*Siorus Ewainaibi Degei
Dalam konteks yang hampir serupa, banyak orang kristen yang melulu hanya mengidolakan Yesus Kristus sebagai raja damai, juru selamat, pembebas, raja di atas segala raja, dan gelar-gelar teologis mulia lainnya. Sebagian besar manusia kristen hanya mencintai dan menyayangi Tuhan Yesus Kristus sebagai yang mahakuasa, mahakasih, mahabaik, mahamurah, maharahim dan gelar maha-maha lainnya yang bertendensi puitis, romantis dan positif (via possitiva). Teramat sedikit ada orang kristen yang benar-benar secara sejati, total, loyal, dan radikal setia mencintai, mengasihi dan mengimani Yesus kristus sebagai Tuhan yang menderita, sengsara, sakit, memikul salib, dijambuk, dipaku, dimakotahi duri, dan wafat mengerikan, singkatnya Yesus sebagai martir agung dan sejati dalam misteri jalan salib suci (via negativva and via dolorosa). Lagi-lagi banyak orang kristen yang melandasi iman, harapan dan kasih pada Tuhan Yesus pada semangat hedonisme, instanisme, sekularisme, profanisme, pragmatisme, dan gelagat gejolak duniawisme lainnya dalam pikiran, hati, batin dan tindakan beragama dan beriman.
Siapa itu Yesus Kristus?
Dari semua gelar teologis yang Yesus dapatkan, secara sederhana eksistensi Yesus Kristus secara historis dapat kita lihat dari tiga tugas perutusan-Nya, yakni imam, nabi dan raja. Di sini kami, berdasarkan refleksi kontekstual, menambahkan satu tugas atau peran/andil fundamental Kristus lagi, yakni Yesus Kristus sebagai martir agung dan sejati bertolak dari dari salah satu bait dalam doa aku percaya yang berbunyi “Yang menderita sengsara dalam pemerintahan Ponsius Pilatus, disalibkan, wafat dan dimakamkan”. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa doa aku percaya merupakan saripati dari inti iman kristiani. Artinya konsep iman kristiani termuat secara rinkas, jelas dan padat, (Nurwardani, 2016:119) . Sebelum memaknai Yesus sebagai martir, pertama secara sekilas kita akan memahami terlebih dahulu apa itu peran Yesus sebagai imam, nabi dan raja.
Imam
Pertama, Yesus sebagai imam. Tugas pokok seorang imam adalah menguduskan. Sebagai imam Yesus tampil ke panggung sejarah untuk menguduskan manusia, alam dan seluruh semesta dari noda dosa dan maut. Di sini Yesus sendiri tampil sebagai imam, altar/mesbah dan kurban; 1). sebagai imam, Yesus tampil memimpin ibadah perayaan karya keselamatan Allah Bapa melalui sejarah hidup-Nya hingga paripurna di kayu salib; 2). sebagai altar, Yesus sendiri menjadi “meja perjamuan kudus” untuk menguduskan persembahan kurban bagi Allah Bapa; 3). sebagai kurban, Yesus sendiri menjadi “anak domba” untuk mengurbankan diri-Nya bagi Allah demi menebus segala dosa manusia dan menyelamatkan mereka dari belenggu kebinasaan;
Nabi
Kedua, Yesus sebagai nabi. Tugas pokok nabi adalah mewartakan kebenaran, keadilan dan kedamaian, singkatnya kabar keselamatan dari Allah, menjadi “lidah dan “mulut” Allah. Yesus Kristus telah sukses tampil sebagai nabi sejati dalam sejarah iman kristiani. Yesus menjadi rujukan utama bagi seluruh nabi untuk bagaimana menjadi nabi Allah yang sejati;
Raja
Ketiga, Yesus sebagai raja. Tugas pokok seorang raja adalah memimpin. Ada sedikit kekeliruan di sini, kebanyakan orang pada jaman Yesus melihat dan merefleksikan gelar kerajaan Yesus secara politis. Mereka mengirah Yesus adalah Mesias yang akan tampil dengan tangan besi untuk meruntuhkan rezim penjajahan romawi dan bangsa-bangsa asing lainnya yang menjajah bangsa Israel. Namun ternyata beda, konsep raja yang ditampilkan Yesus adalah yang sebaliknya dan teramat kontras dengan rasio akhlak ramai Israel kala itu. Yesus tampil sebagai raja surgawi, bukan duniawi. Ia tampil bukan dengan tangan besi, baju zirah, pedagang dan kemahiran kesatria. Yesus tampil sebagai raja yang lemah lembut, rendah hati, penuh cinta kasih, pengampun, dan penolong setia, (Nurwardani, 2016:1
Keempat, Yesus sebagai martir. Martir tidak menjadi sebuah tugas, melainkan sebuah bentuk konsistensi, totalitas dan loyalitas cinta kasih Yesus sebagai imam, nabi dan raja bagi Allah, alam, manusia dan seluruh alam semesta. Yesus secara radikal merealisasikan vissio dei dan missio dei, misi Allah, yang adalah karya keselamatan tanpa pamrih, putus asa. Bukti konsistensi, loyalitas dan totalitas Yesus Kristus dalam merealisasikan misi Allah adalah dengan menjadi martir agung dan sejati melalui jalan salib yang membuat-Nya menderita, sengsara, wafat dan bangkit, (Nurwardani, 2016: 123);
Yesus sebagai korban hukum makar kolonial romawi kurang lebih demikian cuplikan passion Yesus Kristus sebagai imam, nabi, raja dan martir. Sejatinya Yesus tidak pernah salah, Yesus tidak pernah melakukan suatu kejahatan pun yang menjawabi delik-delik hukuman penyaliban. Hukuman salib, di era romawi kala itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang melakukan kejahatan besar dan menentang kaisar, dalam hal ini bagi mereka yang melakukan sabotase, penyerangan terhadap eksistensi pemerintahan romawi atau meresahkan serta mengancam eksistensi pemerintahan romawi, (Nurwardani, 2016: 120-122), singkatnya mereka yang melakukan makar dalam istilah modern. Upaya untuk membuktikan praktek kriminalisasi atas kasus Yesus ini pernah secara hukum positif mau dibongkar oleh beberapa organisasi sipil, pakar dan praktisi hukum (HAM) dari Kenya. Kelompok pakar hukum, terutama HAM tersebut membentuk sebuah lembaga hukum yang bernama komisi kebenaran (the truth commission), komisi keadilan atau komisis rekonsiliasi. Lembaga ini percaya bahwa mencari kebenaran (truth) pada kasus-kasus besar di masa lalu itu bukan perkara yang rumit, melainkan sebagai jalan peyembuhan luka-luka peradaban. Kasus pembunuhan terhadap Yesus mereka jadikan sempel (objek kasus) tentang mencari dan mengungkapkan kebenaran pandangan mereka. Tujuan mereka adalah menemukan kebenara, keadilan dan mengupayakan rekonsiliasi, (https://youtu.ne/junMKAp-Li?=3YX5q-KKIiFEU6
Kriminalisasi (Makar) atas Kasus Rajam: Bukti Kemartiran Yesus
Sementara Yesus sendiri dalam sejarah hidup-Nya tidak pernah sekali-kali melakukan kejahatan sekaliber makar. Hal ihwal yang dilakukan oleh Yesus dan itu menjadi amunisi bagi kaum sahedrin untuk menjebak dan membunuh-Nya adalah kata-kata-Nya yang dalam pandangan kaum farisi, para ahli taurat dan semua orang yang membenci-Nya semacam ungkapan penghujatan, penghinaan atau penistaan nama Allah. Ada beberapa tuduhan yang para sahderin timpali kepada Yesus sebagai langkah kriminalisasi, yakni; Ia berbicara dengan perempuan, Ia membela wanita pezinah, Ia makan dengan tangan najis; Ia melanggara sabat, Ia berkata untuk manusia, dan bukan manusia untuk sabat (melanggar adat saleh); Ia mencampuri urusan para pemuka agama, (Nurwardani, 2016: 121).
Yesus pernah bilang hancurkan bait Allah, maka dalam tiga hari Ia akan membangunnya kembali. Ia juga beberapa kali berkata bahwa Ia dan Allah Bapa adalah satu, barangsiapa melihat Dia, sudah melihat Bapa. Yesus juga beberapa kali mendeklarasikan diri-Nya sebagai Allah dan anak Allah. Ungkapan-ungkapan Yesus Kristus yang penuh kontroversi ini sudah yang menjadi amunisi atau basis argumentasi musuh-musuh-Nya saat itu yang terdiri dari para sahedrin untuk menjebak dan membunuh-Nya.
Sebenarnya jika kita sedikit kritis, analitis dan objektif melihat, membaca dan menghermenisir tesk dan konteks kitab suci, sejarah bangsa romawi dan teks-teks historis pembanding lainnya kita akan mendapatkan jawaban bahwa sebenarnya delik hukum beserta hukuman yang tepat diberikan dipertangung-jawabkan kepada Yesus berdasarkan apa yang ia buat adalah dan hanyalah hukum rajam, yaitu Ia dilempar dengan batu sampai mati. Apa yang dilakukan oleh Yesus, yakni mengeluarkan ungkapan -ungkapan kontroversi yang bertendensi dan bermuatan penistaan nama Allah itu pertama-tama masuk dalam delik perkara keagamaan yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan perkara politis. Hukuman yang seharusnya didapatkan oleh Yesus adalah hukuman keagamaan-tradisi, bukan hukuman kenegaraan. Dari sinilah munculnya sebuah kontroversi lagi mengapa Yesus disalibkan oleh Pilatus secara paksa? Mengapa perkara Yesus yang notabenenya masuk dalam delik perkara keagamaan digiring ke ranah delik perkara politis? Singkatnya kenapa Yesus dikenai hukum makar? Kenapa Yesus tidak dirajam tapi disalibkan? Tukilan pertanyaan- pertanyaan di atas ini hendak menggugat proses persidangan Yesus yang terkesan kuat cacat hukum, moral dan iman. Yesus adalah korban manipulasi, distorsi, kriminalisasi dan kapitalisasi hukum kolonial romawi dan patner konspirannya kaum sahedrin. Bersambung (*)
) Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur, Abepura Papua.