.
Setiap bangsa besar sudah membuktikan dalam peredaran sejarah bahwa akan selalu hadir mesias-mesiaa baru, kristus-kristus kecil yang tampil sebagai pejuang, pembebas dan penyelamat bangsanya dari belenggu maut penjajah dunia. Awalnya dalam kisah umat Israel perjanjian lama, bangkit Musa dan Harun, kemudian estafet itu diteruskan oleh Yosua dan para hakim dari ke-12 suku Israel. Bangsa Israel bebas dari perbudakkan Mesir, berkat urapan Allah atas Musa, Harun dan Yosua. Di Amerika Latin, kita menjumpai nama-nama besar yang gigih membebaskan dan menyelamatkan bangsa dan tanah airnya dari kuasa kegelapan yang bernama rezim diktator, sebut saja nama seperti Ceh Guevara, Fidel Castro, Santo Oscar Romero dan lainnya. Di India ada nama Mohandes Mahatmah Gandhi, yang penuh kharismatik. Gandhi membebaskan India dari hegemoni kapitalisme dan globalisme Inggris. Di Afrika Selatan ada nama seperti Nelson Mandela dan Desmond Tutu, keduanya tampil sebagai nabi, imam raja dan martir bagi bangsa dan negeri tercinta, Afrika yang terlabirin dalam rasisme sistemik eropa (apartheid). Di Indonesia sendiri ada nama seperti Ir. Soekarno, Mohamad Hatta, Mgr. Albertus Soegija Pranata Sj, dan lainnya. Mereka membebaskan bangsa Indonesia dari rantai rakasasa yang bernama penejajahan Belanda. Ke Timor Leste, ada nama Xanana Gusmao, Ramos Orta, Mgr. Belo dan lainnya. Mereka menyelamatkan manusia dan tanah Timor Leste dari hegemoni penjajahan Indonesia. Nah sekarang kita di Papua. Adakah tokoh yang bisa kita maknai sebagai Yesus Papua, Musa Papua, Yosua Papua, Daud Papua? Mungkinkah akan bangkit sosok Yesus, Musa, dan Yosua Papua? Apakah harus kita menunggu atau mulai tampil layaknya Yesus, Musa dan Yosua Papua?
Penutup: Menjadi Yesus bagi Papua Damai
Mengakhiri bagian ini saya hendak mengutip sepenggal homili dari Uskup Terpilih Keuskupan Timika, Pastor Dr. Bernardus Bofitwos Baru, OSA dalam Perayaan Misa Jumat Agung, di Katedral Tiga Raja Timikaz pada Jumat, 18 April 2025 (https://www.youtube.com/live/M7dAvX60Xfs?si=tCEvir4OA6ld6JsM&sfnsn=wiwspwa, LIVE-IBADAH JUMAT AGUNG, PAROKI KATEDRAL TIGA RAJA TIMIKA):
“Selamat sore, bapa-ibu, sudara, saudari. Bacaan kisah sengsara hari ini direnungkan oleh seorang Pastor yang bernama Gabriele Antonelli CP dengan satu tema atau judul ‘Memoria Pasionis, Spiritualitas untuk Masa Kini’. Pastor Antonelli mengambil suatu renungan ini dari tulisan seorang teolog Jepang yang bernama Kazoh Kitamori. Ia (Kitamori) menulis sebuah teologi yang sangat terkenal, ‘Theology of The Pain of God’, teologi tentang penderitaan Allah. Yang mau dikatakan, Kitamori merenungkan karena pada saat itu Jepang hancur, akibat perang dunia II oleh sekutu Amerika dan dia adalah seorang buddha yang menjadi seorang kristen. Melihat situasi dia merenungkan bahwa Tuhan ambil bagian dalam penderitaan manusia, Tuhan sendiri adalah yang menderita. Dia menulis adalah kasih. Kasih-Nya tercurah menyebar menjiwai semua manusia, tetapi dosa membendung kasih Allah, kejahatan menghalau cinta Allah. Penderitaan Allah adalah kasih yang mengatasi kemarahan-Nya, dan hukuman-Nya kepada kita manusia dengan belaskasih-Nya. Kasih adalah penderitaan Bapa yang menyertai kepada Putra-Nya, yang diserahkan-Nya, menderita di Kayu Salib. Tulisan Kitamori ini menjadi bahan refleksi kita juga dengan spiritualitas memoria pasionis. Memoria, kenangan akan penderitaan Kristus yang terjadi 2000an tahun lalu tetapi terus masih aktual dalam kehidupan kita hari-hari ini. Salib adalah penderitaan, kehinaan, kesakitan yang dipandang oleh kita manusia. Kita manusia cenderung menghalaunya, menghindarinya tetapi bagi Allah, salib adalah kebijaksanaan. Itulah yang ditulis oleh Paulus. Salib bukanlah penghinaan, salib bukanlah penderitaan, tapi salib adalah cinta, keutuhan cinta Allah, cinta yanv utuh, cinta yang sempurna, cinta yang total dari Allah kepada kita manusia yang cenderung nencari kegelapan, hidup dalam gelap daripada terang. Kita manusia yang cenderung mamilih kejahatan, daripada memilih kasih.
Spiritualitas memoria pasionis, pantas kiga terus-menerus merenungkan dalam hidup kita, dalam setiap peristiwa dan langkah hidup kita. Di sekitar kita banyam persoalan yang kita hadapi. Salib tidak hanya diri kita sendiri saja yang memikulnya, tapi Tuhan Yesus mengharapkan agar kita partisipasi dalam salib sesama, salib sistem sosial yang menindas, yang tidak adil, yang merampas hak-hak sesama yang lain. Salib menuntut kita terlibat secara aktif, memperjuangkan keadilan, kebenaran, keutuhan ciptaan dan ekologi. Salib menuntut kita untuk bersuara mewakili mereka yang tertindas, yang teraniaya, yang hak-haknya dirampas.
Seorang teolog Amerika Latin, teolog pembebas, seorang yesuit, Ignacio Ella Curria menulis sebuah refleksi tentang situasi Amerika Latin ‘The Crucified People’, ‘rakyat yang tersakib’, atau ‘masyarakat yang tersalib’ oleh sistem kapitalisme, sistem yang penuh dengan penindasan, sistem ekonomi dunia global yang penuh dengan penipuan, sehingfa orang kecil dirampas hak-haknya.
Situasi kita sangat aktual, kita di Papua ini banyak krisis yang terjadi di sekitar kita. Krisis ketidakadilan, krisis kemanusiaan. Sudah 60an tahun lebih di tanah Papua ini konflik bersenjata terus terjadi karena kepentingan investasi, eksploitasi sumber daya alam di tanah Papua ini. Banyak pihak untuk kolaborasi terus melanggengkan kejahatan, sehingga masyarakat adat yang punya tanah adat menjadi korban. Mereka banyak hilang nyawanya, hutannya diambil dengan alasan pembangunan dan terjadi sampai hari ini. Kita akhir-akhir ini dengan PSN di Merauke, 2.000.000 hektar tanah masyarakat adat dicaplok demi alasan pembangunan. Masyarakat dalam waktu sekejap kehilangan hak hidupnya, kehilangan ruang hidup, kehilangan budaya, kehilangan way of lige dan spiritual hidup mereka, kepercayaan, alam. Ribuan binatang, ribuan spesies dalam sekejap akan habis. Apakah kita berani bersuara? Apakah kita orang Katolik, orang Kristen yang merayakan Paskah ini hanya seremonial saja? Ataukah kita harus berani bersuara seperti Yesus, walaupun diadili dengan tidak adil, walaupun dijatuhi hukuman yang penuh dengan rekayasa. Tapi kita orang kristen harus berani memikul salib itu, kalau tidak kita adalah Yudas-Yudas yang terus ikut ambil bagian dalam penyaliban Tuhan Yesus.
Mari kita berdoa karena sekian 80.000 pengungsi yang masih di tempat-tempat pengungsian di seluruh tanah Papua karena konflik investasi, konflik militer, konflik antara militer dan TPNPB. Kita harus banyak berdoa agar terjadi dialog untuk penyelesaian konflik kejahatan di tanah Papua ini. Kita adalah manusia, manusia citra Allah, Imago Dei, bukan manusia yang direkayasa oleh kepentingan-kepentingan dunia, kepentingan oligarki dan penguasa. Kita berdoa semoga Paskaj tahun ini sungguh-sungguh membawa harapan baru kedepan. Harapan bagi seluruh wilayah di tanah ini, agar mereka tidak dari hari ke hari dibunuh, dan dirampas hak-hak hidup mereka sebagai martabat manusia. Amin” (*)
Daftar Referensi:
Azhar, Harris. “1 Hari, 1000 Pesan”, tentang chapters “Mencari Kebenaran” (pada durasi 15.05 detik), (https://youtu.ne/junMKAp-Li?=3YX5q-KKIiFEU6Rkv).
https://www.youtube.com/live/M7dAvX60Xfs?si=tCEvir4OA6ld6JsM&sfnsn=wiwspwa, LIVE-IBADAH JUMAT AGUNG, PAROKI KATEDRAL TIGA RAJA TIMIKA).
Giyai, Benny. 2000. Menuju Papua Baru: Beberapa Pokok Pikiran sekitar Emansipasi Orang Papua. Jayapura: Deiyai/Elsham.
Nurwardani, Paristiyanti Dkk (Tim Penyusun). 2016. Buku Ajar Matakuliah Wajib Umum: Pendidikan Agama Katolik untuk Perguruan Tinggi (cetakan I). Jakarta Pusat: RISTEKDIKTI.
)* Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura, Papua.